1. Jalan 20 menit ke toko buku dekat rumah dengan anakku yang masih SD membuka mataku. Tiap anak punya imajinasi yang kuat. Tinggal bagaimana orang tua dan sekolah mengembangkan dan mengarahkan kemampuan alami ini.
Anak saya bertanya banyak hal yang tidak terpikirkan oleh saya. Jika ada invasi luar angkasa, sistem perlindungan apa yang paling baik: bawah tanah atau gedung bertingkat? Mana yang lebih tidak enak: bayar tagihan listrik atau telepon? Cara mati bagaimana yang paling tolol? Cara mati seperti apa yang paling mantap? Jika saya bergerak dengan kecepatan cahaya lalu tiba-tiba berpegangan ke tiang, apa yang terjadi dengan tangan saya?
Sekarang jaman Google, dimana informasi apa saja – dari asal usul alam semesta sampai sejarah Antartika – bisa didapat lewat internet dengan cepat. Cara mendidik harus mengikuti perubahan ini. Anak-anak kita sudah mengenal iPad dan internet sejak lahir. Imajinasi mereka berbaur cepat dengan informasi seketika dari internet.
Karena informasi sudah sangat murah sekarang, yang perlu dipelajari murid adalah kemampuan bernalar. Menilai kemampuan akademis seseorang berdasarkan kemampuan menghafal sudah bukan jamannya lagi.
2. Maksud utama ujian sekolah yang bermakna adalah menyiapkan lulusan ke tahap berikutnya. Materi ujian jadinya harus bisa mengemas apa yang sudah dipelajari untuk mengantisipasi apa yang akan dialami. Ujian bukan tanda akhir belajar, tapi pintu masuk ke pengalaman baru.
Ujian SD sampai SMA saya di dekade 1980-an untuk bidang fisika dan matematika masih menguji kemampuan berpikir saya, sementara mata pelajaran lain hanya menguji kekuatan menghafal saja. Saya masih ingat mereproduksi tabel periodik dari ingatan di kertas ujian untuk mengerjakan ujian kimia. Respek saya ke kimia jatuh karena saking tergantungnya ujian kimia ke hafalan. Kimia ternyata menarik dan sebenarnya fisika terapan, tapi saya baru sadar itu saat kuliah S3.
Anak saya yang kuliah di universitas juga mempunyai pengalaman buruk – seperti saya saat mengerjakan ujian kimia – dengan ujian sosiologi. Soal-soal ujian menanyakan fakta ini itu tanpa maksud jelas. Anak saya bilang ujian sosiologi ini konyol dan bodoh. Dia kontraskan ujian sosiologi dengan ujian discrete mathematics yang memeras otak dan tidak mengandalkan hafalan. Dia lalu cerita teman-teman kuliahnya di ilmu sosial sering diejek teman-teman lain karena mata kuliah mereka sangat remeh dan membosankan.
3. Melihat buruknya pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia tahun 2013, bisa dibayangkan berapa juta siswa yang ciut dan kehilangan nafsu belajarnya karena menyamakan belajar dengan mengerjakan UN saja? Pembunuhan rasa ingin tahu ini berdampak luar biasa karena jutaan siswa ini nanti bekerja dan menjadi orang tua juga. Jika pembinaan mereka tidak optimal, mereka akan menghasilkan generasi berikut yang inferior.
No comments:
Post a Comment