Sunday, August 4, 2019

Disiplin


Saya dan istri pergi ke Gunung Kidul kemarin untuk melihat pagelaran wayang kulit. Pagelaran dimulai tepat jam 20:30 dengan gending-gending Jawa yang membuat saya merasa trenyuh. Setelah masuk 30 menit, sambutan-sambutan penyelenggara terkesan panjang mengular dan menjunjung tinggi pamong-pamong praja, sementara rakyat kecil seperti saya yang mbleber klasa di jalan hanya bisa menunggu kapan wayangnya dimulai.

Pagelaran wayang kulit melukiskan keagungan budaya Jawa. Monolog dalang yang melukiskan percakapan ratu-ratu, patih-patih, dan ksatria-ksatria Mahabarata dibalut dengan seksama. Puluhan penabuh gamelan, sinden cantik berkebaya berbilang 7 sampai 9, dan terop megah. Semua tampak elok dan detail-oriented.

Kami menikmati monolog di bab pertama, percakapan antara Patih Sengkuni, Prabu Duryudono, Adipati Karno, dan Begawan Bisma tentang ketidakmauan Prabu Duryudono untuk tapa brata mencari Wahyu Cakraningrat. Prabu Duryudono mengagungkan kemewahan dunia dan bersikap sombong karena semua kesenangan dunia sudah tercukupi. Kepuasan hidup akhirnya terbatas pemenuhan perut, mata, dan kelamin. Begawan Bisma marah dan menyalahkan Patih Sengkuni yang mempengaruhi Prabu Duryudono. Celakanya, Raden Lesmana, anak Prabu Duryudono, justru yang diutus mencari Wahyu Cakraningrat dan akan ditemani oleh pengawal yang tidak percaya akan perlunya mencari wahyu.

Sari cerita bab pertama buat saya ini menggambarkan pikiran untuk terus mencari dan belajar, mengasah jiwa raga untuk kedigdayaan dunia. Dalam kata lain, masyarakat Jawa semestinya tidak pernah puas dan terus belajar memperbaiki diri. Ini semua bagus.

Kami menikmati bab intermezzo Limbukan yang diisi tembang-tembang yang dinyanyikan sinden-sinden yang raut mukanya masih segar padahal jam sudah menunjukkan 12:30 pagi.

Pada saat kami harus ke belakang, kami diingatkan hal yang tidak dibahas di cerita wayang. Banyak sekali sampah makanan, plastik, kardus kertas dimana-mana, bahkan di balik layar. Orang seenaknya membuang sampah tanpa peduli. Saya berpikir ada nggak ya cerita wayang tentang disiplin. Disiplin untuk tidak membuang sampah. Disiplin untuk menjaga kamar mandi bersih. Disiplin yang berhubungan dengan kegiatan sehari-hari.

Disiplin penting karena ide besar apa pun tidak akan bisa terealisasi tanpa itu.

Kami meneruskan mengikuti cerita wayang dengan duduk di samping panggung. Capek juga 3 jam duduk bersimpuh di atas tikar yang kami beli Rp 5000. Saya celingak-celinguk mencari tempat sampah. Tidak kami temukan, dan terpaksa tas plastik saya letakkan diatas tumpukan kardus-kardus kertas di depan rumah yang ketempatan pagelaran wayang.

Istri saya sudah mengantuk berat jam 2 pagi. Kami putuskan balik ke Klaten melewati jalur utama Gunung Kidul ke Klaten yang sekarang sepi nyenyat. Nikmat rasanya. Keturutan melihat pagelaran wayang kulit Ki Seno Nugroho, gumam saya saat kami memasuki kota Klaten.

No comments:

Post a Comment