Ini berarti sebanyak 67.73% - 45.59% = 22.14% bersekolah sampai tingkat SLTP, sementara 27.03% cuma bisa mengenyam sampai tingkat SD. Saya bisa simpulkan 49.17% calon tenaga kerja di Indonesia - paling tidak 2-3 tahun ke depan - akan mempunyai pendidikan tertinggi tingkat SLTP. Mereka inilah yang akan mengisi sektor informal, seperti menjadi penjual kaki lima dan jalanan, buruh bangunan, pemulung, dan pembantu.
Artikel Kompas ini juga menyebutkan 7.09% anak dibawah 15 tahun menderita buta huruf. Mungkin saja 49.17% anak Indonesia yang bersekolah dengan jenjang tertinggi SLTP juga menderita buta huruf, dan jumlah mereka sebanyak 49.17% x 7.09% = 3.49%. Sisa anak buta huruf di bawah umur 15 tahun sebesar 7.09% - 3.49% = 3.60% jadinya datang dari keluarga yang tidak mampu menyekolahkan mereka di tingkat SD.
Menurut saya, 3.49% anak Indonesia berusia di bawah 15 tahun yang menderita buta huruf adalah korban kegagalan sistem pendidikan Indonesia. Karena paling tidak sistem pendidikan tersebut bisa membuat anak Indonesia membaca.
Saya juga berpendapat 3.60% anak Indonesia yang buta huruf dan tidak bersekolah adalah korban kegagalan pemerataan pembangunan Indonesia. Karena pendidikan juga termasuk hak anak Indonesia, selain sandang, pangan, dan papan.
Pertumbuhan penduduk disebutkan sebesar 1.49% dan jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sebesar 234 juta. Jika persentasi pertumbuhan diasumsikan sama 15 tahun terakhir, maka penduduk tahun 2005 sekitar 187 juta. Karena jumlah penduduk tahun 2004 diperkirakan sebesar 214 juta, maka jumlah anak usia 6-15 tahun di tahun 2010 sekitar 27 juta orang.
Jadi ada sekitar 972,000 anak Indonesia berusia 6-15 tahun yang buta huruf dan tidak bersekolah. Juga ada sekitar 942,300 anak Indonesia yang bersekolah di tingkat SD dan SLTP yang masih buta huruf. 1.91 juta anak ini hidup dan tumbuh di tengah kita: 1 per 122 anak Indonesia berusia 6-15 tahun.
No comments:
Post a Comment