Sunday, April 28, 2013

Pengalaman Belajar


1. Jalan 20 menit ke toko buku dekat rumah dengan anakku yang masih SD membuka mataku. Tiap anak punya imajinasi yang kuat. Tinggal bagaimana orang tua dan sekolah mengembangkan dan mengarahkan kemampuan alami ini.

Anak saya bertanya banyak hal yang tidak terpikirkan oleh saya. Jika ada invasi luar angkasa, sistem perlindungan apa yang paling baik: bawah tanah atau gedung bertingkat? Mana yang lebih tidak enak: bayar tagihan listrik atau telepon? Cara mati bagaimana yang paling tolol? Cara mati seperti apa yang paling mantap? Jika saya bergerak dengan kecepatan cahaya lalu tiba-tiba berpegangan ke tiang, apa yang terjadi dengan tangan saya?

Sekarang jaman Google, dimana informasi apa saja – dari asal usul alam semesta sampai sejarah Antartika – bisa didapat lewat internet dengan cepat. Cara mendidik harus mengikuti perubahan ini. Anak-anak kita sudah mengenal iPad dan internet sejak lahir. Imajinasi mereka berbaur cepat dengan informasi seketika dari internet.

Karena informasi sudah sangat murah sekarang, yang perlu dipelajari murid adalah kemampuan bernalar. Menilai kemampuan akademis seseorang berdasarkan kemampuan menghafal sudah bukan jamannya lagi.

2. Maksud utama ujian sekolah yang bermakna adalah menyiapkan lulusan ke tahap berikutnya. Materi ujian jadinya harus bisa mengemas apa yang sudah dipelajari untuk mengantisipasi apa yang akan dialami. Ujian bukan tanda akhir belajar, tapi pintu masuk ke pengalaman baru.

Ujian SD sampai SMA saya di dekade 1980-an untuk bidang fisika dan matematika masih menguji kemampuan berpikir saya, sementara mata pelajaran lain hanya menguji kekuatan menghafal saja. Saya masih ingat mereproduksi tabel periodik dari ingatan di kertas ujian untuk mengerjakan ujian kimia. Respek saya ke kimia jatuh karena saking tergantungnya ujian kimia ke hafalan. Kimia ternyata menarik dan sebenarnya fisika terapan, tapi saya baru sadar itu saat kuliah S3.

Anak saya yang kuliah di universitas juga mempunyai pengalaman buruk – seperti saya saat mengerjakan ujian kimia – dengan ujian sosiologi. Soal-soal ujian menanyakan fakta ini itu tanpa maksud jelas. Anak saya bilang ujian sosiologi ini konyol dan bodoh. Dia kontraskan ujian sosiologi dengan ujian discrete mathematics yang memeras otak dan tidak mengandalkan hafalan. Dia lalu cerita teman-teman kuliahnya di ilmu sosial sering diejek teman-teman lain karena mata kuliah mereka sangat remeh dan membosankan.

3. Melihat buruknya pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia tahun 2013, bisa dibayangkan berapa juta siswa yang ciut dan kehilangan nafsu belajarnya karena menyamakan belajar dengan mengerjakan UN saja? Pembunuhan rasa ingin tahu ini berdampak luar biasa karena jutaan siswa ini nanti bekerja dan menjadi orang tua juga. Jika pembinaan mereka tidak optimal, mereka akan menghasilkan generasi berikut yang inferior.

Friday, April 26, 2013

Karya Hidup


19. Jika ilmu hidup yang kita pilih adalah agama, maka ada 3 kemungkinan. Kita bisa patuh dan melakukan ritual sesuai agama yang kita anut; kita bisa patuh ritual dan tetap berpandangan spiritual yang segar dan luas; atau kita berpandangan spiritual dan menanggalkan aspek ritual.

Kelemahan mendasar memakai agama sebagai pondasi pemikiran akal adalah agama berlandaskan kepercayaan. Berpikir yang jernih dan rasional memerlukan kita menanggalkan asumsi dan keyakinan yang mungkin kita pegang erat. Walaupun kontradiktif, ada dari kita yang memutuskan berpijak ke agama dan akal dengan bersamaan.

Ritual agama membangun disiplin dan ketaatan, tapi pemahaman spiritual yang segar dan luas masih memerlukan kita memakai akal untuk berpikir tentang sebab akibat. Tidak berlebihan untuk bilang bahwa akhirnya akal yang menyelamatkan kita dari pemikiran agamis yang dogmatis dan eksklusif.

20. Di blog Etika Humanis, yang mendahului blog ini, dan 4 blog sebelumnya: Ongkos Beragama, Paradoks Beragama, Kebebasan Beragama, dan Makna Beragama, saya paparkan bahwa kita seyogyanya tidak berharap imbalan surga neraka karena secara akal keberadaannya tidak bisa dibuktikan. Rasa takut akan kematian yang sangat dalam sebenarnya bisa dipadamkan dengan berilmu. Rasa takut ini akan padam dengan sendirinya jika hidup yang satu ini kita karyakan dengan baik dan produktif.

Saya sangat sering mendengar bahwa percaya surga neraka tidak bertentangan dengan berpikir rasional. Fakta tapi berbicara lain. Banyak sekali ilmuwan ternama yang tidak percaya adanya Tuhan – apalagi surga neraka – dan korelasi statistik antara ilmuwan ternama dan ketidakpercayaan akan Tuhan sangat tinggi. Di tahun 1914, 58% dari 1000 ilmuwan AS meragukan atau tidak percaya adanya Tuhan. Persentasinya naik menjadi 93% di tahun 1996 [E. J. Larson & L. Witham, Nature 394, 313 (1998)]. Yang menarik dari studi ini adalah hanya 5% dari ilmuwan biologi ternama yang percaya Tuhan, disusul oleh 7.5% dari fisikawan dan astronomer ternama, dan 14.3% dari matematikawan ternama.

Bisa disimpulkan bahwa walaupun kemampuan bernalar ilmuwan-ilmuwan ini sangat tinggi, sebagian besar mereka tidak bisa menerima dalil adanya Tuhan.

21. Dari sudut pemakaian waktu hidup, percaya adanya surga neraka cukup menyita waktu, uang, dan tenaga. Ini secara umum sudah saya bahas di blog Ongkos Beragama.

Jumlah waktu per minggu untuk urusan surga neraka bisa ditaksir kasar sekitar 8 jam per minggu, jadi sekitar 1 hari per minggu jika kita tambahkan waktu beribadah dengan waktu untuk urusan-urusan lain yang juga berhubungan dengan keagamaan. 14% waktu hidup kita dipakai untuk urusan surga neraka.

Angka ini tinggi karena 33% waktu hidup kita sudah "dibuang" untuk tidur. Makan dan mandi memakan sekitar 10%, sementara transportasi sekitar 10%. (Jika kita hidup di Jakarta, transportasi bisa memakan 15-20% sendiri.)

Sisa waktu untuk kegiatan yang lain jadinya sekitar 33%, atau bahkan hanya 23-28% saja jika kita tinggal di Jakarta. Jika kita nonton tv 2 jam sehari saja, sisa waktu sekitar 30% ini langsung susut menjadi 22%.

Sukar dibayangkan sisa waktu untuk kegiatan produktif sekitar 20% (4 jam 48 menit tiap hari) akan menghasilkan karya hidup yang berarti. Malcolm Gladwell di bukunya Outliers menggambarkan jalan hidup orang-orang yang sukses dengan bakat yang dibina secara kontinyu. Orang-orang ini butuh 10,000 jam untuk bisa menjadi ahli di bidang masing-masing. Jika kita hanya bisa meluangkan waktu 4 jam 48 menit tiap hari saja untuk mengasah bakat ini, maka dibutuhkan waktu 10 tahun. Ilmuwan-ilmuwan ternama yang tidak percaya adanya Tuhan cukup butuh waktu separuhnya saja.

22. Karya hidup yang kita tinggalkan di dunia berbanding terbalik dengan waktu yang kita pakai untuk urusan surga neraka. Hidup memang pilihan, kata teman baik saya di Jakarta. Saya mengangguk diam.

Saturday, April 20, 2013

Quality Control Inspection: Predicting Population's Probability from Sample's


Q: A quality control engineer tested 50 items at random from an entire lot of manufactured items and found 1 defective item from the tests. What is probability that there is at most 5% of the entire items are defective?

A: Let us first lay down some facts and assumptions from the problem statement. The 50 items can be assumed to be sampled with replacement if the total number of items is very large. The QC engineer found 1 defective item from these 50 sample items. The total number of defective items is not known, as also the the total number of manufacturing items.

The absence of information on the total numbers means that we have to extrapolate the 1/50 defective item probability to the population's defective item probability. The extrapolation process implies that we can come up with different estimates for the population's probability for different confidence probabilities. This is the essence of the question on the probability that there is at most 5% of the entire items are defective.

One way to solve this question is by using beta distribution. Beta distribution tells us the probability of probability of getting k defective items from n samples. I wrote an earlier blog on beta distribution if you need to review it. 

The data k = 1 and n = 50 select the shape of the beta distribution to have the following expression:

f(p) = 2550 p (1–p)49.

This function is then integrated between the lower limit p = 0 and the upper limit p = 0.05 to yield a probability of 73%. The probability of having at most 5% of the entire items defective is 73%. The limits of the integral come from the statement "... that at most 5% of the entire items are defective". Thus, at the lowest, the probability is 0%, i.e., there is no defective item at all, and at the highest it is 5%.

If we plot the result of the integral as a function of the upper limit, i.e., the maximum defective item probability, we find that the probability reaches practically 100% when the upper limit is 10%. This means that the 1/50 defective probability the QC engineer gets from the tests should give him a 100% confidence that the defective probability for the entire manufactured items is maximum 10%.

Notice that by knowing there is a 2% defective probability from the tests, the QC engineer can make an intelligent statement about the maximum defective probability of 10% for the entire population. Neat, eh? We can use math to extrapolate what we know locally to what can happen globally.

Because the available data are so minimal, we cannot use central limit theorem to get a confidence interval. For instance, there is no standard deviation data from the tests. This solution route is therefore a dead end.

There is another method to estimate the defective probability using hypergeometric distribution, but in this case two batches of tests are required. 

Top 10 Signs You're Canadian


10. Your car has winter tires all year round.

9. You can eat cold pizza or pasta – or cold fried rice for that matter.

8. You are more excited about US presidential election than Canadian general election.

7. You know Montreal and Vancouver are each island and city.

6. You've said sorry or excuse me too many times.

5. You know what poutine is.

4. You wear your tuque proudly, even in summer.

3. You eat BC salmon sashimi and medium-rare Alberta beef steak.

2. You have driven from Vancouver to Montreal (4500 km one-way).

1. You want to run outside even though it is snowing and frosty –20C.

Saturday, April 6, 2013

Berpikir Obyektif


Berpikir obyektif tidak mudah. Berpikir obyektif diperlukan saat kita berhasrat mengambil keputusan dengan jernih dan adil. Jika kita tidak mampu berpikir obyektif, akan banyak kesalahan yang kita lakukan. Kita sendiri akan merugi baik finansial maupun emosional.

Halangan terbesar berpikir obyektif adalah pengingkaran fakta. Ini terjadi di dua ekstrem kemampuan berpikir. Bisa karena percaya sendiri tanpa refleksi, atau bisa juga karena malas berpikir. Percaya berlebihan ini biasanya karena lingkungan yang kurang kompetitif sehingga kita punya mental "jago kandang", sementara malas berpikir karena kita tidak terbiasa olah otak.

Contoh pengingkaran fakta, misalnya: saya tidak punya uang membeli mobil mewah berharga ratusan juta rupiah. Tapi karena bank mau memberi fasilitas kredit, saya bisa beli. Cicilan bulanan mobil bisa saya tanggung. Saya senang bank membantu – jadi tidak keberatan bank memungut bunga – dan bangga menyetir mobil mewah yang membuat keluarga saya senang. Di pandangan teman-teman, saya menjadi orang sukses karena mampu membeli mobil ini.

Pemikiran seperti ini tidak obyektif karena sebenarnya saya tahu saya tidak mampu. Hanya dengan bantuan bank, saya menjadi mampu. Kredit bank tidak cuma-cuma, jadi saya dibuat lebih miskin sebenarnya. Tapi, keadaan yang lebih miskin ini tidak saya rasakan. Yang saya rasakan lebih dulu adalah perasaan bangga dan puas mendapatkan yang saya inginkan.

Selain pengingkaran fakta, halangan terbesar kedua adalah pemikiran asosiatif. Banyak orang mengasosiasikan satu hal dengan hal lain secara otomatis dan tanpa dipikir ulang. Misalnya, beberapa teman di Canada langsung berpikir membeli mobil baru yang lebih besar saat mempunyai anak. Pikiran asosiatif ini bisa dipicu oleh (i) kepatuhan mengikuti norma-norma sosial, yang jika berlebihan sesungguhnya merugikan diri sendiri, dan (ii) pemikiran kurang rasional dan kasuistik, yang berakibat kurang tahunya keinginan dan kelemahan diri sendiri.

Berpikir asosiatif berlebihan ini menurunkan kreativitas dan kejernihan berpikir. Kita melalui keseharian seperti kerbau dungu karena tidak tahu apa yang sebenarnya kita inginkan dan mau saja mematuhi aturan-aturan yang dibuat orang lain. Kita dibuat sibuk urusan orang lain tanpa pernah berpikir keinginan kita sendiri.

Kemampuan berpikir obyektif – metode pengambilan keputusan berdasarkan fakta dan pemikiran rasional dan kasuistik – ini tumbuh tidak dengan sendirinya. Kita perlu belajar mengenal diri kita sendiri dan alam sekeliling. Kita perlu melatih untuk bisa melihat kapan otak kita mencoba membohongi kita dengan mengingkari fakta yang ada.

Pendidikan yang mengekang dan bertumpu ke hafalan mengajarkan murid untuk berpikir asosiatif melulu. Banyak lulusan sistem pendidikan seperti ini tidak punya kerangka berpikir kritis karena otaknya sudah dilumpuhkan oleh sekat-sekat aturan kaku selama puluhan tahun di sekolah. Sekolah bukannya membebaskan, tapi justru membelenggu dan mengkebiri.

Dibandingkan dengan perubahan materi dan jasmani, perubahan pemikiran jauh lebih sukar untuk kita mulai. Jika kita tidak memulai berpikir kritis dan berlandaskan fakta – berpikir obyektif – maka jangan kita berharap akan ada perubahan nasib yang berarti.

Celaka bangsa yang mayoritas penduduknya harus melalui sistem pendidikan seperti ini, karena dunia sekarang berubah lebih cepat dari yang bisa kita siapkan. Mulai dari teknologi informasi, bayi tabung, rekayasa genetik, energi terbarukan, sampai perubahan sosial dan politik karena semakin lekangnya sekat negara dan perpindahan penduduk.