Saturday, December 21, 2013

Keadaan Darurat


Keadaan di Indonesia sekarang sudah bisa dikategorikan keadaan darurat. Ada beberapa alasan mengapa saya bilang keadaan darurat. Pertama, kerusakan alam Indonesia. REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), yang merupakan kerangka acuan agar negara berkembang bisa mendapatkan ganti rugi jika bisa mengurangi emisi karbon, bilang bahwa area hutan Indonesia berkurang sebanyak 1.17 juta hektar setiap tahun sementara total area hutan sebesar 131.3 juta hektar. Pengurangan sebesar 0.87% per tahun ini akan membawa bencana banjir dan kekurangan air minum tanpa harus menunggu semua hutan lenyap. Tidak ada perhatian serius untuk mengurangi kerusakan alam yang pada akhirnya mempengaruhi kehidupan sehari-hari, mulai dari asap knalpot berkadar elemen kimia timbal (Pb) yang beracun dan sungai-sungai hitam penuh kotoran dan plastik.

Kedua, pemerintah dan pemimpin Indonesia tidak efektif dalam memperjuangkan hak hidup layak rakyat. Korupsi merajalela: saya baca di koran 70% pemimpin daerah - termasuk gubernur dan walikota - korup. Karena mereka yang membelanjakan uang negara dan jika bisa diasumsi level korupsi mereka sekitar 10% dari total belanja negara sebesar Rp 1683 trilyun tahun 2013, maka uang negara yang hilang sebesar Rp 118 trilyun = 70% × 10% × Rp 1683 trilyun. Ini perkiraan minimum tapi jelas menggambarkan rusaknya sistem ekonomi nasional. Korupsi menjadi industri di Indonesia dan mendistorsi harga tanah, bangunan, dan perilaku pasar secara umum. Pelaku usaha industri korupsi adalah politikus, aparat pemerintah dan hukum yang kemudian berkolusi merusak semakin parah tatanan sosial, ekonomi, dan alam.

Uang Rp 118 trilyun ini menjadi sekitar Rp 1 juta per tahun jika dibagikan rata ke jumlah penduduk miskin yang berkisar 40% dari total 250 juta rakyat. Uang yang dikorupsi pasti akan cukup untuk membiayai sekolah anak miskin dari SD sampai SMA dan menjamin kesehatan mereka. Kenapa ini tidak bisa dilakukan? Karena uangnya dicuri koruptor-koruptor yang merajalela di tanah air.

Ketiga, pemerintah telah membodohkan rakyat dengan tidak memberikan sistem pendidikan yang memadai dan mampu mencetak lulusan yang mandiri dan berpikiran merdeka. Dari pengalaman saya mewawancarai pelamar kerja saat bekerja di Indonesia 2011-2012, saya terkejut dengan rendahnya kemampuan berpikir logis dan analitis insinyur lulusan beberapa perguruan tinggi yang terbilang punya nama. Lulusan insinyur mesin tidak bisa menjelaskan efisiensi mesin bakar. Lulusan2 insinyur tidak mampu menjelaskan hubungan persamaan matematika dengan fisika. Lulusan2 ini lah yang nantinya menggantikan senior mereka dan menjadi pemimpin di lingkungan mereka. Tidak berlebihan jika saya pesimis akan kemampuan Indonesia untuk mewujudkan visi memakmurkan rakyat.

Rasa pesimis ini karena juga melihat sistem pendidikan dasar dari SD sampai SMA yang dijejali hafalan informasi tanpa ada pelatihan berpikir kritis. Sistem pendidikan buruk ini dilanjutkan ke perguruan tinggi. Penjejalan rumus dan hafalan selama kuliah akan memperparah keadaan. Para lulusan insinyur dan sarjana ini tidak akan mampu berpikir mandiri.

Tidak mungkin Indonesia bisa sejajar dengan Cina, Korea Selatan, apalagi Canada dan Amerika Serikat sampai kapan pun jika sistem pendidikan Indonesia tidak dirombak total.