Saturday, December 21, 2013

Keadaan Darurat


Keadaan di Indonesia sekarang sudah bisa dikategorikan keadaan darurat. Ada beberapa alasan mengapa saya bilang keadaan darurat. Pertama, kerusakan alam Indonesia. REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), yang merupakan kerangka acuan agar negara berkembang bisa mendapatkan ganti rugi jika bisa mengurangi emisi karbon, bilang bahwa area hutan Indonesia berkurang sebanyak 1.17 juta hektar setiap tahun sementara total area hutan sebesar 131.3 juta hektar. Pengurangan sebesar 0.87% per tahun ini akan membawa bencana banjir dan kekurangan air minum tanpa harus menunggu semua hutan lenyap. Tidak ada perhatian serius untuk mengurangi kerusakan alam yang pada akhirnya mempengaruhi kehidupan sehari-hari, mulai dari asap knalpot berkadar elemen kimia timbal (Pb) yang beracun dan sungai-sungai hitam penuh kotoran dan plastik.

Kedua, pemerintah dan pemimpin Indonesia tidak efektif dalam memperjuangkan hak hidup layak rakyat. Korupsi merajalela: saya baca di koran 70% pemimpin daerah - termasuk gubernur dan walikota - korup. Karena mereka yang membelanjakan uang negara dan jika bisa diasumsi level korupsi mereka sekitar 10% dari total belanja negara sebesar Rp 1683 trilyun tahun 2013, maka uang negara yang hilang sebesar Rp 118 trilyun = 70% × 10% × Rp 1683 trilyun. Ini perkiraan minimum tapi jelas menggambarkan rusaknya sistem ekonomi nasional. Korupsi menjadi industri di Indonesia dan mendistorsi harga tanah, bangunan, dan perilaku pasar secara umum. Pelaku usaha industri korupsi adalah politikus, aparat pemerintah dan hukum yang kemudian berkolusi merusak semakin parah tatanan sosial, ekonomi, dan alam.

Uang Rp 118 trilyun ini menjadi sekitar Rp 1 juta per tahun jika dibagikan rata ke jumlah penduduk miskin yang berkisar 40% dari total 250 juta rakyat. Uang yang dikorupsi pasti akan cukup untuk membiayai sekolah anak miskin dari SD sampai SMA dan menjamin kesehatan mereka. Kenapa ini tidak bisa dilakukan? Karena uangnya dicuri koruptor-koruptor yang merajalela di tanah air.

Ketiga, pemerintah telah membodohkan rakyat dengan tidak memberikan sistem pendidikan yang memadai dan mampu mencetak lulusan yang mandiri dan berpikiran merdeka. Dari pengalaman saya mewawancarai pelamar kerja saat bekerja di Indonesia 2011-2012, saya terkejut dengan rendahnya kemampuan berpikir logis dan analitis insinyur lulusan beberapa perguruan tinggi yang terbilang punya nama. Lulusan insinyur mesin tidak bisa menjelaskan efisiensi mesin bakar. Lulusan2 insinyur tidak mampu menjelaskan hubungan persamaan matematika dengan fisika. Lulusan2 ini lah yang nantinya menggantikan senior mereka dan menjadi pemimpin di lingkungan mereka. Tidak berlebihan jika saya pesimis akan kemampuan Indonesia untuk mewujudkan visi memakmurkan rakyat.

Rasa pesimis ini karena juga melihat sistem pendidikan dasar dari SD sampai SMA yang dijejali hafalan informasi tanpa ada pelatihan berpikir kritis. Sistem pendidikan buruk ini dilanjutkan ke perguruan tinggi. Penjejalan rumus dan hafalan selama kuliah akan memperparah keadaan. Para lulusan insinyur dan sarjana ini tidak akan mampu berpikir mandiri.

Tidak mungkin Indonesia bisa sejajar dengan Cina, Korea Selatan, apalagi Canada dan Amerika Serikat sampai kapan pun jika sistem pendidikan Indonesia tidak dirombak total.

Sunday, September 22, 2013

Motion and Energy

(The image above is not a link to the pdf. The link is provided below.)
I wrote a short chapter over the weekend on Lagrangian mechanics and how the concept of energy is defined from the so-called Lagrangian which is the difference between kinetic and potential energy. You can read it by clicking here. I think this chapter can be useful if you want to learn about Lagrangian mechanics which generalizes the Newton's laws of motion.

I am planning to add discussions on conservation of momentum and angular momentum, and thus give 1-2 more examples.

If you are already familiar with the Lagrangian mechanics concept, you can drop me a line. I'd like to hear what you think about this short chapter. Thanks.

Friday, July 5, 2013

Discrete Probability Distributions: Sampler of Our Textbook


My ex graduate student, Deborah Gaffney, and I finally completed an undergraduate-level probability and statistics book titled Elementary Concepts of Probability & Statistics. I started writing in November 2012 and finished writing it in June 2013. You can download a chapter on discrete probability distribution functions by clicking here. Enjoy reading! Send me a feedback to tell me what you think.

I decided to write this textbook because I feel many textbooks are too thick (600+ pages) and too expensive ($150 or more). Students have to invest a lot of time to read such textbook. Why not explaining the concepts more clearly and concisely? We sell this textbook for a lot less and it has only 124 pages. 

Our textbook is not typical since it does not have many example and exercise problems as it focuses more on explaining concepts as good stories. Lecture notes that accompany our textbook bridge this gap as they provide many example and exercise problems.

I am testing our textbook now in a summer probability and statistics for engineers course. I will update you on how it goes.

Tuesday, May 28, 2013

Konsep Tuhan


23. Di 6 blog sebelumnya: Ongkos BeragamaParadoks BeragamaKebebasan BeragamaMakna BeragamaEtika Humanis, dan Karya Hidup, saya tulis bahwa karena surga neraka tidak bisa dibuktikan keberadaannya, maka sebaiknya kita tidak berharap kehidupan baru setelah mati. Hidup sekarang bukan untuk hidup setelah mati. Hidup sekarang untuk berkarya tanpa mengharapkan pahala dan takut dosa.

Dengan berkarya, kita akan sadar tidak ada gunanya takut mati. Selain itu, ketakutan akan kematian ongkosnya mahal, baik uang maupun waktu. Jika kita takut mati, kita akhirnya membuang hidup yang sekarang untuk yang belum tentu ada.

24. Lantas dikemanakan Tuhan? Bukan berarti Tuhan tidak ada jika surga neraka tidak bisa dibuktikan keberadaannya. Tuhan bisa ada, tapi dia bisa tidak membuatkan surga neraka buat kita. Alam semesta ini amat sangat luas dan kita menempati satu titik kecil. Tuhan bisa jadi tertawa geli melihat kita merasa yakin kita makhluk hidup yang terpenting sealam semesta.

Namun Tuhan pun tidak bisa dibuktikan keberadaannya. Ribuan tahun terlewati dan ribuan buku ditulis untuk mengupas tentang Tuhan, tapi tetap tidak ada bukti konklusif adanya Tuhan. Yang sudah terjadi selama ribuan tahun ini adalah sains secara pasti menggantikan fungsi Tuhan sebagai pengatur alam semesta.

25. Sains bisa melihat janin berumur beberapa bulan dan memastikan jenis kelaminnya sebelum lahir. Sains bisa memprediksi dengan persis kapan gerhana bulan dan matahari terjadi. Sains membuat orang di belahan bumi lain membaca blog ini beberapa detik setelah saya publish. Sains bisa mengantar saya terbang ke mana saja dengan kecepatan 800 km/jam. Sains memperpanjang umur kita dengan berbagai obat dan terapi medis.

Kesemua hasil sains ini sangat nyata buat yang berpikir. Kebanyakan kita memilih untuk tidak peduli dengan tidak sengaja karena kita dibutakan oleh pendidikan yang kita terima dari kecil. Pendidikan yang berlandaskan agama kerap bertentangan dengan prinsip sains karena sains mengajarkan kita untuk tidak percaya dan selalu bertanya jika tidak ada bukti kongkrit dan konsisten.

Banyak dari kita yang beranggapan sains sangat sombong karena tidak mau mengakui adanya Tuhan. Sesungguhnya keteguhan sains ini bukti kerendahan hati sains karena sains tidak bisa memastikan sesuatu jika memang belum ada bukti nyata. Bukankah justru kita sombong jika kita mengabarkan keyakinan kita ke orang lain dan berusaha mempengaruhi orang lain padahal kita tidak punya bukti konklusif akan keyakinan kita?

26. Konsep Tuhan tapi tidak akan hilang selama pendidikan berbasis sains belum mencapai semua orang. Karena konsep Tuhan dibutuhkan untuk memberikan tujuan hidup jika kita tidak mempunyai pegangan hidup berdasarkan sains atau yang lain. Selain itu akan ada sebagian kita yang berusaha keras mendamaikan sains dan Tuhan.

Sebagian kita butuh Tuhan ada – walau tanpa ada bukti Tuhan itu ada – karena Tuhan ini yang memberi tujuan hidup. Selama ajaran agama yang berlandaskan ketuhanan kita pakai sebagai landasan etika, maka tujuan hidup berketuhanan adalah hak setiap orang.

Yang sering jadi masalah adalah jika keyakinan adanya Tuhan masuk ke ranah publik dan Tuhan dipakai untuk menakuti orang lain. Kesombongan agama seperti ini yang perlu kita jauhi. Biarlah kepercayaan kita menjadi urusan pribadi antara tiap kita dan Tuhan kita masing-masing.

Sunday, May 12, 2013

London's Cheap Eats


There are many great places to eat in London – for sure – but I am cheap so I never have fancy expensive meals unless someone else pays them. I stick my nose close to the ground and experiment with cheap places to eat. Having said that, I never plan my trip to any city with restaurants as trip anchors either.

London has many Lebanese-style kebab eateries. They are not fancy: wall ledges to place plates and eat while standing and 3-4 chairs and a table if lucky. But no matter; a great and cheap food tastes good regardless. When I feel hungry, I am bound to find a kebab eatery nearby. 

And did I find a great one! It is located on 1A Great Eastern Street, at the southwest corner of Shoreditch High Street and Great Eastern St., about 5 minute walk northbound from the Liverpool St. Tube station. I was in this East London neighborhood to check out the Brick Lane and Curtain Rd. where some vintage clothing stores and artisan coffee shops are located.


The Lebanese eatery is called Corner Savoy and I went there twice in a week. The first time they charged me £7 for rice, chicken shawarma, salad, hummus, and garlic dressing. They were surprised at my request and came up with the price since it is not on the menu. But it was not disappointing at all. The chicken shawarma is juicy, and the hummus, the dressing, and especially the salad are wonderfully fresh.


The second lunch time I was there I didn't have breakfast. Mido, the Egyptian staff who served and was busy preparing a chicken shawarma, charged me £6 for the meal I had the first time. Maybe partly because I told him I took subway all they way from South London for a repeat. He and his friend laughed, and his friend told me Mido (photo below) and the eatery are famous for their shawarma in the neighborhood. I told him I was from Canada and he said he would set up a business in Canada someday. Without breakfast, I ordered another shawarma, this time smaller, lamb no less, with falafels. An excellent meal for £3; the total damage was £10 with a bottled water.


The second place I went to has even lower meal prices. Maybe for that reason, it is called Happy Family :), a Chinese and Oriental eatery on 311 Kennington Road, about 10 minutes north of the Oval tube station on Clapham Rd. and Camberwell New Rd. in South London. It has 4 school benches to sit and the place is simple but quiet. I like that.

I ordered beef chow mein in my first visit for £3.60. I stayed at a bed & breakfast through www.airbnb.com on Southey Road off Brixton Rd. I walk for about 20 minutes along Brixton Rd and then Kennington Rd. to get to meet my Happy Family. A good walk and I am usually hungry when I get there, lol!


The food is very good – not great – but I like also the old chap who waits on the counter. He is British, so I wasn't sure if he would be willing to be photographed, so I didn't ask (regret, ugh!). He was watching a science program on teve about space travel when I went there for the second time. Very proper and I enjoyed his company. We talked about teleportation and black hole while I enjoyed my food. This time it was beef in black bean sauce for £4.20 and wan ton soup for £2.40. I know: I splurged a bit, lol!

I always hold dear eateries like them. Mom-and-Pop operations with gracious open services. They color my days. I always remember them. They represent the city they live in, and I have to say I really like London!

Monday, May 6, 2013

Londoner



I could be a Londoner, walking everywhere 
Along its treed sidewalks and vast parks.
Tube stations at important corners not far from
Simple red brown row houses with clean interiors.

This city is a proof that people can be enriched
Immensely by shared properties – parks, transport,
Museums, markets, coffee shops with yummy
Mustard salt beef sandwich and thick sticky
Blueberry muffin.

I could marry a Londoner, the pretty girl standing
Across from me in a subway car. Her British
Demeanor and wits, and warm hugs that will fill 
My days with joys and wonders.

I always search for a soul home, and I might just
Find one in this isle at the edge of Europe. Its quiet
Diligent people with ferocious independence.
This city is lovely and intelligent as its people are.

Thursday, May 2, 2013

Peran Individu


Beberapa hari saya berada di London dan Birmingham. Baru pertama kali ini saya berkesempatan menengok negara yang mempunyai pengaruh besar dalam menentukan arah gerak peradaban dunia. Amerika Serikat dan Canada - tempat saya tinggal - awalnya koloni Inggris. Indonesia pun sempat jadi koloni Inggris. Sukar untuk tidak berpikir sejenak tentang bagaimana rakyat Inggris bisa melakukan semua ini.

Sekilas tidak ada yang berbeda dengan kota-kota di Amerika Utara yang pernah saya tinggali atau kunjungi. Orang Inggris pendiam, tidak banyak omong di depan umum. Saya menginap di bed & breakfast lewat www.airbnb.com karena dana kampus yang saya terima tidak cukup untuk tinggal di hotel berbintang. Ini menguntungkan karena justru saya berkenalan dengan banyak orang. 

Pemilik flat di London – tempat saya menginap – cerita sekarang banyak warga Eropa tinggal di London untuk mencari kerja. Teman baru Spanyol saya cerita angka pengangguran di Spanyol sekarang 26%. Pemerintah Spanyol suka membuat proyek-proyek megah tanpa guna jelas. 

Pemilik flat yang pernah beberapa tahun tinggal di Spanyol cerita orang Spanyol suka pamer. Dia pernah berkunjung ke rumah teman dan temannya ini bertanya apa dia suka dengan sofa yang baru dibeli, apa dia suka dengan gaya rumahnya. Orang Inggris tidak akan pernah bertindak seperti itu, cetusnya. Sekilas saya berpikir: orang Inggris rupanya tidak beda jauh dengan orang Jawa.

Kota London dipenuhi taman-taman besar nan rindang. Regents Park, Clapham Common, Hyde Park, dan yang lain. Taman-taman ini rupanya dulu tanah swasta yang kemudian di era ratu Victoria dijadikan taman umum agar semua orang bisa menikmati. Visi ini terbukti benar. Enak sekali jalan menyusuri London. Rumah-rumah tertata rapi diselingi hijau pohon-pohon rindang. 

Peran individu di sejarah Inggris sangat besar. Saat raja Inggris tidak cocok dengan kebijakan Vatican, tidak ada keraguan untuk mendirikan sekte kristen baru, yang kita kenal sebagai gereja Anglican.  Sejarah sains dipenuhi orang-orang Inggris. Michael Faraday, William Rowan Hamilton, Paul Dirac, James Clerk Maxwell, Lord Rayleigh, Stephen Hawking. Belum lagi orang-orang Inggris yang berperan besar di politik, ekonomi, dan lainnya. Mereka bergerak sebagai individu-individu yang membawa perubahan sendiri-sendiri.

Saat di Birmingham saya menyusuri Jewellery Quarter, pusat pabrikan dan perdagangan emas Inggris. Area dekat pusat kota Birmingham ini adalah bukti Birmingham pusat kreativitas manufaktur Inggris. Birmingham mempunyai peran sentral di Revolusi Industri. Pabrik mobil Morgan, Land Rover, Jaguar ada di kota ini. 

Jelas terlihat di arsitektur gedung-gedung tua yang masih tegak berdiri baik di London maupun Birmingham peran individu dalam menentukan roda ekonomi. Inovator dan industrialis bergerak bersama menghasilkan produk-produk baru, yang kemudian mempekerjakan ribuan orang. Pemerintah mempermudah dan memastikan kegiatan ekonomi inovatif ini tidak merugikan banyak orang. Simbiosis mutualisme ini berjalan baik, terbuktikan oleh bagusnya infrastruktur kereta api dan bawah tanah, jalan, air dan sungai. Lahan pertanian yang membentang dari London sampai Birmingham tertata rapi. Keteraturan ini berjalan tanpa mengekang kreativitas individu dan menjadi teladan buat masyarakat Amerika Utara yang juga ikut merasakan hasil positif jerih payah peran individu.


Hukum Kekekalan Momentum


Gerak tidak pernah hilang di alam semesta
Derap kaki kecil dibalas sama oleh bumi
Gelombang suara memancar segala arah
Pantulan bergaung, tatapan pejalan kaki 
Riak kecil itu tetap getar tak punah lelah
Semakin lebar semakin kecil tanpa lenyap

Gerak kecil kita membahana kemana mana
Menjadi kumpulan berarah tumbuh besar
Tanpa hilang tajam jika arah kita sejajar 

Arah jadi sangat penting penentu jumlah
Jika gerak kecil kita tertuju satu titik
Lenyap semua saling menarik mendorong

Energi semua seakan terbuang percuma 
Menjadi panas menguap suara tak terarah
Tak pernah hilang tak pernah ada pula

Sunday, April 28, 2013

Pengalaman Belajar


1. Jalan 20 menit ke toko buku dekat rumah dengan anakku yang masih SD membuka mataku. Tiap anak punya imajinasi yang kuat. Tinggal bagaimana orang tua dan sekolah mengembangkan dan mengarahkan kemampuan alami ini.

Anak saya bertanya banyak hal yang tidak terpikirkan oleh saya. Jika ada invasi luar angkasa, sistem perlindungan apa yang paling baik: bawah tanah atau gedung bertingkat? Mana yang lebih tidak enak: bayar tagihan listrik atau telepon? Cara mati bagaimana yang paling tolol? Cara mati seperti apa yang paling mantap? Jika saya bergerak dengan kecepatan cahaya lalu tiba-tiba berpegangan ke tiang, apa yang terjadi dengan tangan saya?

Sekarang jaman Google, dimana informasi apa saja – dari asal usul alam semesta sampai sejarah Antartika – bisa didapat lewat internet dengan cepat. Cara mendidik harus mengikuti perubahan ini. Anak-anak kita sudah mengenal iPad dan internet sejak lahir. Imajinasi mereka berbaur cepat dengan informasi seketika dari internet.

Karena informasi sudah sangat murah sekarang, yang perlu dipelajari murid adalah kemampuan bernalar. Menilai kemampuan akademis seseorang berdasarkan kemampuan menghafal sudah bukan jamannya lagi.

2. Maksud utama ujian sekolah yang bermakna adalah menyiapkan lulusan ke tahap berikutnya. Materi ujian jadinya harus bisa mengemas apa yang sudah dipelajari untuk mengantisipasi apa yang akan dialami. Ujian bukan tanda akhir belajar, tapi pintu masuk ke pengalaman baru.

Ujian SD sampai SMA saya di dekade 1980-an untuk bidang fisika dan matematika masih menguji kemampuan berpikir saya, sementara mata pelajaran lain hanya menguji kekuatan menghafal saja. Saya masih ingat mereproduksi tabel periodik dari ingatan di kertas ujian untuk mengerjakan ujian kimia. Respek saya ke kimia jatuh karena saking tergantungnya ujian kimia ke hafalan. Kimia ternyata menarik dan sebenarnya fisika terapan, tapi saya baru sadar itu saat kuliah S3.

Anak saya yang kuliah di universitas juga mempunyai pengalaman buruk – seperti saya saat mengerjakan ujian kimia – dengan ujian sosiologi. Soal-soal ujian menanyakan fakta ini itu tanpa maksud jelas. Anak saya bilang ujian sosiologi ini konyol dan bodoh. Dia kontraskan ujian sosiologi dengan ujian discrete mathematics yang memeras otak dan tidak mengandalkan hafalan. Dia lalu cerita teman-teman kuliahnya di ilmu sosial sering diejek teman-teman lain karena mata kuliah mereka sangat remeh dan membosankan.

3. Melihat buruknya pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia tahun 2013, bisa dibayangkan berapa juta siswa yang ciut dan kehilangan nafsu belajarnya karena menyamakan belajar dengan mengerjakan UN saja? Pembunuhan rasa ingin tahu ini berdampak luar biasa karena jutaan siswa ini nanti bekerja dan menjadi orang tua juga. Jika pembinaan mereka tidak optimal, mereka akan menghasilkan generasi berikut yang inferior.

Friday, April 26, 2013

Karya Hidup


19. Jika ilmu hidup yang kita pilih adalah agama, maka ada 3 kemungkinan. Kita bisa patuh dan melakukan ritual sesuai agama yang kita anut; kita bisa patuh ritual dan tetap berpandangan spiritual yang segar dan luas; atau kita berpandangan spiritual dan menanggalkan aspek ritual.

Kelemahan mendasar memakai agama sebagai pondasi pemikiran akal adalah agama berlandaskan kepercayaan. Berpikir yang jernih dan rasional memerlukan kita menanggalkan asumsi dan keyakinan yang mungkin kita pegang erat. Walaupun kontradiktif, ada dari kita yang memutuskan berpijak ke agama dan akal dengan bersamaan.

Ritual agama membangun disiplin dan ketaatan, tapi pemahaman spiritual yang segar dan luas masih memerlukan kita memakai akal untuk berpikir tentang sebab akibat. Tidak berlebihan untuk bilang bahwa akhirnya akal yang menyelamatkan kita dari pemikiran agamis yang dogmatis dan eksklusif.

20. Di blog Etika Humanis, yang mendahului blog ini, dan 4 blog sebelumnya: Ongkos Beragama, Paradoks Beragama, Kebebasan Beragama, dan Makna Beragama, saya paparkan bahwa kita seyogyanya tidak berharap imbalan surga neraka karena secara akal keberadaannya tidak bisa dibuktikan. Rasa takut akan kematian yang sangat dalam sebenarnya bisa dipadamkan dengan berilmu. Rasa takut ini akan padam dengan sendirinya jika hidup yang satu ini kita karyakan dengan baik dan produktif.

Saya sangat sering mendengar bahwa percaya surga neraka tidak bertentangan dengan berpikir rasional. Fakta tapi berbicara lain. Banyak sekali ilmuwan ternama yang tidak percaya adanya Tuhan – apalagi surga neraka – dan korelasi statistik antara ilmuwan ternama dan ketidakpercayaan akan Tuhan sangat tinggi. Di tahun 1914, 58% dari 1000 ilmuwan AS meragukan atau tidak percaya adanya Tuhan. Persentasinya naik menjadi 93% di tahun 1996 [E. J. Larson & L. Witham, Nature 394, 313 (1998)]. Yang menarik dari studi ini adalah hanya 5% dari ilmuwan biologi ternama yang percaya Tuhan, disusul oleh 7.5% dari fisikawan dan astronomer ternama, dan 14.3% dari matematikawan ternama.

Bisa disimpulkan bahwa walaupun kemampuan bernalar ilmuwan-ilmuwan ini sangat tinggi, sebagian besar mereka tidak bisa menerima dalil adanya Tuhan.

21. Dari sudut pemakaian waktu hidup, percaya adanya surga neraka cukup menyita waktu, uang, dan tenaga. Ini secara umum sudah saya bahas di blog Ongkos Beragama.

Jumlah waktu per minggu untuk urusan surga neraka bisa ditaksir kasar sekitar 8 jam per minggu, jadi sekitar 1 hari per minggu jika kita tambahkan waktu beribadah dengan waktu untuk urusan-urusan lain yang juga berhubungan dengan keagamaan. 14% waktu hidup kita dipakai untuk urusan surga neraka.

Angka ini tinggi karena 33% waktu hidup kita sudah "dibuang" untuk tidur. Makan dan mandi memakan sekitar 10%, sementara transportasi sekitar 10%. (Jika kita hidup di Jakarta, transportasi bisa memakan 15-20% sendiri.)

Sisa waktu untuk kegiatan yang lain jadinya sekitar 33%, atau bahkan hanya 23-28% saja jika kita tinggal di Jakarta. Jika kita nonton tv 2 jam sehari saja, sisa waktu sekitar 30% ini langsung susut menjadi 22%.

Sukar dibayangkan sisa waktu untuk kegiatan produktif sekitar 20% (4 jam 48 menit tiap hari) akan menghasilkan karya hidup yang berarti. Malcolm Gladwell di bukunya Outliers menggambarkan jalan hidup orang-orang yang sukses dengan bakat yang dibina secara kontinyu. Orang-orang ini butuh 10,000 jam untuk bisa menjadi ahli di bidang masing-masing. Jika kita hanya bisa meluangkan waktu 4 jam 48 menit tiap hari saja untuk mengasah bakat ini, maka dibutuhkan waktu 10 tahun. Ilmuwan-ilmuwan ternama yang tidak percaya adanya Tuhan cukup butuh waktu separuhnya saja.

22. Karya hidup yang kita tinggalkan di dunia berbanding terbalik dengan waktu yang kita pakai untuk urusan surga neraka. Hidup memang pilihan, kata teman baik saya di Jakarta. Saya mengangguk diam.

Saturday, April 20, 2013

Quality Control Inspection: Predicting Population's Probability from Sample's


Q: A quality control engineer tested 50 items at random from an entire lot of manufactured items and found 1 defective item from the tests. What is probability that there is at most 5% of the entire items are defective?

A: Let us first lay down some facts and assumptions from the problem statement. The 50 items can be assumed to be sampled with replacement if the total number of items is very large. The QC engineer found 1 defective item from these 50 sample items. The total number of defective items is not known, as also the the total number of manufacturing items.

The absence of information on the total numbers means that we have to extrapolate the 1/50 defective item probability to the population's defective item probability. The extrapolation process implies that we can come up with different estimates for the population's probability for different confidence probabilities. This is the essence of the question on the probability that there is at most 5% of the entire items are defective.

One way to solve this question is by using beta distribution. Beta distribution tells us the probability of probability of getting k defective items from n samples. I wrote an earlier blog on beta distribution if you need to review it. 

The data k = 1 and n = 50 select the shape of the beta distribution to have the following expression:

f(p) = 2550 p (1–p)49.

This function is then integrated between the lower limit p = 0 and the upper limit p = 0.05 to yield a probability of 73%. The probability of having at most 5% of the entire items defective is 73%. The limits of the integral come from the statement "... that at most 5% of the entire items are defective". Thus, at the lowest, the probability is 0%, i.e., there is no defective item at all, and at the highest it is 5%.

If we plot the result of the integral as a function of the upper limit, i.e., the maximum defective item probability, we find that the probability reaches practically 100% when the upper limit is 10%. This means that the 1/50 defective probability the QC engineer gets from the tests should give him a 100% confidence that the defective probability for the entire manufactured items is maximum 10%.

Notice that by knowing there is a 2% defective probability from the tests, the QC engineer can make an intelligent statement about the maximum defective probability of 10% for the entire population. Neat, eh? We can use math to extrapolate what we know locally to what can happen globally.

Because the available data are so minimal, we cannot use central limit theorem to get a confidence interval. For instance, there is no standard deviation data from the tests. This solution route is therefore a dead end.

There is another method to estimate the defective probability using hypergeometric distribution, but in this case two batches of tests are required. 

Top 10 Signs You're Canadian


10. Your car has winter tires all year round.

9. You can eat cold pizza or pasta – or cold fried rice for that matter.

8. You are more excited about US presidential election than Canadian general election.

7. You know Montreal and Vancouver are each island and city.

6. You've said sorry or excuse me too many times.

5. You know what poutine is.

4. You wear your tuque proudly, even in summer.

3. You eat BC salmon sashimi and medium-rare Alberta beef steak.

2. You have driven from Vancouver to Montreal (4500 km one-way).

1. You want to run outside even though it is snowing and frosty –20C.

Saturday, April 6, 2013

Berpikir Obyektif


Berpikir obyektif tidak mudah. Berpikir obyektif diperlukan saat kita berhasrat mengambil keputusan dengan jernih dan adil. Jika kita tidak mampu berpikir obyektif, akan banyak kesalahan yang kita lakukan. Kita sendiri akan merugi baik finansial maupun emosional.

Halangan terbesar berpikir obyektif adalah pengingkaran fakta. Ini terjadi di dua ekstrem kemampuan berpikir. Bisa karena percaya sendiri tanpa refleksi, atau bisa juga karena malas berpikir. Percaya berlebihan ini biasanya karena lingkungan yang kurang kompetitif sehingga kita punya mental "jago kandang", sementara malas berpikir karena kita tidak terbiasa olah otak.

Contoh pengingkaran fakta, misalnya: saya tidak punya uang membeli mobil mewah berharga ratusan juta rupiah. Tapi karena bank mau memberi fasilitas kredit, saya bisa beli. Cicilan bulanan mobil bisa saya tanggung. Saya senang bank membantu – jadi tidak keberatan bank memungut bunga – dan bangga menyetir mobil mewah yang membuat keluarga saya senang. Di pandangan teman-teman, saya menjadi orang sukses karena mampu membeli mobil ini.

Pemikiran seperti ini tidak obyektif karena sebenarnya saya tahu saya tidak mampu. Hanya dengan bantuan bank, saya menjadi mampu. Kredit bank tidak cuma-cuma, jadi saya dibuat lebih miskin sebenarnya. Tapi, keadaan yang lebih miskin ini tidak saya rasakan. Yang saya rasakan lebih dulu adalah perasaan bangga dan puas mendapatkan yang saya inginkan.

Selain pengingkaran fakta, halangan terbesar kedua adalah pemikiran asosiatif. Banyak orang mengasosiasikan satu hal dengan hal lain secara otomatis dan tanpa dipikir ulang. Misalnya, beberapa teman di Canada langsung berpikir membeli mobil baru yang lebih besar saat mempunyai anak. Pikiran asosiatif ini bisa dipicu oleh (i) kepatuhan mengikuti norma-norma sosial, yang jika berlebihan sesungguhnya merugikan diri sendiri, dan (ii) pemikiran kurang rasional dan kasuistik, yang berakibat kurang tahunya keinginan dan kelemahan diri sendiri.

Berpikir asosiatif berlebihan ini menurunkan kreativitas dan kejernihan berpikir. Kita melalui keseharian seperti kerbau dungu karena tidak tahu apa yang sebenarnya kita inginkan dan mau saja mematuhi aturan-aturan yang dibuat orang lain. Kita dibuat sibuk urusan orang lain tanpa pernah berpikir keinginan kita sendiri.

Kemampuan berpikir obyektif – metode pengambilan keputusan berdasarkan fakta dan pemikiran rasional dan kasuistik – ini tumbuh tidak dengan sendirinya. Kita perlu belajar mengenal diri kita sendiri dan alam sekeliling. Kita perlu melatih untuk bisa melihat kapan otak kita mencoba membohongi kita dengan mengingkari fakta yang ada.

Pendidikan yang mengekang dan bertumpu ke hafalan mengajarkan murid untuk berpikir asosiatif melulu. Banyak lulusan sistem pendidikan seperti ini tidak punya kerangka berpikir kritis karena otaknya sudah dilumpuhkan oleh sekat-sekat aturan kaku selama puluhan tahun di sekolah. Sekolah bukannya membebaskan, tapi justru membelenggu dan mengkebiri.

Dibandingkan dengan perubahan materi dan jasmani, perubahan pemikiran jauh lebih sukar untuk kita mulai. Jika kita tidak memulai berpikir kritis dan berlandaskan fakta – berpikir obyektif – maka jangan kita berharap akan ada perubahan nasib yang berarti.

Celaka bangsa yang mayoritas penduduknya harus melalui sistem pendidikan seperti ini, karena dunia sekarang berubah lebih cepat dari yang bisa kita siapkan. Mulai dari teknologi informasi, bayi tabung, rekayasa genetik, energi terbarukan, sampai perubahan sosial dan politik karena semakin lekangnya sekat negara dan perpindahan penduduk.

Friday, March 22, 2013

Etika Humanis


16. Di blog Makna Beragama saya berpendapat bahwa makna beragama adalah berilmu. Alasan-alasan yang saya kemukakan untuk mendukung pendapat ini saya ulas di 3 blog sebelumnya: Ongkos Beragama, Paradoks Beragama, dan Kebebasan Beragama.

Kebodohan berarti sama dengan tidak beragama. Pertanyaan yang kemudian muncul: ilmu apa yang perlu kita pelajari dan praktekkan? Blog ini untuk mengulas pertanyaan ini sekaligus menghubungkan dengan etika humanis.

Ilmu yang saya maksudkan dalam "makna beragama adalah berilmu" luas cakupannya: sesuatu yang mengisi otak kita dan melatarbelakangi keputusan yang kita buat sehari-hari. Buat banyak orang, agama menempati tempat penting dalam dua hal ini. Agama saya anggap sebagai ilmu walaupun sifatnya berbeda dengan sains dalam pembuktian dan tujuan.

Ilmu agama mengajarkan satu pemahaman etika yang bertumpu pada adanya Tuhan sebagai hakim berkuasa mutlak. Jika perbuatan kita salah menurut kitab sucinya, maka sang pelaku melakukan dosa. Jika benar, maka dia diganjar pahala.

Timbangan pahala-dosa ini menentukan apakah kita setelah mati akan menikmati surga atau menghuni neraka. Konsep pahala-dosa tidak bisa dipisahkan dengan adanya surga neraka. Tanpa pahala dosa, surga neraka tidak berarti sama sekali.

17. Buat sebagian orang, ilmu agama tidak masuk akal karena tuntutan untuk percaya adanya surga neraka dan hidup setelah mati. Ini bukan berarti penolakan adanya Tuhan. Tetap harus diakui bahwa buat sebagian orang ini, kekuasaan Tuhan – terlepas ada atau tidak – tidak berpengaruh dalam menentukan nasib manusia.

Etika yang tidak bertumpu kepada Tuhan ini bertumpu kepada asas sebab-akibat dalam memahami masalah dan melatarbelakangi keputusan yang kita buat sehari-hari. Asas sebab-akibat dibangun dengan mempelajari pikiran dan perasaan kita dan alam sekeliling. Tidak ada kitab suci, karena kumpulan sebab-akibat ini berkembang seiring dengan kemampuan akal kita.

Etika memakai akal pikir ini biasa disebut etika humanis atau sekuler. Etika humanis berkembang seiring dengan sains karena kemajuan sains menambah ilmu tentang diri kita dan alam sekeliling.

18. Keputusan melakukan sesuatu tidak tergantung perhitungan pahala dosa, sehingga surga neraka tidak dibutuhkan lagi. Lantas untuk apa kita melakukan perbuatan baik? Lebih kurang untuk kepuasan kita sendiri tanpa mengharapkan pahala. Sebaliknya, penganut etika humanis tidak mengenal dosa jika melakukan sesuatu yang buat agama tertentu dianggap berdosa.

Apa etika humanis menyebabkan orang melakukan perbuatan berdosa? Ya dan tidak, karena etika humanis tidak mengenal dosa. Sesuatu yang berdosa itu sendiri relatif karena setiap agama punya daftar perbuatan berdosa berbeda.

Menurut etika humanis, sesuatu tidak dilakukan karena tidak membawa efek baik buat kita saat kita hidup. Alasan untuk tidak melakukan sesuatu jadinya harus masuk akal. Jika tidak ada alasan masuk akal kenapa sesuatu tidak baik dilakukan, maka kita bisa lakukan hal itu tanpa takut berdosa.

Bagaimana kita bisa membangun pengertian sebab-akibat yang dibutuhkan oleh etika humanis? Kita harus belajar mengenal diri kita sendiri dan rajin memperhatikan sekeliling. Kita tidak bisa bodoh karena tidak ada kitab suci yang menuntun kita dalam mengambil keputusan. Kita perlu paham apa yang kita sukai dan tidak sukai. Kita perlu tahu apa yang memotivasi kita untuk melakukan sesuatu. Kita perlu tahu apa yang kita takuti dan hargai.

Monday, March 18, 2013

Jatuh Ketimpa Tangga


Bangsa Indonesia dirundung malang. Pemilu 2014 dipastikan tidak akan membawa perbaikan kualitas hidup rakyat. Parpol sibuk cari uang sendiri untuk menimba suara rakyat, bukan untuk membuat program kesejahteraan rakyat. Berita selama setahun ini cuma refleksi upaya cari modal kampanye tanpa ada paparan lengkap mau dikemanakan bangsa ini.

M. T. Zen benar saat bilang "Tak ada bangsa yang kini paling sibuk merusak dirinya sendiri kecuali bangsa Indonesia." Karena yang punya kuasa dan kemampuan bukannya membantu yang sedang lemah dan miskin, tapi justru menindas dan melumat mereka hidup-hidup.

Ada yang bilang ini juga karena rakyat yang tidak terdidik dan salah memilih pemimpin. Tapi yang menyodorkan calon-calon pemimpin ini parpol-parpol sontoloyo itu kan? Jadi bukan rakyat yang salah. Parpol-parpol inilah memulai lingkaran setan dan memang bobrok karena tujuan mereka bukan untuk menyejahterahkan rakyat tapi untuk cari untung sendiri. Bisnis politik tidak pernah seuntung di Indonesia.

Sekarang sudah kepalang basah. Dana kampanye butuh trilyunan untuk pemilu. Ini jadi alasan parpol untuk sibuk cari uang sendiri. Rakyat pun terlihat maklum karena tidak turun ke jalan. Semua orang capek penat. Calon-calon independen tidak bisa maju karena tidak ada dukungan parpol yang juga menguasai badan-badan legislatif. Strategi menyejahterahkan rakyat memakai jalan ini amat sangat suram prospeknya.

Perusakan diri sendiri menjadi lebih lengkap dengan porak porandanya sistem pendidikan nasional. Waktu saya di Indonesia tahun 2011-2012, saya melihat sekolah menengah atas berlomba mengejar status internasional. Sekarang status ini dihapus. Tidak ada masalah jika memang ini yang terbaik. Tapi jelas tidak ada pemikiran jangka panjang. Ini bisa jadi karena pendidikan nasional diproyekkan untuk cari modal kampanye.

Belanja negara diputar oleh parpol-parpol menjadi modal kampanye. Parpol-parpol lalu menyuapi rakyat dengan janji-janji gombal. Bukannya kualitas sekolah, jalan, dan rumah sakit yang didapat, tapi bualan busuk yang memenuhi koran dan teve.

Sistem ekonomi nasional berbasiskan parpol korup sebagai penggerak roda ekonomi ini bisa stabil selama uang pajak tetap masuk. Rakyat membayar pajak untuk biaya kampanye. Uang pajak akhirnya dirupakan menjadi berita infotainment yang dibintangi badut-badut parpol.

Yang diuntungkan bukan rakyat, tapi media teve dan koran yang semakin gemuk makan untung penayangan kampanye. Selain itu, pedagang gosip juga meraup untung karena ekonomi berbasiskan parpol korup butuh gosip untuk menjatuhkan lawan dan kawan.

Tengkulak komoditas pangan – sapi, kedelai, bawang putih, gula, garam, apalah – juga meraup untung karena negara yang bernasib seperti Indonesia tidak punya industri manufaktur yang bisa dimintai uang. Nasi sambel ikan asin di piring rakyat jelata pun tak luput disantap oleh parpol busuk demi modal kampanye.

Sunday, March 17, 2013

Jamu Orang Tua


Anak – kata orang – titipan Tuhan. Darimana ungkapan ini berasal saya tidak tahu. Bisa ditebak tapi maksudnya apa. Anak jangan disia-siakan karena dia tidak minta dilahirkan. Kita yang memulai saat kita meneguk cinta. Entah disengaja atau tidak. Terkadang saat saya letih dan pusing mengurus keluarga, timbul pikiran ngapain ya kita bikin repot seperti ini. Bukankah lebih enak berdua sendiri?

Dari pengalaman saya, anak itu menjadi sangat berharga jika dia akhirnya menjadi teman terbaik saya. Keluarga menjadi bermanfaat jika dari keluarga tumbuh orang-orang yang menjadi teman-teman terbaik yang menemani saya seumur hidup. Ini keuntungan terbesar mempunyai anak.

Dia mau menemani saya saat ngopi malam hari, diskusi liku-liku hidup. Dia membuang sampah dan menyekop salju yang menumpuk menutupi trotoar. Dia menjaga adiknya saat kita berdua mau nonton film atau diundang kondangan. Dia menjadi teladan adiknya. Dia tumbuh menjadi orang yang bisa saya banggakan.

Saat saya marah ke anak saya, saya selalu bilang "Kamu pikir aku peduli jika kamu tidak mau dengarkan anjuranku?" "Lebih cepat kamu tidak mendengar pendapatku, lebih bagus!" Dia lantas paham bahwa semua yang kita lakukan bukan untuk kita, tapi untuk anak kita. Jadi walaupun saya ingin anak saya menjadi teman terbaik saya, saya tidak ingin dia mengikuti saya terus. Satu saat dia harus mencari jalannya sendiri.

Anak adalah milik masa depan. Walaupun saya berharap dia tetap menjadi teman terbaik, saya harus siap ditinggalkan saat dia beranjak dewasa. Lebih cepat dia meninggalkan saya, lebih baik karena saya juga dibebaskan dari tanggung jawab membesarkannya. Perasaan tega ini tidak datang dengan sendirinya. Saya mempersiapkan ini sudah sejak saat dia masuk SD dan berpikir akan jadi apa dia nanti kelak.

Biasanya kita tahu apa anak kita tumbuh dengan baik saat dia menginjak SMP. Arahan dan pelajaran hidup yang kita berikan baru berbuah saat dia kuliah, mencari uang sendiri, dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Pernah saya baca bahwa membesarkan anak di Canada sampai selesai kuliah butuh paling tidak Rp 1 milyar. Ongkos ini sangat mahal dan menjadi pengingat jangan sampai biaya yang dikeluarkan percuma saja. Ongkos ini tergantikan saat melihat tumbuh berkembangnya anak menjadi dewasa. It is simply the greatest movie I have ever watched! And I help direct it.

Sunday, March 10, 2013

Pindah Kerja


Terkadang kita berpikir untuk pindah kerja. Ada yang terpaksa karena suasana kerja tidak enak atau tempat kerja jauh, tapi sebagian besar pindah kerja karena kenaikan gaji.

Perhitungan keputusan berpindah kerja karena kenaikan gaji tidaklah sukar, tapi perhitungan ini kurang seksama jika kita hanya membandingkan kenaikan gaji per bulan saja. Perhitungan seperti ini harus didampingi angka kemungkinan sukses.

Ambillah contoh pegawai P sekarang bekerja di perusahaan X dan menerima gaji Rp 10 juta per bulan. Dia mendapatkan tawaran gaji Rp 15 juta per bulan jika bekerja di perusahaan Y. Jika P hanya menghitung kenaikan gaji saja, maka dia langsung berpikir 50% kenaikan gaji dan memutuskan untuk pindah.

Pemikiran yang lebih seksama memperhitungkan juga berapa lama kemungkinan P bekerja di perusahaan yang baru (Y). Rencana awal yang bagus harus disertai rencana akhir (exit plan). P harus memperhitungkan berapa total uang yang ditabung jika berpindah kerja di perusahaan yang baru dibandingkan dengan jika tetap bekerja di perusahaan sekarang. Dengan begini P bisa juga memasukkan kemungkinan biaya transportasi dan makanan tambahan.

Untuk mendapatkan jumlah total uang yang ditabung, P harus memperkirakan berapa tahun dia akan bekerja di perusahaan Y dibandingkan dengan jika tetap di perusahaan X. Jika P memperkirakan bisa menabung Rp 2 juta per bulan dengan bekerja di Y selama 5 tahun, maka jumlah total tabungan P sebesar Rp 120 juta setelah bekerja 5 tahun di Y.

Selain memperkirakan berapa lama bekerja di Y, P juga harus menghitung kemungkinan dia sukses bekerja di Y. Kegagalan bisa terjadi karena P ternyata kurang cocok dengan jabatan baru atau ternyata perusahaan Y bangkrut di tengah jalan. Pemikiran-pemikiran ini bisa diringkas menjadi angka probabilitas p. Jika taruhlah p = 40%, yaitu P mempunyai kemungkinan 40% sukses bekerja selama 5 tahun di Y, maka angka tabungan realistis sebenarnya bukan Rp 120 juta, tapi Rp 48 juta saja.

Angka Rp 48 juta ini kemudian dibandingkan dengan angka tabungan total jika tetap bekerja di perusahaan X. Jika P sekarang menabung Rp 800 ribu per bulan dengan bekerja di X, maka keputusan pindah ke perusahaan Y kemungkinan besar kurang membawa hasil. Semakin kecil kemungkinan sukses p, maka semakin besar uang tabungan yang harus diperoleh agar keputusan pindah kerja membawa hasil yang diinginkan.

Perhitungan sederhana ini bisa dibuat lebih kompleks dengan mempertimbangkan rencana hidup lain dan kemungkinan lainnya. Intinya adalah: dengan hanya menimbang kenaikan gaji saja tanpa memasukkan angka kemungkinan sukses, maka perhitungan kita menjadi kurang matang.

Friday, March 8, 2013

Bawang Merah

Yang paling sukar di hidup ini:
Sekata seperbuatan. Karena
kita tak pernah berkaca. Berkata 
lantang walau tak mengerti.

Kita tak bisa lebih dari yang kita
lakukan tiap hari. Ingat saja itu.

Kita ingin walau kita tak mampu. 
Mata lapar walau perut kenyang. 
Tertipu yang kita lihat dan dengar.
Kebodohan melahirkan kebodohan.

Kita mulai dari lingkaran terdalam.
Diri sendiri, keluarga, baru yang lain.
Jangan mimpi jika ini pun tak mampu.

Friday, February 22, 2013

Pesan Buat Orang Pandai


Tidak ada orang yang ingin bodoh, jelek, atau miskin. Kita ingin paling tidak dapat salah satu: pandai, rupawan, atau kaya. Ada dari kita yang sudah pandai, rupawan, atau kaya sejak lahir; bahkan ada pula yang punya ketiganya sekaligus walau ini amat sangat jarang. Lalu banyak orang bilang mereka yang pandai, rupawan, atau kaya itu sungguh beruntung.

Mereka yang bilang seperti itu sebenarnya mengungkapkan rasa ingin bernasib sama. Kasarnya, mereka iri. Karena mereka yang rupawan, pandai, atau kaya tidak begitu merasa beruntung, bahkan kerap merasa dikutuk dengan kelebihan mereka.

Karena saya sering main ke kampus, saya cukup mengerti karakter orang-orang pandai. Bisa dibilang rata-rata mereka berkarakter pendiam dan terkesan pemalu dan bahkan penakut karena mereka sering tidak mau bertengkar dengan orang lain. 

Kepandaian menyebabkan orang pandai lebih suka menyibukkan dengan dirinya sendiri. Orang pandai jarang merasa bosan dengan dirinya sendiri. Tidak percaya? Lihat saja sekelilingmu: Yang suka menggunjingkan orang lain biasanya yang bodoh. Orang pandai tidak membutuhkan orang lain untuk membuat kesibukan. Mereka bisa baca buku, menulis, berpikir; otak mereka independen dan beraktifitas sendiri.

Suka sibuk sendiri ini ada kelemahannya. Yang paling menyolok adalah orang pandai kurang suka uang. Kok bisa? Karena uang baru mengalir jika berinteraksi dengan orang lain. Contoh ekstrem adalah Albert Einstein, Richard Feynman, dan mereka yang memenangkan Hadiah Nobel Fisika dan Kimia. Dari biografi mereka, saya tidak ingat ada satu pun dari mereka ini yang kaya raya. Mereka sudah sangat gembira menyibukkan diri dengan rumus-rumus fisika dan percobaan-percobaan kimia, dan menjadi pionir ilmu pengetahuan. Satu contoh lagi: matematikawan, Grigory Perelman, menolak hadiah 1 juta dollar walaupun sudah membuktikan Poincare Conjecture – salah satu problem matematika terumit. Grigory Perelman menyukai kebebasannya dan tidak setuju dengan keputusan panitia Fields Medal karena dia berpendapat ada matematikawan lain yang berhak sama tapi tidak menerima hadiah. Orang-orang ini spesial karena mereka berprinsip dalam hidup.

Warren Buffet dan Bill Gates adalah anomali: mereka pandai dan kaya raya. Kebanyakan orang kaya tapi bukan orang pandai. Mereka cerdik – don't get me wrong – tapi mereka butuh orang lain untuk menjadi kaya raya. Orang-orang kaya yang tidak pandai ini banyak contohnya; kita tinggal lihat daftar koruptor-koruptor Indonesia sebagai buktinya.

Kepandaian itu bisa seperti kutukan karena kepandaian itu berkecenderungan terbang sendiri, sementara kebutuhan keluarga sering bertolak belakang. Mereka yang pandai sekali bisa berkarya gemilang jika hidup sendiri. Walau konsekuensinya adalah hidup miskin, orang ultra-pandai biasanya tidak berkeberatan. Orang pandai yang berkeluarga harus berkompromi karena harus mencari uang. Jika proses kompromi tidak berjalan mulus, kepandaian akan menjadi kutukan.

Banyak akhirnya orang-orang pandai yang dimanipulasi oleh orang-orang kaya karena banyak orang pandai yang kurang pergaulan dan ternyata uang lebih banyak berguna dari kepandaian. Kepandaian itu sukar ditularkan, sementara semua orang butuh uang. Orang-orang pandai yang kuper tapi butuh uang akhirnya bersikap setengah-setengah. Mereka butuh uang tapi tidak mau aktif mencari uang sendiri karena sudah berkebiasaan sibuk sendiri dan enggan berhubungan dengan orang lain.

Pesan saya buat orang pandai: Cintailah uang seperti mencintai keluargamu. Kepandaianmu tidak akan luntur jika kamu cinta uang. Jangan alergi dengan uang karena jika kamu kaya raya bukan berarti kamu bodoh. Karena dengan uang, kamu bisa melakukan dengan bebas semua impianmu. Termasuk merealisasikan ide-ide mulia yang ada di kepalamu. Bukankah lebih baik jika orang pandai yang menjadi kaya raya?

Thursday, February 14, 2013

Makna Beragama


12. Inti pemikiran tiga blog sebelumnya: Ongkos Beragama, Paradoks Beragama, dan Kebebasan Beragama adalah agama adalah bagian budaya karena klaim beberapa agama akan adanya surga neraka tidak berlandaskan fakta, sehingga bisa dipastikan semua agama adalah hasil pemikiran manusia. Agama adalah produk inovasi budaya sang pendiri agama tersebut.

Produk inovasi budaya ini menawarkan servis dan perangkat administrasi yang tetap laku sampai sekarang. Di jaman dulu, agama menjadi alat pemersatu politik dan ekonomi karena saat itu kedua bidang ini belum berkembang sendiri.

Di jaman sekarang, agama tersudutkan menjadi salah satu industri servis. Ada channel teve dan stasiun radio untuk siaran rohani, perjalanan wisata rohani dan ibadah, organisasi agamis besar dan kecil, dan sebagainya. Mengapa bisa laku terus? Karena motivasi terbesar untuk beragama adalah rasa takut akan kematian. Rasa takut ini wajar karena kita merasakan enaknya hidup – makanan sedap, sanjungan bawahan, orgasme seks, uang berlimpah, kasih sayang keluarga – dan sadar bahwa kenikmatan hidup ini akan lenyap jika kita mati.

Agama-agama ini tetap bisa mencerahkan pemikiran kita jika kita kritis. Kebanyakan orang tapi memilih arti literal yang tertulis di kitab-kitab suci mereka. Ajaran yang berisi banyak kisah dan kiasan menjadi stagnan karena interpretasi literal. Jika seperti ini, agama tidak menghidupkan, tapi mengkerdilkan hakikat manusia.

13. Mati itu sendiri sunyi. Kita sirna dari hiruk pikuk dunia dan pergi entah kemana. Kematian itu tidak nyaman karena kita tidak tahu apa yang terjadi setelah kita mati. Parahnya, kita tidak akan pernah tahu apa itu mati selama kita masih hidup.

Karena kita merasa gamang bahwa yang hidup pasti mati, kita berharap untuk hidup selamanya. Rasa takut yang menghinggapi kita luar biasa kekuatannya. Segala daya upaya kita lakukan untuk menentramkan hati kita yang gundah.

Jika kita memakai akal sehat, bisa langsung kita simpulkan bahwa kematian itu alami adanya. Semua yang hidup harus mati. Kita tidak tahu setelah kita mati karena panca indera kita sudah mati.

14. Rasa takut akan kematian menyebabkan kita bertindak tidak masuk akal, seperti percaya akan surga neraka walaupun tidak ada bukti empiris. Kita takut karena kita tidak mengerti. Tabir pengertian ini baru bisa disingkap jika kita belajar mengenal alam semesta lewat sains.

Sebagian besar kita tapi memilih untuk mempercayai sesuatu – agama biasanya – untuk membuat kita merasa tentram tanpa pernah mengerti.

Hasrat bertanya tentang alam semesta dan kehidupan sudah tumbuh dengan sendirinya di diri kita. Ada dua penghalang agar hasrat ini berkembang dengan baik: (i) kita tidak mempunyai ilmu dan guru yang bisa membimbing dengan baik atau (ii) hasrat ini dipadamkan oleh metode pengajaran agama yang menakut-nakuti kita akan surga neraka.

Kesadaran akan kematian semestinya tidak membuat kita takut mati, melainkan membuat kita cinta hidup. Setiap detik kita hidup perlu memberi arti. Jika kita sudah mengisi waktu hidup kita dengan baik, kenapa kita harus takut mati, apalagi peduli kemungkinan hidup setelah mati?

Makna hidup jadi terletak di apa yang kita perbuat selama hidup, sebelum kita mati. Bukan untuk menyongsong hidup baru setelah mati. Bukan untuk berharap surga setelah mati. Tapi untuk hidup yang kita hirup sekarang. Karena setelah yang satu ini, tidak akan ada lagi.

15. Makna beragama buat saya akhirnya adalah kita harus berilmu agar kita paham bagaimana alam semesta ini bekerja dan bisa memutuskan langkah hidup kita dengan akal sehat. Beragama berarti berilmu karena agama sebenarnya berfungsi untuk mengisi otak kita dengan kerangka pemahaman alam semesta, walaupun sebagian kerangka pemahaman agama tidak bisa dibuktikan secara independen dan empiris.

Jika kita memandang agama sebagai kerangka statis, kita biasanya cenderung memakai agama sebagai selimut untuk melindungi kita dari rasa takut akan kematian. Kerangka pemikiran kita jadinya sama dengan milik orang yang hidup ribuan tahun lalu. Ini sesungguhnya akibat kebodohan kita sendiri.

Makna beragama adalah hidup berilmu dan memakai ilmu ini untuk menjadi lebih baik. Ilmu ini tidak harus dari agama. Ilmu yang lebih konsisten dan teruji empiris and independen justru diberikan oleh sains dan matematika, selain juga dari sejarah dan psikologi. Ilmu yang lain – seperti musik dan sastra – mengasah kepekaan otak kita.

Kebodohan akhirnya tidak ada bedanya dengan tidak beragama. Hanya dengan berilmu kita bisa memadamkan rasa takut kita akan kematian.

Dengan berilmu kita bisa dengan independen dan otentik mencari nafas spiritualitas kita. Dengan berilmu kita mencari arti hidup di tengah alam semesta ini.

Sunday, February 10, 2013

Kebebasan Beragama


9. Dari 2 blog sebelumnya: Ongkos Beragama dan Paradoks Beragama bisa disimpulkan (i) tidak ada bukti empiris adanya surga neraka dan (ii) tidak ada agama yang bersifat universal karena agama adalah bagian budaya. Keputusan memeluk satu agama tertentu tidak berhubungan dengan kebenaran yang diklaim agama itu. Keputusan agama mana yang kita peluk ditentukan oleh pola pikir dan keuntungan yang ingin kita dapatkan, atau hanya karena orang tua beragama yang kita punyai sekarang.

Nenek moyang kita sudah mendirikan agama-agama pribumi. Karena raja dan sultan yang berkuasa waktu itu berpindah ke agama-agama yang diimpor dari tanah seberang, maka kita semua – rakyat biasa – ikut pindah berbondong-bondong ke agama-agama impor ini. Sesederhana itu proses kepemelukan agama yang kita punyai sekarang. Jadi jangan kita mudah percaya agama kita adalah yang paling benar. Agama yang kita peluk sekarang sebenarnya adalah pertanda kita bukan bangsa yang berkarakter kuat dan bangga dengan budaya kita sendiri.

10. Bangsa-bangsa yang memiliki jati diri mandiri tidak mudah menelan mentah-mentah agama-agama impor. India dan Saudi Arabia memiliki agama pribumi, demikian pula dengan Cina. Jerman, Jepang, Inggris, Amerika Serikat, Itali mengimpor agama-agama, tapi mereka tidak menerima mentah-mentah. Mereka dengan bebas memodifikasi agama-agama impor ini agar cocok dengan budaya mereka. Hanya dengan proses asimilasi proaktif seperti ini, agama-agama impor ini bisa ditaklukkan untuk tunduk kepada keinginan kita. Jika tidak, selamanya kita akan menjadi budak budaya; ini yang sekarang terjadi di tanah air.

Kita memilih disuapi konsep-konsep asing – surga neraka, pahala dosa, hari kiamat – daripada mencari dan mengolah agama-agama pribumi yang sudah kita miliki. Kita mau saja menerima klaim bahwa agama-agama pribumi kita terbelakang dan dengan sukarela memeluk agama-agama impor yang mengklaim mutakhir dan universal. Kita lupa bersikap kritis dan bertanya. Sampai sekarang kita masih membayar kealpaan intelektual pendahulu kita. Ongkos beragama yang kita pilih adalah amat sangat mahal.

11. Saya bedakan antara adanya surga neraka dan adanya Tuhan. Walaupun secara akal sehat tidak ada bukti empiris yang mendukung adanya surga neraka, masih perlu dikupas lagi apa tidak adanya surga neraka berarti juga tidak adanya Tuhan. Ini akan saya lakukan di blog berikutnya.

Yang cukup gamblang sekarang adalah makna kebebasan beragama. Karena agama adalah produk budaya, maka setiap orang berhak memilih agama yang dia maui atau tidak memilih agama apa pun. Kebebasan beragama atau tidak beragama harus didukung karena budaya kita akan berkembang.

Karena tidak ada agama yang universal, maka yang universal adalah proses pencarian spiritualitas untuk diri kita sendiri. Hasrat pencarian ini ada di tiap sanubari kita, tapi kita padamkan saat kita menelan mentah-mentah konsep-konsep agama yang dicekokkan dari sejak kecil.

Kenapa proses pencarian ini ada? Karena kita ingin menjadi orang baik. Kenapa ingin menjadi orang baik? Karena kita ingin dicintai orang-orang yang kita cintai. Kenapa kita ingin dicintai? Karena kita ingin hidup damai. Menjadi orang baik dan dicintai, dan menikmati hidup damai, itu tidak gampang. Makanya kita butuh inspirasi setiap hari. Kita butuh koneksi dengan alam semesta. Ini yang saya maksudkan dengan spiritualitas: kesadaran bahwa alam semesta bergerak bersama kita dan mengalami perubahan bermakna saat kita menjadi baik.

Saturday, February 9, 2013

Paradoks Beragama


6. Di blog sebelumnya, Ongkos Beragama, saya sampaikan bahwa tidak ada bukti empiris adanya surga neraka. Keberadaan surga neraka juga sukar diterima akal sehat karena ruh itu apa, lokasi surga neraka itu dimana, dan cara ruh mencapai surga neraka tidak bisa dijelaskan memakai akal sehat.

Alasan masuk akal untuk membayar ongkos beragama akhirnya mengerucut ke satu saja: mempertahankan tradisi orang tua. Mempertahankan tradisi keluarga akan sangat mahal jika sang anak tidak mau mematuhi perintah orang tua untuk memeluk agama sama. Keutuhan keluarga bisa pecah setelah pertikaian agama dalam keluarga; ini patut disayangkan karena disebabkan oleh sesuatu yang masih spekulatif kebenarannya.

7. Karena masuk ranah tradisi, agama menjadi bagian budaya masyarakat. Agama menjadi identitas yang bisa dibanggakan atau disembunyikan, tergantung golongan mana yang sedang di atas angin. Kalau orang tua kita beragama mayoritas, maka kemungkinan besar kita merasa menjadi bagian manunggal masyarakat. Kita bahkan bisa merasa lebih benar dari pemeluk agama-agama minoritas. Jika kita belajar sejarah, kita mestinya sadar kenapa kita merasa lebih benar. Yang pasti bukan karena agama kita lebih baik dan benar dari yang lain.

Yang tragis adalah kita membuang budaya sendiri hanya karena kita impor agama produk budaya lain. Saya bilang tragis karena jika agama yang kita impor ini mengklaim sebagai agama universal, seharusnya agama ini dengan mudah mengadopsi budaya kita. Disinilah paradoks pertama beragama: kita dipaksa untuk meninggalkan budaya nenek moyang kita sendiri – mulai dari cara berpakaian sampai bertutur kata – karena memeluk agama yang mengklaim universal. Agama yang kita anut akhirnya menuntut kita untuk meninggalkan identitas nenek moyang kita, yang sebenarnya juga orang tua kita.

Kesemuanya ini untuk menenangkan rasa takut akan surga neraka yang sebenarnya adalah konsep asing di budaya nenek moyang kita sendiri. Bagaimana kita bisa takut akan sesuatu yang semestinya bisa kita rasakan sendiri tanpa harus diberitahu pembawa agama impor ini? Jika surga neraka memang benar adanya dan diciptakan oleh yang menguasai alam semesta ini, mengapa kita harus diberitahu produk budaya lain akan hal yang sejatinya bersifat universal? Apa kita memang bangsa bodoh dan minder?

8. Paradoks kedua beragama adalah semakin tinggi tuntutan kepatuhan agama tertentu, semakin yakin kita merasa agama ini universal. Keyakinan kita ini melawan akal sehat kita sendiri karena semestinya agama yang universal bisa menerima siapa saja. Agama yang universal semestinya sangat luwes dan penuh kasih sayang. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya.

Satu alasan utama kenapa kita mau melakukan berbagai ritual yang diminta agama kita – yang berarti ongkos beragama kita sangat mahal – adalah keinginan kuat kita untuk terselamatkan dari rasa takut. Dari keuniversalan yang membuat kita tertarik ke agama tertentu muncul eksklusivisme yang sebenarnya bukan karakter sesuatu apapun yang mengklaim universal. Kita berlomba untuk menjadi lebih alim dari teman kita. Kita pancarkan aura kealiman ke sekitar kita dengan tutur kata dan cara berpakaian yang bersifat eksklusif. Kita sangat bangga menjadi bagian golongan yang berada di jalan benar, universal, dan eksklusif.

Kecenderungan untuk menjadi eksklusif sangat aneh buat saya dan meyakinkan saya bahwa beragama adalah fenomena perilaku manusia belaka.

Thursday, February 7, 2013

Ongkos Beragama


1. Beragama buat banyak orang menjadi keharusan karena beberapa alasan: (i) mempertahankan tradisi orang tua, (ii) merasa tanpa pegangan jika tidak beragama, (iii) asuransi kematian untuk kemungkinan adanya surga neraka. Alasan beragama agar berakhlak mulia tidak berlandaskan bukti empiris karena banyak orang beragama berakhlak bejat. Juga banyak orang tidak beragama tidak berakhlak bejat.

Belum pernah saya bertemu orang beragama yang murni berdasarkan cinta dalam arti menjalankan perintah agama tanpa mengharapkan pahala. Jadi omong kosong ada orang bilang keputusan beragama tidak berlandaskan perhitungan untung rugi.

Wajar jika kita berpikir sejenak ongkos beragama. Hampir semua orang beragama beranggapan ongkos beragama murah dibandingkan risiko benar adanya surga neraka. Anggapan ini yang ingin saya sanggah sekarang.

2. Tulang belulang mayat-mayat yang ada di kuburan tetap berada di situ ribuan tahun. Jika kita percaya ada ruh yang terlepas dan melayang dari mayat untuk menemui penciptanya, sah buat kita untuk bertanya kemana ruh ini pergi. Alam semesta ini luas dan jika surga neraka ada di salah satu sudutnya, bagaimana ruh bisa terbang kesana? Kemudian kita juga perlu bertanya dari materi apa ruh itu berasal. Apa ruh ini seperti cahaya? Jika memang demikian, tentunya ruh ini bisa diukur energi dan momentumnya. Saya belum pernah membaca bukti empiris adanya ruh; yang ada cuma klaim tanpa bukti empiris.

Singkatnya, adanya surga neraka tidak bisa dibuktikan. Jika kita bersikap obyektif, sebenarnya tidak ada landasan fakta untuk mempercayai adanya surga neraka. Logika pembuktian adanya surga neraka akhirnya berputar-putar saja karena tidak ada bukti empiris.

Kita wajar berharap bahwa ada informasi lengkap tentang surga neraka – jika memang ada – yang ditinggalkan oleh pembuatnya, apalagi untuk masalah sepenting hidup dan mati. Tapi informasi atau manual ini pun tidak diberikan dengan gamblang agar mudah dimengerti. Akhirnya kita dibiarkan bermain tebak-tebakan dari dulu sampai sekarang. Tidak adanya informasi gamblang ini bisa menjadi alasan kuat untuk memutuskan surga neraka adalah mitos belaka.

3. Investasi beragama jadinya bersifat sangat spekulatif karena tidak berlandaskan bukti empiris. Tidak adanya bukti empiris ini pun masih membuat kita enggan untuk menolak adanya surga neraka. Bisa disimpulkan investasi beragama dilakukan karena dilandasi rasa takut. Ongkos beragama bisa dianggap sebagai berbanding lurus dengan rasa takut kita. Kita mau membayar ongkos beragama jika kita semakin takut akan masuk neraka. 

Rasa takut ini bisa dieksploitasi oleh penjaja ajaran agama. Rasa takut kolektif kita membuat beberapa organisasi agama menjadi sangat kaya raya. Rasa takut ini menjadikan kita masyarakat terjajah karena agama di tatanan sosial selalu menjadi alat manipulasi dan kontrol.

4. Dari ketiga alasan beragama di atas, yang masih didukung bukti empiris adalah alasan pertama: mempertahankan tradisi orang tua. Menurut saya, disinilah kunci memahami fungsi agama. Agama adalah bagian budaya masyarakat sehingga tidak ada satu agama yang lebih baik dari yang lain. Semakin rasional satu masyarakat, semakin dia tidak butuh agama.

Adanya agama bukan bukti adanya surga neraka. Adanya agama adalah bukti manusia membutuhkan rasa aman.

Ongkos beragama karena alasan pertama juga karena rasa takut diasingkan oleh masyarakat. Ini menarik untuk disadari karena setiap pendiri agama awalnya dimusuhi oleh atau mengasingkan diri dari masyarakat tempat dia berasal.

5. Ongkos beragama bisa sangat mahal jika kita harus bepergian jauh agar kita merasa aman dari siksa neraka. Ongkos beragama bisa berupa waktu berjam-jam tiap hari agar kita merasa dijauhkan dari api neraka. Buat sebagian orang, ongkos ini wajar karena hakikatnya menenangkan rasa takut yang ada di hati kita.

Monday, January 21, 2013

Malam Kekal


Malam tak pandai mengekang
Birahi segan pudar lekang
Dingin terkutuk butuh teman

Aku nyerah pejamkan mata
Besok kerja ini lanjut itu
Sepi malam bertambah liar

Aku hujamkan bertubi-tubi
Bulan keparat senyum bisumu
Aku puas lekas binasa

Sepi malam penuh muslihat
Mau tak mau kubenci siang
Karena malam selalu kekal

Saturday, January 19, 2013

LaCoste Gravimeter


LaCoste gravimeter is a portable instrument used to measure gravitational acceleration. It is used in oil and gas exploration. A schematic diagram of the LaCoste gravimeter is shown above. Its components are relatively simple: a rod of length l, a spherical test mass of mass m, and a spring with a spring constant k.

The gravitational acceleration is measured by the slight rotation of the rod. The entire assembly must be calibrated when in static equilibrium. For this reason, it is a relative gravitational measurement system.

One can perform a dynamics analysis to find the equations that relate the rod deflection to the gravitational acceleration felt by the test mass and to the amount of stretch the spring experiences. This can be done simply by assuming a massless rod, a massless spring, and no relative motion at the contact point C between the rod and a support mechanism attached to the vertical wall.

A more detailed - thus realistic - analysis, however requires that one pay attention to

1. Relative motion at the contact point C. This will contribute to the energy dissipation by the torque and the sliding at the contact point.

2. The mass of the spring. As the spring deforms, its centre of mass changes and thus has its own kinetic energy.

3. The mass of the rod. As the rod rotates, it has its own kinetic energy and potential energy.

Such detailed analysis will prove complicated using Newton's laws of motion since the considerations for the energy conservation and mechanical forces acting on the system become separate. One needs also to pay attention to the angular momentum of the sytem. A better way is to use Lagrangian mechanics.

Friday, January 18, 2013

Nasi Liwet Bu Wongso Lemu


Sejak kecil, saat liburan Hari Raya di kota Solo, saya pasti diajak makan nasi liwet Bu Wongso Lemu di jalan Keprabon, tidak jauh dari kraton Mangkunegaran. Warungnya sederhana sekali dan terletak di pinggir jalan. Kita duduk lesehan di malam hari. Ditemani temaram lampu minyak.

Bapak saya cerita Bu Wongso ini punya prinsip berjualan yang tidak memaksa dirinya melebihi batas yang dia rasakan. Jika jualan sudah habis, ya warung Bu Wongso ini tutup. Tutup lebih awal tak masalah walaupun yang antri beli nasi liwet berjejer panjang. Bu Wongso seakan tidak peduli. Dia tetap memasak sebanyak yang dia rasakan sebagai batas maksimum. Kiat bisnis ini dijalankan juga oleh Warung Sate Buntel Mbok Galak di utara kota Solo, yang cukup sering tutup sore jika sudah habis.

Entah mengapa cerita ini membekas di hati saya. Sampai sekarang. Kalau dipikir lagi, saya ingat terus cerita ini karena jadi pengingat untuk tidak rakus. Bahwa hidup ini harus seimbang. Bahwa hidup itu harus berprinsip.

Cerita Nasi Liwet Bu Wongso Lemu muncul di benak saya saat membaca banjir besar Jakarta 2 hari lalu. Jakarta ini seperti warung nasi Bu Wongso yang sangat laris. Semua orang antri untuk tinggal di Jakarta. Semua orang ingin berinvestasi di Jakarta. Membangun jalan tol, mall, restoran, warung, sekolah, gedung bertingkat untuk mencari uang.

Jakarta – lewat pemerintahnya – tapi tidak bertindak seperti Bu Wongso. Karena lupa diri dan kesempatan cari untung sendiri, Jakarta mengangguk terus saat melihat yang antri panjang sekali. Wah, gue bisa untung besar nih, gumam Jakarta. Dan yang dibilang pembangunan berjalan tanpa berhenti.

Yang dibilang pembangunan ini ternyata pengrusakan. Lingkungan alam Jakarta rusak parah. Kenyamanan hidup diganti racun asap knalpot, kebisingan dimana-mana, dan kemacetan tanpa henti. Pusat pemerintahan: oke. Pusat bisnis: oke. Pusat hiburan: oke. Pusat pendidikan: oke. Semua dicaplok dan tidak ditakar. Rakusnya Jakarta akhirnya merusak dirinya sendiri. Banjir menyapa tiap tahun dan semua warga Jakarta sengsara. 

Rakus yang luar biasa ini terjadi karena tidak ada yang mengerem. Semua pihak yang mencari untung berpusat di Jakarta dan mudah berkomplot untuk menambah untungnya sendiri. Jika ingin perkasa, tinggal lah di Jakarta. Komplotan-komplotan ini berdekatan satu sama lain. Mencari uang tidak pernah berhenti karena jika berhenti sebentar, tetangga sebelah bisa lebih kaya dari kita.

Tidak tahu batas juga menjadi alasan kenapa rakus bisa merajalela. Orang tidak tahu batas jika dia tidak mau bersikap obyektif: mendengarkan usulan orang lain, mengenal diri sendiri, menambah wawasan. Jakarta tidak beda seperti orang yang tidak bersikap obyektif. Semua mau dicaplok. Tidak seperti Bu Wongso yang paham keterbatasan dirinya sendiri.

Sunday, January 13, 2013

Oil & Gas Survey Data as Conditional Probabilities


I was faced with an interesting question over the weekend when my industrial colleagues asked me how to summarize and present oil and gas survey data as a function of whether these data lead to drilling that produced reservoirs with commercial success. These data are critical for both oil and gas (exploration and production) companies and survey companies that provide survey services to the E&P companies.

The data set that my colleagues want is the probability of correctly detecting the commercial reservoirs using the survey data. Being able to state the success rate of identifying commercial reservoirs using a certain survey method is valuable and important to potential clients. The data that they have is the success rate of the drilling campaigns based on the survey final recommendations. These two sets of data are of course related, but they are not the same.

One tricky aspect of solving this problem is that the oil and gas companies that employ different survey methods do not want to reveal their drilling success rate for either practical or confidentiality reasons. In other words, the success rate of identifying commercial reservoirs using a particular survey method – be it seismic, electromagnetic, or gravitational – has to be determined from incomplete data.

These incomplete data do not necessarily lead to complications. There are ways to go around them using probability formulas. In fact, the final formula–as it turns out–allows me to obtain the success rate of identifying commercial reservoirs using only data that depend on other factors, i.e., using only "conditional probability" data.

One interesting result I found, for example, is the success rate of identifying commercial reservoirs depends on the success rate of a survey method to correctly identifying both commercial reservoirs and non-commercial reservoirs. Correctly identifying commercial reservoirs alone does not give a full picture on how good a survey method is. We should also need to know how good the survey method in correctly identifying non-commercial reservoirs as well.

The conditional probability formulas I use to summarize and present the oil and gas survey data can also be used to validate a claim by an oil and gas survey company. This validation process is important for an oil and gas company to decide which survey company it should hire to maintain or increase its production target.