Friday, April 26, 2013

Karya Hidup


19. Jika ilmu hidup yang kita pilih adalah agama, maka ada 3 kemungkinan. Kita bisa patuh dan melakukan ritual sesuai agama yang kita anut; kita bisa patuh ritual dan tetap berpandangan spiritual yang segar dan luas; atau kita berpandangan spiritual dan menanggalkan aspek ritual.

Kelemahan mendasar memakai agama sebagai pondasi pemikiran akal adalah agama berlandaskan kepercayaan. Berpikir yang jernih dan rasional memerlukan kita menanggalkan asumsi dan keyakinan yang mungkin kita pegang erat. Walaupun kontradiktif, ada dari kita yang memutuskan berpijak ke agama dan akal dengan bersamaan.

Ritual agama membangun disiplin dan ketaatan, tapi pemahaman spiritual yang segar dan luas masih memerlukan kita memakai akal untuk berpikir tentang sebab akibat. Tidak berlebihan untuk bilang bahwa akhirnya akal yang menyelamatkan kita dari pemikiran agamis yang dogmatis dan eksklusif.

20. Di blog Etika Humanis, yang mendahului blog ini, dan 4 blog sebelumnya: Ongkos Beragama, Paradoks Beragama, Kebebasan Beragama, dan Makna Beragama, saya paparkan bahwa kita seyogyanya tidak berharap imbalan surga neraka karena secara akal keberadaannya tidak bisa dibuktikan. Rasa takut akan kematian yang sangat dalam sebenarnya bisa dipadamkan dengan berilmu. Rasa takut ini akan padam dengan sendirinya jika hidup yang satu ini kita karyakan dengan baik dan produktif.

Saya sangat sering mendengar bahwa percaya surga neraka tidak bertentangan dengan berpikir rasional. Fakta tapi berbicara lain. Banyak sekali ilmuwan ternama yang tidak percaya adanya Tuhan – apalagi surga neraka – dan korelasi statistik antara ilmuwan ternama dan ketidakpercayaan akan Tuhan sangat tinggi. Di tahun 1914, 58% dari 1000 ilmuwan AS meragukan atau tidak percaya adanya Tuhan. Persentasinya naik menjadi 93% di tahun 1996 [E. J. Larson & L. Witham, Nature 394, 313 (1998)]. Yang menarik dari studi ini adalah hanya 5% dari ilmuwan biologi ternama yang percaya Tuhan, disusul oleh 7.5% dari fisikawan dan astronomer ternama, dan 14.3% dari matematikawan ternama.

Bisa disimpulkan bahwa walaupun kemampuan bernalar ilmuwan-ilmuwan ini sangat tinggi, sebagian besar mereka tidak bisa menerima dalil adanya Tuhan.

21. Dari sudut pemakaian waktu hidup, percaya adanya surga neraka cukup menyita waktu, uang, dan tenaga. Ini secara umum sudah saya bahas di blog Ongkos Beragama.

Jumlah waktu per minggu untuk urusan surga neraka bisa ditaksir kasar sekitar 8 jam per minggu, jadi sekitar 1 hari per minggu jika kita tambahkan waktu beribadah dengan waktu untuk urusan-urusan lain yang juga berhubungan dengan keagamaan. 14% waktu hidup kita dipakai untuk urusan surga neraka.

Angka ini tinggi karena 33% waktu hidup kita sudah "dibuang" untuk tidur. Makan dan mandi memakan sekitar 10%, sementara transportasi sekitar 10%. (Jika kita hidup di Jakarta, transportasi bisa memakan 15-20% sendiri.)

Sisa waktu untuk kegiatan yang lain jadinya sekitar 33%, atau bahkan hanya 23-28% saja jika kita tinggal di Jakarta. Jika kita nonton tv 2 jam sehari saja, sisa waktu sekitar 30% ini langsung susut menjadi 22%.

Sukar dibayangkan sisa waktu untuk kegiatan produktif sekitar 20% (4 jam 48 menit tiap hari) akan menghasilkan karya hidup yang berarti. Malcolm Gladwell di bukunya Outliers menggambarkan jalan hidup orang-orang yang sukses dengan bakat yang dibina secara kontinyu. Orang-orang ini butuh 10,000 jam untuk bisa menjadi ahli di bidang masing-masing. Jika kita hanya bisa meluangkan waktu 4 jam 48 menit tiap hari saja untuk mengasah bakat ini, maka dibutuhkan waktu 10 tahun. Ilmuwan-ilmuwan ternama yang tidak percaya adanya Tuhan cukup butuh waktu separuhnya saja.

22. Karya hidup yang kita tinggalkan di dunia berbanding terbalik dengan waktu yang kita pakai untuk urusan surga neraka. Hidup memang pilihan, kata teman baik saya di Jakarta. Saya mengangguk diam.

No comments:

Post a Comment