Friday, February 22, 2013

Pesan Buat Orang Pandai


Tidak ada orang yang ingin bodoh, jelek, atau miskin. Kita ingin paling tidak dapat salah satu: pandai, rupawan, atau kaya. Ada dari kita yang sudah pandai, rupawan, atau kaya sejak lahir; bahkan ada pula yang punya ketiganya sekaligus walau ini amat sangat jarang. Lalu banyak orang bilang mereka yang pandai, rupawan, atau kaya itu sungguh beruntung.

Mereka yang bilang seperti itu sebenarnya mengungkapkan rasa ingin bernasib sama. Kasarnya, mereka iri. Karena mereka yang rupawan, pandai, atau kaya tidak begitu merasa beruntung, bahkan kerap merasa dikutuk dengan kelebihan mereka.

Karena saya sering main ke kampus, saya cukup mengerti karakter orang-orang pandai. Bisa dibilang rata-rata mereka berkarakter pendiam dan terkesan pemalu dan bahkan penakut karena mereka sering tidak mau bertengkar dengan orang lain. 

Kepandaian menyebabkan orang pandai lebih suka menyibukkan dengan dirinya sendiri. Orang pandai jarang merasa bosan dengan dirinya sendiri. Tidak percaya? Lihat saja sekelilingmu: Yang suka menggunjingkan orang lain biasanya yang bodoh. Orang pandai tidak membutuhkan orang lain untuk membuat kesibukan. Mereka bisa baca buku, menulis, berpikir; otak mereka independen dan beraktifitas sendiri.

Suka sibuk sendiri ini ada kelemahannya. Yang paling menyolok adalah orang pandai kurang suka uang. Kok bisa? Karena uang baru mengalir jika berinteraksi dengan orang lain. Contoh ekstrem adalah Albert Einstein, Richard Feynman, dan mereka yang memenangkan Hadiah Nobel Fisika dan Kimia. Dari biografi mereka, saya tidak ingat ada satu pun dari mereka ini yang kaya raya. Mereka sudah sangat gembira menyibukkan diri dengan rumus-rumus fisika dan percobaan-percobaan kimia, dan menjadi pionir ilmu pengetahuan. Satu contoh lagi: matematikawan, Grigory Perelman, menolak hadiah 1 juta dollar walaupun sudah membuktikan Poincare Conjecture – salah satu problem matematika terumit. Grigory Perelman menyukai kebebasannya dan tidak setuju dengan keputusan panitia Fields Medal karena dia berpendapat ada matematikawan lain yang berhak sama tapi tidak menerima hadiah. Orang-orang ini spesial karena mereka berprinsip dalam hidup.

Warren Buffet dan Bill Gates adalah anomali: mereka pandai dan kaya raya. Kebanyakan orang kaya tapi bukan orang pandai. Mereka cerdik – don't get me wrong – tapi mereka butuh orang lain untuk menjadi kaya raya. Orang-orang kaya yang tidak pandai ini banyak contohnya; kita tinggal lihat daftar koruptor-koruptor Indonesia sebagai buktinya.

Kepandaian itu bisa seperti kutukan karena kepandaian itu berkecenderungan terbang sendiri, sementara kebutuhan keluarga sering bertolak belakang. Mereka yang pandai sekali bisa berkarya gemilang jika hidup sendiri. Walau konsekuensinya adalah hidup miskin, orang ultra-pandai biasanya tidak berkeberatan. Orang pandai yang berkeluarga harus berkompromi karena harus mencari uang. Jika proses kompromi tidak berjalan mulus, kepandaian akan menjadi kutukan.

Banyak akhirnya orang-orang pandai yang dimanipulasi oleh orang-orang kaya karena banyak orang pandai yang kurang pergaulan dan ternyata uang lebih banyak berguna dari kepandaian. Kepandaian itu sukar ditularkan, sementara semua orang butuh uang. Orang-orang pandai yang kuper tapi butuh uang akhirnya bersikap setengah-setengah. Mereka butuh uang tapi tidak mau aktif mencari uang sendiri karena sudah berkebiasaan sibuk sendiri dan enggan berhubungan dengan orang lain.

Pesan saya buat orang pandai: Cintailah uang seperti mencintai keluargamu. Kepandaianmu tidak akan luntur jika kamu cinta uang. Jangan alergi dengan uang karena jika kamu kaya raya bukan berarti kamu bodoh. Karena dengan uang, kamu bisa melakukan dengan bebas semua impianmu. Termasuk merealisasikan ide-ide mulia yang ada di kepalamu. Bukankah lebih baik jika orang pandai yang menjadi kaya raya?

Thursday, February 14, 2013

Makna Beragama


12. Inti pemikiran tiga blog sebelumnya: Ongkos Beragama, Paradoks Beragama, dan Kebebasan Beragama adalah agama adalah bagian budaya karena klaim beberapa agama akan adanya surga neraka tidak berlandaskan fakta, sehingga bisa dipastikan semua agama adalah hasil pemikiran manusia. Agama adalah produk inovasi budaya sang pendiri agama tersebut.

Produk inovasi budaya ini menawarkan servis dan perangkat administrasi yang tetap laku sampai sekarang. Di jaman dulu, agama menjadi alat pemersatu politik dan ekonomi karena saat itu kedua bidang ini belum berkembang sendiri.

Di jaman sekarang, agama tersudutkan menjadi salah satu industri servis. Ada channel teve dan stasiun radio untuk siaran rohani, perjalanan wisata rohani dan ibadah, organisasi agamis besar dan kecil, dan sebagainya. Mengapa bisa laku terus? Karena motivasi terbesar untuk beragama adalah rasa takut akan kematian. Rasa takut ini wajar karena kita merasakan enaknya hidup – makanan sedap, sanjungan bawahan, orgasme seks, uang berlimpah, kasih sayang keluarga – dan sadar bahwa kenikmatan hidup ini akan lenyap jika kita mati.

Agama-agama ini tetap bisa mencerahkan pemikiran kita jika kita kritis. Kebanyakan orang tapi memilih arti literal yang tertulis di kitab-kitab suci mereka. Ajaran yang berisi banyak kisah dan kiasan menjadi stagnan karena interpretasi literal. Jika seperti ini, agama tidak menghidupkan, tapi mengkerdilkan hakikat manusia.

13. Mati itu sendiri sunyi. Kita sirna dari hiruk pikuk dunia dan pergi entah kemana. Kematian itu tidak nyaman karena kita tidak tahu apa yang terjadi setelah kita mati. Parahnya, kita tidak akan pernah tahu apa itu mati selama kita masih hidup.

Karena kita merasa gamang bahwa yang hidup pasti mati, kita berharap untuk hidup selamanya. Rasa takut yang menghinggapi kita luar biasa kekuatannya. Segala daya upaya kita lakukan untuk menentramkan hati kita yang gundah.

Jika kita memakai akal sehat, bisa langsung kita simpulkan bahwa kematian itu alami adanya. Semua yang hidup harus mati. Kita tidak tahu setelah kita mati karena panca indera kita sudah mati.

14. Rasa takut akan kematian menyebabkan kita bertindak tidak masuk akal, seperti percaya akan surga neraka walaupun tidak ada bukti empiris. Kita takut karena kita tidak mengerti. Tabir pengertian ini baru bisa disingkap jika kita belajar mengenal alam semesta lewat sains.

Sebagian besar kita tapi memilih untuk mempercayai sesuatu – agama biasanya – untuk membuat kita merasa tentram tanpa pernah mengerti.

Hasrat bertanya tentang alam semesta dan kehidupan sudah tumbuh dengan sendirinya di diri kita. Ada dua penghalang agar hasrat ini berkembang dengan baik: (i) kita tidak mempunyai ilmu dan guru yang bisa membimbing dengan baik atau (ii) hasrat ini dipadamkan oleh metode pengajaran agama yang menakut-nakuti kita akan surga neraka.

Kesadaran akan kematian semestinya tidak membuat kita takut mati, melainkan membuat kita cinta hidup. Setiap detik kita hidup perlu memberi arti. Jika kita sudah mengisi waktu hidup kita dengan baik, kenapa kita harus takut mati, apalagi peduli kemungkinan hidup setelah mati?

Makna hidup jadi terletak di apa yang kita perbuat selama hidup, sebelum kita mati. Bukan untuk menyongsong hidup baru setelah mati. Bukan untuk berharap surga setelah mati. Tapi untuk hidup yang kita hirup sekarang. Karena setelah yang satu ini, tidak akan ada lagi.

15. Makna beragama buat saya akhirnya adalah kita harus berilmu agar kita paham bagaimana alam semesta ini bekerja dan bisa memutuskan langkah hidup kita dengan akal sehat. Beragama berarti berilmu karena agama sebenarnya berfungsi untuk mengisi otak kita dengan kerangka pemahaman alam semesta, walaupun sebagian kerangka pemahaman agama tidak bisa dibuktikan secara independen dan empiris.

Jika kita memandang agama sebagai kerangka statis, kita biasanya cenderung memakai agama sebagai selimut untuk melindungi kita dari rasa takut akan kematian. Kerangka pemikiran kita jadinya sama dengan milik orang yang hidup ribuan tahun lalu. Ini sesungguhnya akibat kebodohan kita sendiri.

Makna beragama adalah hidup berilmu dan memakai ilmu ini untuk menjadi lebih baik. Ilmu ini tidak harus dari agama. Ilmu yang lebih konsisten dan teruji empiris and independen justru diberikan oleh sains dan matematika, selain juga dari sejarah dan psikologi. Ilmu yang lain – seperti musik dan sastra – mengasah kepekaan otak kita.

Kebodohan akhirnya tidak ada bedanya dengan tidak beragama. Hanya dengan berilmu kita bisa memadamkan rasa takut kita akan kematian.

Dengan berilmu kita bisa dengan independen dan otentik mencari nafas spiritualitas kita. Dengan berilmu kita mencari arti hidup di tengah alam semesta ini.

Sunday, February 10, 2013

Kebebasan Beragama


9. Dari 2 blog sebelumnya: Ongkos Beragama dan Paradoks Beragama bisa disimpulkan (i) tidak ada bukti empiris adanya surga neraka dan (ii) tidak ada agama yang bersifat universal karena agama adalah bagian budaya. Keputusan memeluk satu agama tertentu tidak berhubungan dengan kebenaran yang diklaim agama itu. Keputusan agama mana yang kita peluk ditentukan oleh pola pikir dan keuntungan yang ingin kita dapatkan, atau hanya karena orang tua beragama yang kita punyai sekarang.

Nenek moyang kita sudah mendirikan agama-agama pribumi. Karena raja dan sultan yang berkuasa waktu itu berpindah ke agama-agama yang diimpor dari tanah seberang, maka kita semua – rakyat biasa – ikut pindah berbondong-bondong ke agama-agama impor ini. Sesederhana itu proses kepemelukan agama yang kita punyai sekarang. Jadi jangan kita mudah percaya agama kita adalah yang paling benar. Agama yang kita peluk sekarang sebenarnya adalah pertanda kita bukan bangsa yang berkarakter kuat dan bangga dengan budaya kita sendiri.

10. Bangsa-bangsa yang memiliki jati diri mandiri tidak mudah menelan mentah-mentah agama-agama impor. India dan Saudi Arabia memiliki agama pribumi, demikian pula dengan Cina. Jerman, Jepang, Inggris, Amerika Serikat, Itali mengimpor agama-agama, tapi mereka tidak menerima mentah-mentah. Mereka dengan bebas memodifikasi agama-agama impor ini agar cocok dengan budaya mereka. Hanya dengan proses asimilasi proaktif seperti ini, agama-agama impor ini bisa ditaklukkan untuk tunduk kepada keinginan kita. Jika tidak, selamanya kita akan menjadi budak budaya; ini yang sekarang terjadi di tanah air.

Kita memilih disuapi konsep-konsep asing – surga neraka, pahala dosa, hari kiamat – daripada mencari dan mengolah agama-agama pribumi yang sudah kita miliki. Kita mau saja menerima klaim bahwa agama-agama pribumi kita terbelakang dan dengan sukarela memeluk agama-agama impor yang mengklaim mutakhir dan universal. Kita lupa bersikap kritis dan bertanya. Sampai sekarang kita masih membayar kealpaan intelektual pendahulu kita. Ongkos beragama yang kita pilih adalah amat sangat mahal.

11. Saya bedakan antara adanya surga neraka dan adanya Tuhan. Walaupun secara akal sehat tidak ada bukti empiris yang mendukung adanya surga neraka, masih perlu dikupas lagi apa tidak adanya surga neraka berarti juga tidak adanya Tuhan. Ini akan saya lakukan di blog berikutnya.

Yang cukup gamblang sekarang adalah makna kebebasan beragama. Karena agama adalah produk budaya, maka setiap orang berhak memilih agama yang dia maui atau tidak memilih agama apa pun. Kebebasan beragama atau tidak beragama harus didukung karena budaya kita akan berkembang.

Karena tidak ada agama yang universal, maka yang universal adalah proses pencarian spiritualitas untuk diri kita sendiri. Hasrat pencarian ini ada di tiap sanubari kita, tapi kita padamkan saat kita menelan mentah-mentah konsep-konsep agama yang dicekokkan dari sejak kecil.

Kenapa proses pencarian ini ada? Karena kita ingin menjadi orang baik. Kenapa ingin menjadi orang baik? Karena kita ingin dicintai orang-orang yang kita cintai. Kenapa kita ingin dicintai? Karena kita ingin hidup damai. Menjadi orang baik dan dicintai, dan menikmati hidup damai, itu tidak gampang. Makanya kita butuh inspirasi setiap hari. Kita butuh koneksi dengan alam semesta. Ini yang saya maksudkan dengan spiritualitas: kesadaran bahwa alam semesta bergerak bersama kita dan mengalami perubahan bermakna saat kita menjadi baik.

Saturday, February 9, 2013

Paradoks Beragama


6. Di blog sebelumnya, Ongkos Beragama, saya sampaikan bahwa tidak ada bukti empiris adanya surga neraka. Keberadaan surga neraka juga sukar diterima akal sehat karena ruh itu apa, lokasi surga neraka itu dimana, dan cara ruh mencapai surga neraka tidak bisa dijelaskan memakai akal sehat.

Alasan masuk akal untuk membayar ongkos beragama akhirnya mengerucut ke satu saja: mempertahankan tradisi orang tua. Mempertahankan tradisi keluarga akan sangat mahal jika sang anak tidak mau mematuhi perintah orang tua untuk memeluk agama sama. Keutuhan keluarga bisa pecah setelah pertikaian agama dalam keluarga; ini patut disayangkan karena disebabkan oleh sesuatu yang masih spekulatif kebenarannya.

7. Karena masuk ranah tradisi, agama menjadi bagian budaya masyarakat. Agama menjadi identitas yang bisa dibanggakan atau disembunyikan, tergantung golongan mana yang sedang di atas angin. Kalau orang tua kita beragama mayoritas, maka kemungkinan besar kita merasa menjadi bagian manunggal masyarakat. Kita bahkan bisa merasa lebih benar dari pemeluk agama-agama minoritas. Jika kita belajar sejarah, kita mestinya sadar kenapa kita merasa lebih benar. Yang pasti bukan karena agama kita lebih baik dan benar dari yang lain.

Yang tragis adalah kita membuang budaya sendiri hanya karena kita impor agama produk budaya lain. Saya bilang tragis karena jika agama yang kita impor ini mengklaim sebagai agama universal, seharusnya agama ini dengan mudah mengadopsi budaya kita. Disinilah paradoks pertama beragama: kita dipaksa untuk meninggalkan budaya nenek moyang kita sendiri – mulai dari cara berpakaian sampai bertutur kata – karena memeluk agama yang mengklaim universal. Agama yang kita anut akhirnya menuntut kita untuk meninggalkan identitas nenek moyang kita, yang sebenarnya juga orang tua kita.

Kesemuanya ini untuk menenangkan rasa takut akan surga neraka yang sebenarnya adalah konsep asing di budaya nenek moyang kita sendiri. Bagaimana kita bisa takut akan sesuatu yang semestinya bisa kita rasakan sendiri tanpa harus diberitahu pembawa agama impor ini? Jika surga neraka memang benar adanya dan diciptakan oleh yang menguasai alam semesta ini, mengapa kita harus diberitahu produk budaya lain akan hal yang sejatinya bersifat universal? Apa kita memang bangsa bodoh dan minder?

8. Paradoks kedua beragama adalah semakin tinggi tuntutan kepatuhan agama tertentu, semakin yakin kita merasa agama ini universal. Keyakinan kita ini melawan akal sehat kita sendiri karena semestinya agama yang universal bisa menerima siapa saja. Agama yang universal semestinya sangat luwes dan penuh kasih sayang. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya.

Satu alasan utama kenapa kita mau melakukan berbagai ritual yang diminta agama kita – yang berarti ongkos beragama kita sangat mahal – adalah keinginan kuat kita untuk terselamatkan dari rasa takut. Dari keuniversalan yang membuat kita tertarik ke agama tertentu muncul eksklusivisme yang sebenarnya bukan karakter sesuatu apapun yang mengklaim universal. Kita berlomba untuk menjadi lebih alim dari teman kita. Kita pancarkan aura kealiman ke sekitar kita dengan tutur kata dan cara berpakaian yang bersifat eksklusif. Kita sangat bangga menjadi bagian golongan yang berada di jalan benar, universal, dan eksklusif.

Kecenderungan untuk menjadi eksklusif sangat aneh buat saya dan meyakinkan saya bahwa beragama adalah fenomena perilaku manusia belaka.

Thursday, February 7, 2013

Ongkos Beragama


1. Beragama buat banyak orang menjadi keharusan karena beberapa alasan: (i) mempertahankan tradisi orang tua, (ii) merasa tanpa pegangan jika tidak beragama, (iii) asuransi kematian untuk kemungkinan adanya surga neraka. Alasan beragama agar berakhlak mulia tidak berlandaskan bukti empiris karena banyak orang beragama berakhlak bejat. Juga banyak orang tidak beragama tidak berakhlak bejat.

Belum pernah saya bertemu orang beragama yang murni berdasarkan cinta dalam arti menjalankan perintah agama tanpa mengharapkan pahala. Jadi omong kosong ada orang bilang keputusan beragama tidak berlandaskan perhitungan untung rugi.

Wajar jika kita berpikir sejenak ongkos beragama. Hampir semua orang beragama beranggapan ongkos beragama murah dibandingkan risiko benar adanya surga neraka. Anggapan ini yang ingin saya sanggah sekarang.

2. Tulang belulang mayat-mayat yang ada di kuburan tetap berada di situ ribuan tahun. Jika kita percaya ada ruh yang terlepas dan melayang dari mayat untuk menemui penciptanya, sah buat kita untuk bertanya kemana ruh ini pergi. Alam semesta ini luas dan jika surga neraka ada di salah satu sudutnya, bagaimana ruh bisa terbang kesana? Kemudian kita juga perlu bertanya dari materi apa ruh itu berasal. Apa ruh ini seperti cahaya? Jika memang demikian, tentunya ruh ini bisa diukur energi dan momentumnya. Saya belum pernah membaca bukti empiris adanya ruh; yang ada cuma klaim tanpa bukti empiris.

Singkatnya, adanya surga neraka tidak bisa dibuktikan. Jika kita bersikap obyektif, sebenarnya tidak ada landasan fakta untuk mempercayai adanya surga neraka. Logika pembuktian adanya surga neraka akhirnya berputar-putar saja karena tidak ada bukti empiris.

Kita wajar berharap bahwa ada informasi lengkap tentang surga neraka – jika memang ada – yang ditinggalkan oleh pembuatnya, apalagi untuk masalah sepenting hidup dan mati. Tapi informasi atau manual ini pun tidak diberikan dengan gamblang agar mudah dimengerti. Akhirnya kita dibiarkan bermain tebak-tebakan dari dulu sampai sekarang. Tidak adanya informasi gamblang ini bisa menjadi alasan kuat untuk memutuskan surga neraka adalah mitos belaka.

3. Investasi beragama jadinya bersifat sangat spekulatif karena tidak berlandaskan bukti empiris. Tidak adanya bukti empiris ini pun masih membuat kita enggan untuk menolak adanya surga neraka. Bisa disimpulkan investasi beragama dilakukan karena dilandasi rasa takut. Ongkos beragama bisa dianggap sebagai berbanding lurus dengan rasa takut kita. Kita mau membayar ongkos beragama jika kita semakin takut akan masuk neraka. 

Rasa takut ini bisa dieksploitasi oleh penjaja ajaran agama. Rasa takut kolektif kita membuat beberapa organisasi agama menjadi sangat kaya raya. Rasa takut ini menjadikan kita masyarakat terjajah karena agama di tatanan sosial selalu menjadi alat manipulasi dan kontrol.

4. Dari ketiga alasan beragama di atas, yang masih didukung bukti empiris adalah alasan pertama: mempertahankan tradisi orang tua. Menurut saya, disinilah kunci memahami fungsi agama. Agama adalah bagian budaya masyarakat sehingga tidak ada satu agama yang lebih baik dari yang lain. Semakin rasional satu masyarakat, semakin dia tidak butuh agama.

Adanya agama bukan bukti adanya surga neraka. Adanya agama adalah bukti manusia membutuhkan rasa aman.

Ongkos beragama karena alasan pertama juga karena rasa takut diasingkan oleh masyarakat. Ini menarik untuk disadari karena setiap pendiri agama awalnya dimusuhi oleh atau mengasingkan diri dari masyarakat tempat dia berasal.

5. Ongkos beragama bisa sangat mahal jika kita harus bepergian jauh agar kita merasa aman dari siksa neraka. Ongkos beragama bisa berupa waktu berjam-jam tiap hari agar kita merasa dijauhkan dari api neraka. Buat sebagian orang, ongkos ini wajar karena hakikatnya menenangkan rasa takut yang ada di hati kita.