Monday, December 30, 2019

Tayub Tuban


Kemarin saat saya menyelesaikan nilai akhir mahasiswa di mata kuliah Capstone Project, mata kuliah skripsi tahun empat, dengan membaca laporan akhir mereka, saya dikejutkan oleh alunan musik tayub Tuban yang saya dengar di Youtube. Saya bilang dikejutkan karena saya dari Surabaya dan Tuban hanya sekitar 100 km ke arah barat, tapi seumur hidup saya belum pernah mendengar seperti apa musik tayub itu persisnya.

Yang saya pernah dengar adalah musik tayub dihubungkan dengan sinden-sinden (para waranggono) yang menjajakan dirinya dan para lelaki hidung belang mabuk. Yang saya dengar musik tayub dihubungkan dengan kemesuman remang-remang malam dan pergaulan bebas. Itu pun saya sudah lupa darimana saya mendengarnya. Tapi kesan tayub ini tidak pergi juga.

Betapa salahnya saya! Tayub Tuban adalah musik otentik Jawa yang super chill! Tayub melukiskan perasaan kangen saya ke budaya Jawa. Para lelaki yang mendengarkan musik ini di panggung berjoget lemah lembut dengan berselendang. Sendirian, tanpa ditemani berduaan oleh para sinden. Karawitan tayub Tuban yang saya lihat di Tuban berlangsung siang hari. Salah saya berlipat jadinya. Anda bisa cek sendiri musik tayub Tuban di Tayub Tuban: Super Chill!

Musik tayub buat saya menggambarkan suasana hati orang Jawa: tenang, pasti, menghanyutkan. Saya akan berjoget dengan gerakan pelan sekali dan berselendang mengikuti irama mendayu-dayu tayub. Saya tidak menyangka musik seperti ini bisa datang dari tempat selain Surakarta atau Yogyakarta.

Selama 2 tahun terakhir ini saya menikmati pertunjukan wayang kulit lewat Youtube. Musik karawitan gamelan saat acara Limbukan atau Goro-Goro di pertunjukan wayang kerap terlalu nge-pop buat saya. Gending Liwung, Podang Kuning, Gubug Asmoro, dinyanyikan dengan cepat dan energetik. Sementara saat dinyanyikan sinden tayub lagu-lagu ini berubah melankolis dan lembut sekali. Edan! Saya langsung kesengsem.


Saturday, October 12, 2019

Kampus


Melihat perkembangan di tanah air 2 bulan terakhir, setelah saya balik di Calgary dari tanah air, saya melihat begitu sukarnya usaha pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Partai politik yang semestinya mewakili rakyat lewat pemilihan umum hampir pasti sebagian besar memperjuangkan kepentingan mereka sendiri. Pemerintah yang disandera oleh kepentingan partai politik akhirnya berseberangan dengan mahasiswa yang oleh sebagian besar rakyat dianggap lebih murni mewakili suara rakyat.

Perkembangan ini cukup membuktikan buat saya bahwa pemerintah dan partai politik tidak akan bisa berbuat banyak memperbaiki kesejahteraan rakyat. Ketidakmampuan pemerintah dan partai politik ini sudah tidak asing diketahui oleh rakyat negara2 maju. Pemerintah dan partai politik itu keharusan sistem tata negara untuk mewakili kedaulatan negara dan melindungi rakyat satu negara dari serangan luar, sehingga sangat naif jika kita berharap banyak dari pemerintah dan partai politik.

Saya tidak melihat ada kesadaran diatas di tanah air, bahwa pemerintah dan partai politik sejatinya mandul atau paling maksimum hanya mempunyai peran pembantu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Karena yang hanya bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat ya hanya rakyat sendiri.

Akan lebih naif lagi jika kita berharap pemerintah dan partai politik akan bisa mencerdaskan kehidupan bangsa. Ada empat institusi bangsa penting: pemerintah, partai politik, kampus, dan institusi budaya seperti agama (masjid, gereja) dan kesenian (industri kesenian). Dari keempat ini hanya kampus lah yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa, berpikir tentang hal-hal berjangka panjang, dan berfungsi ganda di bidang ekonomi dan sosial sekaligus. Tapi kenapa justru di Indonesia fungsi kampus ini tidak dominan. Anggaran riset kampus sangat kecil. Gaji dosen perguruan tinggi negeri jauh lebih kecil dibandingkan anggota DPR dan manajer di BUMN.

Saya pesimis akan ada kemajuan berarti di bidang kecerdasan dan kesejahteraan rakyat. Kesemuanya karena anggaran negara tidak dipakai untuk mendidik tunas-tunas bangsa dengan baik untuk masa depan yang lebih baik. Sesederhana itu sebab ketidakmampuan tanah air untuk maju menapak ke masa depan dengan langkah kuat.

Thursday, August 29, 2019

Jepang


Jepang adalah bangsa yang patut dicontoh. Dalam waktu 6 jam saat menunggu pesawat yang membawa saya ke Vancouver, saya diingatkan betapa Jepang menghargai keunikan dan keyakinan sendiri. Sikap ini tercermin dalam disain toilet yang lengkap dengan penyemprot air karena begitulah budaya buang air besar di Jepang; tercermin dalam disain mobil dan truk kecil yang melengkapi airport Narita dan Haneda.

Sebulan lalu saya masih di Indonesia, dan membandingkan kedua bangsa ini saya harus akui bangsa Nusantara telah pergi jauh dari asal usulnya. Kepergian saya jauh dari tanah lahir saya seakan menggambarkan kerinduan saya akan tanah air yang asli dan berani mandiri. Rasa asli dan mandiri ini kuat saya rasakan jika di Bali.

Jika kita tidak bisa memeluk asal usul kita dengan erat, maka kita akan kehilangan arah. Itu sari cerita pengalaman sebulan saya di Indonesia. Dua tahun terakhir saya keliling Jawa dan Bali untuk mencari tempat tercocok buat saya pensiun. Ternyata tempat tercocok ada di kota kelahiran saya, Surabaya. Kenyamanan Surabaya sebagian besar karena rekaman ingatan saya tentang Surabaya dan begitu banyak teman-teman saya dan istri yang berasal dari Surabaya. Jadi janganlah sebagai bangsa kita melupakan asal usul kita.

Surabaya akhirnya saya pilih walaupun panas, karena kota ini lebih bersih dari yang saya sudah singgahi di Jawa dan Bali. Surabaya akhirnya saya pilih walaupun berbahasa kurang halus, karena warganya lebih bisa menerima perubahan yang lebih baik dan bersikap terbuka. Surabaya adalah tempat bercampurnya budaya Jawa, Madura, dan Cina. Makanan di Surabaya banyak yang enak dan cocok buat lidah saya: pedas dan asin.

Tempat kedua adalah Denpasar, Bali. Kota yang melukiskan keberanian Nusantara untuk tetap setia ke asal usulnya. Kota yang melukiskan keunikan budaya Nusantara di tengah percaturan dunia. Kota yang terbuka walaupun kesetiaan budayanya. Kota tempat berbagai budaya berbaur.

Itulah yang saya hargai. Keterbukaan tanpa melupakan asal usul. Keberanian untuk tetap berbeda dan tidak mudah ikut arus. Terima kasih Surabayaku dan Baliku. Arigato gozaimasu.

Thursday, August 15, 2019

Jalan Tol Jawa


Perjalanan darat Jawa-Bali adalah perjalanan menyenangkan penuh kenangan buat saya. Menjadi komplit dengan menaiki kapal feri Ketapang-Gilimanuk. Pengalaman menyeberang Selat Bali sangat menyentuh hati saya dan membuat saya tertegun akan luasnya Nusantara. Bangsa ini benar mempunyai hamparan laut amat luas.

Perjalanan saya dimulai dari Jakarta dengan naik kereta api Argo Lawu dari stasiun Gambir ke stasiun Solo Balapan di Solo. Setelah menginap 12 hari di Klaten, kami melanjutkan perjalanan dengan naik kereta api Sancaka dari Solo Balapan ke stasiun Gubeng di Surabaya. Esoknya, saya menyetir mobil sewaan ke Denpasar dari Surabaya.

Etape Surabaya - Probolinggo diselesaikan cepat dengan memakai jalan tol selama sejam. Kami berhenti sebentar di Probolinggo untuk mengunjungi keluarga dan kemudian langsung ke Ketapang melalui Situbondo. Banyak perbaikan jalan antara Probolinggo dan Situbondo ke arah timur. Jalan sekitar Baluran mengingatkan kami akan alam California karena pepohonan kering. Banyak sekali monyet-monyet berderet di pinggir jalan. Rute Probolinggo - Ketapang lewat Situbondo diselesaikan dalam 4 jam. Feri Ketapang - Gilimanuk butuh paling tidak 90 menit, sementara penyeberangannya sendiri 1 jam dengan biaya Rp 158 ribu.

Perjalanan darat dari Gilimanuk ke Denpasar butuh 4 jam. Jalan bagus tapi sempit dan berkelok-kelok antara Negara dan Mengwi. Sepeda motor, truk, bus, mobil berbaur padat sampai tengah malam. Kami tiba di Kuta tengah malam.

Untuk balik ke Surabaya kami menempuh jalur selatan lewat Banyuwangi - Jember - Lumajang - Probolinggo. Banyuwangi - Jember cukup lancar. Jalan amat sangat berkelok sebelum Jember, di sekitar Gumitir. Jalan gunung Gumitir ini lebih elok dari di Puncak. Rute Lumajang - Probolinggo rusak parah. Jalan bergelombang dan dipadati truk-truk pengangkut pasir. Rute ini butuh 2 jam sendiri untuk jarak 50 km. Setiba di gerbang tol Probolinggo Timur, saya butuh 1 jam untuk sampai di Surabaya dengan jarak 100 km lewat jalan tol. Jalur selatan Probolinggo - Ketapang bisa 2 jam lebih lama dari jalur utara Probolinggo - Ketapang.

Kami lega bisa menikmati jalan tol Jawa. Pengendara jarak jauh di Jawa amat sangat dibantu oleh adanya jalan tol ini. Jalur jalan negara biasa berkecepatan rata2 40 km/jam sementara di jalan tol 100 km/jam. Kendaraan akan cepat rusak melalui jalan biasa karena rendahnya kualitas jalan. Hitungan kasar kerusakan bisa 2 kali lebih cepat terjadi dengan tidak memakai jalan tol.

Pada saat sama romantika perjalanan di Jawa berhubungan erat dengan jalan biasa. Melihat akrobat pengendara memakai sepeda motor dengan bermuatan apapun, dari mebel sampai anak sampai damen (galah padi kering). Berbagai macam warung berjualan berbagai makanan. Itulah drama bepergian di pulau Jawa. Amat sangat mengesankan buat saya yang sudah puluhan tahun tidak menikmati riuh rendahnya.


Friday, August 9, 2019

Be Careful What You Wish For


Tahun 2018 saya menghabiskan waktu 3 minggu di Bali dan tahun ini –2019– saya menghabiskan waktu 3 minggu di Jawa. Kira-kira 50% waktu saya tinggal di desa, jadi perspektif saya tidak melulu perkotaan. Saya ingin merekam pendapat umum saya tentang masalah pendidikan tinggi dan teknologi.

Intinya, masyarakat Indonesia sekarang –saat ini– secara umum belum siap untuk mengejar ketertinggalan teknologi agar bisa berkompetisi secara global. Dari sudut pengetahuan, secara umum ada jurang pengetahuan lumayan lebar untuk bisa dikejar dalam waktu 2-3 tahun. Dari sudut aplikasi, secara umum sangat jarang ada interaksi industri dan akademis. Ketertinggalan pengetahuan hanya bisa dikejar dengan perombakan sistem pendidikan menyeluruh. Ketertinggalan aplikasi hanya bisa dikejar dengan meningkatnya kualitas pengajar universitas. Keduanya butuh waktu dan uang, yang saya taksir sekitar 10-20 tahun jika bersungguh sungguh.

Saya tidak melihat masyarakat umum mempunyai keinginan kuat untuk mengejar teknologi dengan kencang. Suasana kehidupan sehari-hari di Jawa dan Bali cukup nyaman tanpa harus berubah, dan ini yang menyebabkan tidak ada urgensi buat masyarakat Jawa Bali untuk berubah cepat.

Memang ada sebagian kecil –taksiran saya kurang dari 1 dari 1000– yang benar-benar tertarik, mengikuti, dan melaksanakan riset dan pengembangan teknologi dengan serius. Jumlah ini bisa cukup bisa kurang, tapi intinya kegiatan minoritas ini hasilnya tidak bisa diprediksi.

Tidak adanya keinginan kuat ini memberikan keuntungan buat yang jeli. Misalnya, harga makanan jadi di Indonesia termasuk yang termurah di dunia. Saya bisa membeli makanan jadi dengan harga Rp 15 ribu dengan kualitas bagus. Cukur rambut dan pijat bisa didapat dengan membayar Rp 20 ribu. Saya membayar Rp 25 ribu buat tukang bawa koper (porter) di stasiun kereta api. Biaya servis masih murah sekali –empat sampai sepuluh kali lebih murah– dibandingkan dengan di Canada.

Butuh kerja yang sangat keras untuk bisa mengejar ketertingalan teknologi. Jika masyarakat Jawa dan Bali memutuskan untuk mengejar ini, maka sangat mungkin akan ada perubahan besar di tatanan sosial budaya. Biaya dan tuntutan ini secara cerdik sudah dihindari sekarang oleh sebagian besar masyarakat Jawa dan Bali.


Sunday, August 4, 2019

Disiplin


Saya dan istri pergi ke Gunung Kidul kemarin untuk melihat pagelaran wayang kulit. Pagelaran dimulai tepat jam 20:30 dengan gending-gending Jawa yang membuat saya merasa trenyuh. Setelah masuk 30 menit, sambutan-sambutan penyelenggara terkesan panjang mengular dan menjunjung tinggi pamong-pamong praja, sementara rakyat kecil seperti saya yang mbleber klasa di jalan hanya bisa menunggu kapan wayangnya dimulai.

Pagelaran wayang kulit melukiskan keagungan budaya Jawa. Monolog dalang yang melukiskan percakapan ratu-ratu, patih-patih, dan ksatria-ksatria Mahabarata dibalut dengan seksama. Puluhan penabuh gamelan, sinden cantik berkebaya berbilang 7 sampai 9, dan terop megah. Semua tampak elok dan detail-oriented.

Kami menikmati monolog di bab pertama, percakapan antara Patih Sengkuni, Prabu Duryudono, Adipati Karno, dan Begawan Bisma tentang ketidakmauan Prabu Duryudono untuk tapa brata mencari Wahyu Cakraningrat. Prabu Duryudono mengagungkan kemewahan dunia dan bersikap sombong karena semua kesenangan dunia sudah tercukupi. Kepuasan hidup akhirnya terbatas pemenuhan perut, mata, dan kelamin. Begawan Bisma marah dan menyalahkan Patih Sengkuni yang mempengaruhi Prabu Duryudono. Celakanya, Raden Lesmana, anak Prabu Duryudono, justru yang diutus mencari Wahyu Cakraningrat dan akan ditemani oleh pengawal yang tidak percaya akan perlunya mencari wahyu.

Sari cerita bab pertama buat saya ini menggambarkan pikiran untuk terus mencari dan belajar, mengasah jiwa raga untuk kedigdayaan dunia. Dalam kata lain, masyarakat Jawa semestinya tidak pernah puas dan terus belajar memperbaiki diri. Ini semua bagus.

Kami menikmati bab intermezzo Limbukan yang diisi tembang-tembang yang dinyanyikan sinden-sinden yang raut mukanya masih segar padahal jam sudah menunjukkan 12:30 pagi.

Pada saat kami harus ke belakang, kami diingatkan hal yang tidak dibahas di cerita wayang. Banyak sekali sampah makanan, plastik, kardus kertas dimana-mana, bahkan di balik layar. Orang seenaknya membuang sampah tanpa peduli. Saya berpikir ada nggak ya cerita wayang tentang disiplin. Disiplin untuk tidak membuang sampah. Disiplin untuk menjaga kamar mandi bersih. Disiplin yang berhubungan dengan kegiatan sehari-hari.

Disiplin penting karena ide besar apa pun tidak akan bisa terealisasi tanpa itu.

Kami meneruskan mengikuti cerita wayang dengan duduk di samping panggung. Capek juga 3 jam duduk bersimpuh di atas tikar yang kami beli Rp 5000. Saya celingak-celinguk mencari tempat sampah. Tidak kami temukan, dan terpaksa tas plastik saya letakkan diatas tumpukan kardus-kardus kertas di depan rumah yang ketempatan pagelaran wayang.

Istri saya sudah mengantuk berat jam 2 pagi. Kami putuskan balik ke Klaten melewati jalur utama Gunung Kidul ke Klaten yang sekarang sepi nyenyat. Nikmat rasanya. Keturutan melihat pagelaran wayang kulit Ki Seno Nugroho, gumam saya saat kami memasuki kota Klaten.

Kelonggaran


Kelonggaran mungkin padanan kata redundancy. Di engineering kita mengenal terminologi kelonggaran yang mengurangi efisiensi agar satu sistem engineering tidak mudah gagal atau rusak. Pemadaman listrik sebagian Jawa di hari Minggu, 4 Agustus melukiskan pentingnya kelonggaran.

Jika sebagian besar penduduk memakai kendaraan listrik sementara reliabilitas (ketangguhan) pasokan listrik Jawa tidak 99% maka kelumpuhan bisa lebih menyeluruh. Bukan hanya listrik yang padam, tapi transportasi bisa sangat terganggu bahkan lumpuh.

Optimasi sistem apapun yang memusat ke satu titik mempunyai kelonggaran rendah. Jika titik sumber lumpuh, maka semua akan lumpuh. Negara seperti Indonesia semestinya tidak mendisain sistem apapun yang memusat karena persebaran penduduk dan geografis.

Jangan mudah tergiur rayuan kemajuan teknologi jika tidak cocok dengan keadaan riil di lapangan. Pasokan listrik Jawa saya diberitahu 90% datang dari batubara, berarti ketangguhan pasokan listrik sebenarnya tidak tinggi karena banyak kemungkinan kerusakan sistem mekanik turbin karena partikel partikel debu yang dihasilkan. Belum lagi potensi keterlambatan pasokan batubara karena faktor cuaca dan jalur logistik dari tambang batubara.

Thursday, August 1, 2019

Klaten



Sudah 10 hari saya di Indonesia. Tahun ini saya memutuskan untuk lebih lama di Jawa Tengah, tepatnya Klaten. Tahun lalu saya dan istri tinggal hampir sebulan di Bali. Saya kali ini ingin mengobati rindu saya jalan jalan di pasar rakyat dan mencicipi masakan Jawa.

Selama 10 hari ini, rutinitas saya dimulai dengan lari setengah jam mengelilingi daerah yang saya kunjungi: Serpong, Tangerang, Klaten. Dengan berlari saya lebih bisa merekam suasana jalan dan sekeliling dengan lebih seksama. Rasa canggung mudah dihilangkan dengan berlari karena saya merasa lebih dekat dengan alam dan penduduk sekitar.

Setelah lari baru saya sarapan dan berhenti sebentar menikmati suasana pagi. Jika ada pekerjaan, baru saya mulai jam 10. Jika tidak ada, maka saya berkunjung ke saudara atau menuju ke tempat tempat favorit saya: warteg, tukang cukur tepi jalan, warung kopi, pasar rakyat.

Tahun ini saya menggunakan Grab. Wah ternyata enak juga. Saya memakai app Grab dan harga servis sopir sekitar 20% lebih murah dari taksi biasa. Ke Soekarno-Hatta saya bayar Rp 150 ribu termasuk biaya tol dari Alam Sutera, sementara balik ke Jalan Raya Serpong saya bayar Rp 200 ribu memakai taksi biasa. Kesimpulannya taksi biasa boleh dipakai juga, tapi taksi Grab cepat sekali merespons permintaan (sekitar 3 sampai 10 menit) sementara taksi biasa belum tentu tersedia dalam waktu sekitar 5 menit.

Saya menikmati menyetir di Jakarta karena berbeda sekali dengan di Canada. Di Indonesia saya harus periksa cermin terus untuk mengetahui posisi sepeda motor sekeliling. Akselerasi tidak bisa cepat agar tidak ditubruk atau menubruk sepeda motor. Ada aturan right-of-way seperti di Canada tapi tidak mutlak; fuzzy logic works here in Indo. Sepeda motor adalah raja di jalan, baru setelah itu pejalan kaki dan pengendara mobil. Navigasi di jalan dibantu oleh Mbah Google dan harga data internet di Indonesia jauh lebih murah dari di Canada.

Kita ke Klaten Senin lalu memakai Argo Lawu dari stasiun Gambir. Jalan Sudirman tidak terlalu macet di pukul 5 karena ada aturan nomor plat ganjil-genap.

Cuaca di Klaten bulan Agustus sangat enak. Siang hari suhu mencapai 27 derajat tapi kelembaban tidak tinggi sehingga tidak berkeringat. Pagi hari jam 6 suhu turun ke 18 derajat. Cuaca di Klaten lebih nyaman dari di Denpasar karena kelembaban yang rendah.

Friday, July 19, 2019

Percakapan Dengan Anak


Percakapan dengan anak keduaku mengingatkan saatku masih SMA. Sebagai anak tertua, aku dimintai pendapat tentang masalah keluarga oleh bapakku. Sekarang ganti aku yang meminta pendapat ke anakku.

Tantangan pertama memulai diskusi dari hati ke hati antara bapak dan anak adalah mencari waktu tepat. Senin lalu, 15 Juli, kami berangkat jam 5:30 pagi ke Medicine Hat untuk ujian SIM anakku. Waktu perjalanan 3 jam kami pakai untuk berkisah pengalamanku menyetir saat SMP dan SMA di Surabaya. Saya mengulangi beberapa pikiran penting yang perlu dia camkan saat melakukan ujian. Pentingnya menjaga kecepatan, posisi lajur (lane positioning), dan memperhatian rambu-rambu di depan. Saya tidak mau membayar sekolah menyetir karena saya berpendapat menyetir adalah ketrampilan yang harus diwariskan dari ayah ke anak laki-laki. Memang tidak mudah dan beberapa kali anak saya hampir berteriak pegal karena kekeras kepalaan kami berdua. Tapi saya yakin dia akan mengingat pengalaman ini seumur hidup.

Percakapan seputar SIM mobil ini jadi modal untuk membicarakan hal lain yang lebih serius. Seperti pacar dan rencana hidup. Anak saya bilang dia berpacaran jika sudah bekerja. Juga dia hanya memilih pacar yang mempunyai pekerjaan. Lho kenapa, tanyaku. Karena memelihara pacar itu ongkosnya mahal. Saya berterus terang tentang bagaimana berhubungan dengan pacar dengan atau tanpa seks. Seks bukanlah sesuatu yang harus dilakukan karena kerap menyimpan beban emosi. Sekolah sampai S1 belum lulus tapi sudah dibebani kewajiban untuk bertanggung jawab akan kesejahteraan pacar karena sudah berhubungan jauh. Kami tidak kesukaran berbicara bebas karena saya sudah memulai untuk tidak risih membicarakan isu-isu sensitif.

Kami bertukar pandangan tentang rencana hidup. Sebagai orang tua, kita mungkin kerap lupa berbagi pengalaman. Kita biarkan anak kita mencontoh hidup orang lain, padahal secara genetik hidup orang tua bisa jadi cermin anak untuk melangkah lebih baik.

Hal tersukar dalam pembicaraan kami adalah yang menyangkut nilai-nilai hidup. Apa yang aku anggap terpenting dalam hidupku. Apa tujuan hidupku. Kenapa aku seperti sekarang dan kemana aku pergi.

Bapakmu itu pemimpi. Dari kecil aku sudah ingin menjadi profesor. Setelah menjadi profesor, ada lagi yang dia inginkan. Tidak cukup hanya mewujudkan cita-cita dan kemudian jatuh ke rutinitas. Aku bukan orang seperti itu dan tidak ingin menjadi orang biasa. Kata-kata yang aku ucapkan aku ukur karena dia mempunyai pendapat sendiri. Karakter kita sama: berjiwa merdeka, berani mengambil risiko, tidak suka diatur-atur. You're a radical, Dad. Benar juga, pikirku. Aku tidak pernah berpikir seperti dia. Kali ini kita diam. Dia yang menyetir mobil sekarang. Aku terus diam dan bangga telah mengasuh anak seperti dia.

Saturday, July 13, 2019

Disain Mesin II


Proses disain cylinder head berjalan alot karena kami sudah tidak bisa lagi bersandar kepada buku-buku referensi yang kami punyai. Beberapa perubahan dari referensi Kawasaki W800 sudah kami lakukan, mulai dari sudut katup intake dan exhaust yang berbeda karena satu camshaft yang kita pakai sampai disain seat untuk valve spring yang sangat berbeda karena saya putuskan tidak memakai valve stem guide.

Saya terlibat diskusi panjang dengan 3 mahasiswa saya tentang risiko ledakan di engine top end jika tidak ada valve stem guide karena tidak ada lagi pemisah, selain poppet valve, antara valve hole dan combustion chamber. Fuel air mixture yang didorong oleh pressure gradient akan mengisi ruang valve hole. Saya taksir pressure gradient ini akan terkurangi karena akan ada tekanan rata-rata dari gerak naik turun valve tappet.

Risiko ledakan di engine top end (cylinder head) diatas poppet valve juga akan ada jika pun valve stem guide dipasang. Jadi saya putuskan untuk tidak memakai valve stem guide karena yang hanya bisa mengisolasi combustion chamber hanyalah poppet valve. Kemudian yang tidak kalah penting adalah timing opening dan closing intake dan exhaust valves yang harus akurat walaupun akan tetap ada overlap.

Keuntungan tidak adanya valve stem guide adalah ada reservoir fuel air mixture langsung diatas combustion chamber. Ini mestinya menambah efisiensi mesin walaupun mungkin akan terlihat di rpm tinggi.

Kerja disain yang sudah kami lakukan dua setengah bulan terakhir menunjukkan bahwa apa yang saya ajarkan di kelas sangat berbeda dengan apa yang diperlukan saat mendisain mesin. Apa yang diajarkan di kelas terkesan terpecah-pecah tanpa dihubungkan, sementara proses disain sangat tergantung ke kemampuan melihat satu masalah dengan lengkap. Misalnya, untuk menentukan berapa panjang studs yang akan kami pakai untuk mengikat cylinder head cap, cylinder head, cylinder barrel dan crank case, kami harus menimbang aspek mounting, serviceability, dan reusability. Konsep stress, load, dan yang lain yang saya ajarkan di kelas justru belum terpakai.

Jadi jelas aspek penyelesaian (completeness) disain adalah yang terpenting. Analisis kekuatan bahan, efisiensi dan performance mesin yang kami rancang menjadi sekunder. Bisa dibilang kinematik jauh lebih penting dari dinamik. Yang penting jadi dulu, baru setelah itu dioptimasikan.

Wednesday, July 3, 2019

Lari


Lari adalah olahraga terbagus karena lari mengukur kebugaran saya. Jika saya tidak kuat lari 30 menit, maka ada yang tidak beres di tubuh saya. Lari juga termurah: sepatu ringan apa saja, celana pendek, kaos pendek sudah cukup. Lari bisa jarak jauh maupun dekat, dari 5 km sampai puluhan km jika mau.

Saat saya lari saya melakukan tapa. Hanya nafas yang saya dengar dan suara tapak kaki menyusuri jalan. Hening dan terpusat menapakkan satu kaki di depan satunya. Pikiran menjadi jernih saat dan setelah lari. Lari menguatkan niat: beranikah saya menaklukkan kemalasan otak dan kelembaman tubuh?

Lari adalah ibu segala kegiatan fisik kita, dari berenang sampai naik motor jarak jauh. Lari menguatkan jantung dan membentuk otot kaki. Lari mengecilkan perut -semoga- dan mengurangi nafsu makan berlebihan.

Lari tidak perlu cepat seperti orang yang melalui saya. Saya lari sesuai kekuatan saya. Asal jauh. Asal teratur. Asal kuat. Agar sehat dan bugar.

Saturday, June 22, 2019

Long Haul Motorcycling Tips in North America



These tips are a summary of what we have covered about 3000 km between Calgary and Vernon, TX in 5 days riding. To achieve daily riding condition without feeling fatigue, I have several tips based on my riding perspective, which is a two-up riding (rider and passenger) and combined goals of reasonable comfort and distance. These tips may be most appropriate for a multi-day trip in North America in the summer. Conditions outside North America may modify these tips due to accommodation, food availability, and gas station location.

First, motorcycling is a lot of work. We start from 8 am in the morning and finish at 5 pm in the evening. It's possible to achieve an average speed of 100 km per hour (62 miles per hour) on highway so that a 600 km distance in a day is within a reach. That leaves 3 hours for the stops along the way: pitstops to washroom (i.e., rest room in the US), lunch stop, refueling stops. These stops are best designed to coincide with the refueling distance, which is determined by the volume of the gasoline tank of my motorcycle. Another important variable to determine the average stop time is the average distance I can cover in one stage.

I feel most comfortable when riding 2 to 3 hours maximum in one stage. This puts the average distance interval per stage to 200 to 300 km. My motorcycle can reach a maximum of 300 to 350 km without refueling, so my distance covered per stage is more limited by my physical limits. So, the pitstops and lunch stop should be timed accordingly. Spicy food is a no-no during riding for me, as a result. The 300 km riding is usually achieved when I feel good and either scarcity of gas stations along a route and/or good weather accompany me.

It's important to know your physical limits. For example, my ideal ambient temperature is between 15 and 25 degree C. Either colder or hotter temperature will reduce my travel distance per stage. I have experienced combined rainy, freezing temperature, really hard crosswind conditions. Crosswinds may not reduce distance travelled if they occur in burst, but a non-stop two-hour crosswind will wear me down. Rain is more serious; it will reduce the speed by 20-30%, which for highway riding is therefore not safe due to presence of other vehicles.

I always take easy with stops along the way. It's okay to have a 1-hour lunch stop. I get to relax and enjoy my lunch. A two-up configuration means I have to allow for the passenger to enjoy the time too. 

Disain Mesin I


Seri blog Disain Mesin ini mencatat kegiatan saya dan mahasiswa2 saya merancang bangun mesin yang akan kami buat sendiri. Bahasa yang saya pakai tercampur idiom engineering Inggris karena sudah sukar buat saya mencari padanan kata Indonesianya.

Proses awal disain mesin yang saya dan 3 mahasiswa saya adalah mendisain engine top end berupa valve assembly mechanism. Proses ini dimulai 6 Mei 2019.

Kami memakai Kawasaki W800 sebagai contoh dengan tujuan menyederhanakan disain top endnya. Camshaft W800 terletak diatas cylinder, diputar oleh bevel gear shaft yang menghubungkannya dengan crankshaft yang terletak di bottom end. W800 memakai rocker arm sehingga dibutuhkan 2 shafts tambahan. Total tiga shaft ini bisa kami sederhanakan menjadi satu camshaft saja dengan memakai overhead cam.

Disain kami jadinya orisinal dengan letak intake dan exhaust valves yang sangat berbeda dengan kebanyakan mesin sepeda motor.

Saya putuskan untuk tetap memakai bevel gear shaft karena cam lobes sudah terletak diatas cylinder dan merekat di camshaft. Belum saya putuskan apakah cam lobes ini bisa terpisah dari camshaft. Mestinya bisa tapi saya perlu mencek loading di cam lobe dan tentunya stress yang dihasilkan.

Gambar CAD camshaft sudah selesai dengan empat cam lobes dan semua dimensinya. Minggu depan kami akan mulai menggambar cylinder head yang saya perkirakan akan cukup rumit karena harus mengakomodasi intake dan exhaust ports. Selain itu valve assembly, dari valve spring sampai valve lift specification, harus juga diintegrasikan.

Proses optimasi piston assembly sudah hampir selesai. Saya sudah dapatkan rumus piston power yang menditail bagaimana power ini berhubungan dengan crank angular velocity dan dynamical parameters lain seperti moments of inertia connecting road dan crank, dan juga mass mereka. Maximum power pada crank angle tertentu harus disinkronkan dengan maximum combustion power yang dihasilkan dari pembakaran bensin.

Ditail valve timing untuk sementara saya ignore karena optimasi valve timing bisa dilakukan terakhir atau bahkan setelah mesin kamu buat dan test. Berapa derajat dan selisih waktu intake dan exhaust valves tapi sudah saya hitung, jadi untuk sementara kami akan memakai hitungan lebih sederhana ini.

Tuesday, June 18, 2019

Apakah Pemimpin Sejati Perlu Mencalonkan Diri?


Saya menikmati ulasan agama Islam dan kebudayaan Jawa yang diberikan Cak Nun (Emha Ainun Najib) dalam beberapa video-video Youtube. Satu ide penting yang beliau utarakan adalah ide kepemimpinan Jawa dan Islam. Bahwa seorang pemimpin itu harus lahir dan tumbuh dari perjuangan panjang sang pemimpin untuk mencari jati dirinya sebelum memimpin orang lain. Seorang pemimpin itu harus mempunyai kemampuan lengkap: memberikan dan menjelaskan visi misi, menjadi teladan buat semua, siap berkorban. Bahwa pemimpin itu juga dicalonkan oleh orang lain. Pemimpin sejati tidak mencalonkan diri.

Saya setuju dengan dua pandangan diatas. Cacat sistem demokrasi adalah sistem pencalonan pemimpin di tingkat pemerintahan manapun oleh partai politik. Siapa yang menguasai partai politik bisa menyetir langkah dan keputusan yang dicalonkan. Tidak berlebihan jika beberapa kita lalu berpendapat yang pantas mencalonkan diri adalah ketua partai politik tersebut. Konsekuensinya adalah jika ada yang ingin menjadi pemimpin di satu tingkat pemerintahan maka dia harus menjadi ketua partai politik di tingkat tersebut. Proses pencalonan seperti ini rentan manipulasi uang dan barter kekuasaan dengan bisnis, seperti yang sudah terjadi di tanah air. Calon yang didapat sangat mungkin ditundukkan oleh uang dan kekuasaan, atau paling tidak harus berkompromi tentang uang dan kekuasaan. Nafas sistem pencalonan ini konsisten dengan alur pemikiran "pasar bebas" dimana uang menjadi penentu sehingga sistem pasar bebas di dunia usaha satu negara akhirnya tidak diimbangi oleh dunia pemerintahan yang berdasarkan nilai berbeda.

Sistem pemerintahan Canada memperbolehkan seseorang tanpa partai politik mencalonkan diri sebagai walikota; ini wajar dan sudah terjadi di beberapa kota di Canada. Saya tidak tahu apakah boleh calon premier (gubernur) propinsi Canada dan prime minister (perdana menteri) Canada mencalonkan diri tanpa partai politik. Penyeimbang pasar bebas bukannya tidak ada, tapi belum optimum dan kurang dicoba sehingga paham pasar bebas bisa melenggang bebas tanpa tantangan.

Apakah proses pencalonan diri lewat partai politik ini konsep usang? Bisa jadi, karena dengan majunya teknologi informasi akan sangat mungkin ada sistem e-voting langsung oleh rakyat memakai smartphone. Secara proses, apa bedanya memilih pemimpin dengan memilih buku untuk dibeli di toko online?

Yang lebih penting lagi: calon pemimpin itu tidak bisa dan tidak perlu mencalonkan diri. Bahkan menurut saya, calon pemimpin yang mencalonkan diri sendiri itu tidak layak untuk jadi pemimpin. Dalil ini berlaku juga di dunia pendidikan. Apakah universitas Harvard bilang dia universitas terbaik di dunia? Tidak, karena penduduk dunia lah yang menilai sendiri bahwa Harvard universitas terbaik di dunia. Siapa pun yang bilang sendiri dia berkualitas X, kerap kali dia sebenarnya tidak berkualitas X. Universitas yang bilang unggul atau world-class kerap kali justru bukan unggul atau world-class, jika saya menyitir ucapan Cak Nun di salah satu video Youtube yang saya lihat. Penerima hadial Nobel di berbagai bidang tidak bisa mencalonkan dirinya sendiri, begitu juga dengan penerima hadiah Field di bidang matematika.

Sistem pemerintahan Indonesia yang mempunyai majelis permusyawaratan rakyat semestinya bisa mengadopsi sistem pencalonan tanpa pencalonan diri. Syarat berjalannya dengan baik sistem ini adalah anggota-anggota majelis terhormat ini tentu harus punya integritas dan keotentikan tinggi. Untuk bisa memilih anggota-anggota majelis permusyawaratan rakyat dengan baik perlu dibuat perkumpulan-perkumpulan kelas-kelas dan kelompok-kelompok masyarakat yang diketuai oleh orang-orang yang juga tidak bisa mencalonkan diri. Jumlah calon yang diajukan majelis permusyawaratan rakyat bisa lebih dari satu dan mereka kemudian dipilih langsung oleh rakyat memakai e-voting. Sistem seperti ini lebih merefleksikan karakteristik reputasi dan kinerja pemimpin yang kita lakukan di kehidupan sehari-hari.

Monday, June 17, 2019

Jawa Mencari Ilmu


Walaupun sudah lebih dari 30 tahun saya tidak tinggal di pulau Jawa, hati saya tetap melekat kuat kepada budaya Jawa. Buat saya budaya Jawa adalah budaya yang perlu saya rawat karena budaya Jawa mencerminkan sikap keterbukaan yang sehat. Walaupun budaya Jawa berparas berbeda dari abad ke abad dia tidak pernah lupa akan akarnya yang rendah hati, humoris, dan tidak pernah lelah mencari ilmu. Orang Jawa adalah ya itu: Orang yang setia menuntut ilmu dengan kerendahan hatinya dan kesadaran kerterbatasan setiap ilmu yang dia pelajari sehingga dia tidak lupa untuk selalu humoris.

Kesetiaan menuntut ilmu dan rasa rendah hati ini yang membuat masyarakat Jawa mampu mengadopsi agama-agama Buddha, Hindu, dan Islam tanpa harus menanggalkan kepercayaan asli Jawa. Peristiwa adopsi ini menggambarkan kemampuan masyarakat Jawa melihat kelebihan dan kekurangan agama-agama yang dia adopsi. Kemampuan menggabungkan agama-agama untuk menjadi pemahaman dan praktek beragama yang tetap bersifat Jawa juga membuktikan bahwa masyarakat Jawa masih setia menggunakan akal sehat dan kedaulatannya.

Perspektif ini membuat saya lebih simpatik kepada keputusan masyarakat Jawa di abad-abad lalu saat berpindah memeluk berbagai agama diatas. Saya bisa memahami latar belakang keputusan nenek moyang saya. Saya pun juga menerima keputusan sebagian masyarakat Jawa yang tetap memeluk agama Buddha dan Hindu dengan menyeberang ke pulau Bali atau pindah tinggal di beberapa kantung-kantung masyarakat Buddha dan Hindu di pulau Jawa. Karena ini membuktikan masyarakat Jawa adalah dinamis, tidak monolitik, yang mencerminkan keterbukaan menerima hal baru.

Sampai sekarang masyarakat Jawa tetap tidak memiliki struktur rata. Ada kelas-kelas masyarakat, dari pedagang, petani, intelektual, priyayi, dan pamong praja, yang masih diturunkan ke generasi berikutnya. Kelas-kelas ini tidak perlu dihilangkan karena saya sendiri mengalami di Canada bahwa struktur masyarakat yang rata (tidak berkelas) adalah membosankan. Rasa membosankan ini karena budaya tiap-tiap kelas tidak tampak nyata di keseharian. Bagaimana bisa tampak nyata jika setiap generasi pelaku pengisi peran-peran di masyarakat ini berganti terus? Setiap orang bertindak tanduk sama tanpa tergantung kelasnya; tidak ada keunikan yang mewarnai keseharian. Kelas-kelas yang semestinya bisa mencerminkan status sosial dan kebanggaan kelompok ini bertindak tanduk lebih kurang sama.

Bisa jadi tidak ada faedahnya meruntuhkan kelas-kelas masyarakat di masyarakat Jawa hanya karena dalih demokrasi dan modernisasi. Jika tiap pekerjaan sama pentingnya, maka kenapa harus menghilangkan keunggulan komparatif orang tua saya akan mempersiapkan saya lebih baik karena pengalaman kerja mereka di bidang sama yang saya akan tuju? Kemudian, sistem kelas ini juga mempermudah penjagaan kualitas pekerja karena setiap kelas akan berupaya keras menjaga reputasi mereka. Kekuatan kolektif setiap kelas juga akan kuat karena setiap kelas mewakili beberapa generasi pekerja yang juga mempunyai hubungan darah.

Yang perlu dilakukan adalah bagaimana kemakmuran bisa dicapai oleh setiap kelas. Kelas petani semestinya bisa sama kayanya dengan kelas pamong praja. Jika ini masih belum terjadi, maka kesetaraan ekonomi ini yang harus diperjuangkan. Sikap setia menuntut ilmu sendiri tetap berlaku di setiap kelas, mulai petani sampai pamong praja. Dari kegiatan mempraktekkan ilmu ini maka akan timbul inovasi dan produk baru untuk mencapai kemakmuran bersama.

Saya bermimpi bisa tinggal di masyarakat Jawa yang teguh menjaga tradisi. Dari mendengarkan uyon-uyon dan campur sari sampai menonton wayang kulit semalam, memakai sorjan, kain, dan blangkon, sampai bertempat tinggal di rumah joglo. Dan pada saat sama saya mengajari anak-anak muda Jawa fisika dan matematika dan mendisain mesin-mesin kendaraan inovatif. Penggabungan dua jiwa: tradisi dan modern ini sudah ada contohnya di Jepang. Apakah masyarakat Jawa bisa menuju ke sana? Saya yakin bisa jika saya mengingat keterbukaan masyarakat Jawa dan kesetiaannya mengangsu ilmu.

Tuesday, June 11, 2019

Sumpah Palapa


Saya tertegun membaca Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada:

Lamun huwus kalah
nusantara
isun amukti palapa,
lamun kalah
ring Gurun,
ring Seran,
Tanjung Pura,
ring Haru,
ring Pahang,
Dompo,
ring Bali,
Sunda,
Palembang,
Tumasik,
samana isun amukti palapa.

Terjemahan bebasnya kira-kira begini:
Jika sudah taklukkan nusantara
Saya akan berhenti tanpa pala,
Jika kalahkan Gurun, Seran,
Tanjung Pura, Haru, Pahang,
Dompo, Bali, Sunda, Palembang,
Tumasik.
Maka saat itu 
saya akan berhenti tanpa pala.

Kalimat sederhana tapi bermakna amat kuat karena disaksikan banyak orang saat Gajah Mada dilantik menjadi panglima (patih) Majapahit. Sumpah untuk poso mutih kata orang Jawa, dimana Gajah Mada hanya akan makan nasi putih tanpa bumbu penyedap dan minum air putih selama laskar Majapahit dibawah pimpinannya belum menaklukkan seluruh nusantara. 

Jiwa berkorban dan berketetapan hati yang membuat saya tertegun. Mampukah saya? Saya sebagai orang Jawa amat sangat malu jika tidak bisa mencontoh kekuatan kehendak seorang Gajah Mada. Apalagi pusat kerajaan Majapahit di Trowulan sekitar 50 km sebelah barat Surabaya, kota kelahiran saya. Gajah Mada makan padi dan lauk yang dihasilkan tanah sekitar kali Brantas. Jika dia bisa, kenapa saya tidak bisa? 

Di sinilah letak pentingnya teladan. Seseorang dari kita sebelumnya menunjukkan apa yang mungkin dan kita setelahnya tidak bisa tidak harus mengikuti teladan ini.

Monday, June 10, 2019

Bibit Bobot Bebet


 

Dari ketiga kata: bibit, bobot, bebet, yang melukiskan bagaimana seorang Jawa memilih calon istrinya, bibitlah yang terpenting. Bobot berupa pangkat dan derajat tidak menurun ke anak dan bebet (kekayaan) kerap fungsi keadaan dan koneksi. Bibitlah yang mencerminkan budaya yang ditanamkan di tingkat keluarga dan cikal bakal genetik calon tersebut.

Anak kedua saya saat wawancara kerjanya di restoran cepat saji ditanya apakah dia orang Filipino. Ketika dijawab tidak, manager restoran bilang tidak apa karena dia yakin anak saya pekerja keras. Anak saya bilang dia berasal dari Indonesia. Pekerja-pekerja restoran yang sebagian besar dari Filipina menganggap Indonesia tidak banyak beda.

Saya bilang ke anak kedua saya bahwa saya senang dia dengan bangga bilang dia dari Indonesia. Saya juga bilang bahwa kita orang Jawa. Secara budaya kita orang Jawa, walaupun negara asal kedua orangtuamu Indonesia. Kenapa saya bilang orang Jawa dulu? Karena dengan bilang kita orang Jawa saya lebih mudah memberi contoh sejarah dan budaya nusantara.

Saya kerepotan mencari contoh teladan orang Indonesia yang mendunia. Pahlawan teknologi, politik, kuliner, apapun lah yang dulu saya kenal saat besar di Indonesia adalah lokal semua. Tidak ada yang namanya menggaung di dunia.

Tetapi jika saya memakai sejarah dan budaya Jawa, maka banyak contoh yang bisa saya berikan. Raden Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit, berhasil mengusir laskar Mongol dari tanah Jawa. Saya bilang ke anak saya: hanya ada 2 kerajaan yang mampu mengusir tentara Mongol, Majapahit dan Jepang. Majapahit menguasai seluruh nusantara, sebagian Filipina, Malaysia, dan Indocina. Candi Borobudur dibuat oleh dinasti Syailendra yang berpusat di Jawa Tengah. Untuk memberi contoh teladan tingkat dunia saya harus merujuk ke sejarah nusantara 8 abad lalu!

Memang seperti itu kelamnya sejarah nusantara jika dipandang dari perspektif global. Setelah Sultan Agung, nusantara dijajah VOC, Inggris, Jepang, dan nenek moyang kita menjadi budak dan rakyat terjajah. Baik budaya maupun ekonomi. Harus diakui nenek moyang saya adalah bangsa pecundang semenjak jaman Majapahit pupus. Darimana mental pecundang ini muncul, biarlah ahli sejarah yang mengupas.

Tantangan memberi contoh teladan siapa orang Jawa dan Indonesia ke anak saya adalah tantangan keluarga-keluarga Indonesia yang hidup di luar negeri. Bagaimana menanamkan pemahaman budaya tanah air agar generasi diaspora tidak lupa akarnya.

Saya jelaskan ke anak saya budaya Jawa sebanding dengan budaya Jepang ataupun Inggris. Kita orang Jawa mempunyai musik sendiri, cara tutur berbahasa sendiri, tata berpakaian sendiri, ragam makanan sendiri, arsitektur bangunan sendiri, tatanan masyarakat sendiri, bahkan agama asli sendiri. Kita orang Jawa tidak suka berbicara lantang tanpa bukti. Kita, seperti orang Jepang dan Inggris, lebih memilih berbicara sedikit dan bertindak banyak.

Di rumah kami, istri saya hampir tiap hari memasak masakan Jawa. Ada beberapa makanan Sunda, Minang, Madura yang kita sukai. Dari khazanah makanan ini pula anak saya belajar budaya nusantara.

Saturday, June 8, 2019

Nilai Tukar


Tiap tahun saya pergi ke luar Canada untuk menghadiri konferensi, berlibur, maupun naik sepeda motor keliling Amerika Utara. Cukup sering jadinya saya mencek nilai tukar dollar Canada terhadap rupiah, dollar AS, yen, dan mata uang lainnya. Pengalaman ini bukan berarti saya mengerti darimana nilai tukar itu timbul.

Sebagian nilai tukar datang dari sejarah perdagangan dunia. Masyarakat dan negara yang lebih aktif memproduksi barang dengan membeli barang produksi ke manca negara akan menikmati nilai tukar yang lebih kuat. VOC datang ke Maluku untuk membeli pala dan merica dengan murah dan dijual di Eropa dengan lebih mahal. Masyarakat Maluku saat itu tidak mempunyai sarana untuk menjual pala dan merica sendiri ke Eropa sehingga VOC bisa memonopoli rute perdagangan pala dan merica ke Eropa. Kekuasaan dagang ini pada akhirnya membuat mata uang Belanda lebih kuat terhadap rupiah.

Sebagian nilai tukar datang dari kekuatan produksi teknologi. Masyarakat dan negara yang lebih menguasai teknologi mampu membuat barang-barang yang dibutuhkan negara-negara lain yang tidak menguasai teknologi. Negara-negara yang menguasai teknologi jauh lebih sedikit dari mereka yang buta teknologi, jadi kuatnya nilai tukar mata uang adalah juga fungsi kuatnya keunggulan teknologi. Keunggulan teknologi ini juga yang menyebabkan VOC bisa menjajah tanah air ratusan tahun, dari teknologi navigasi laut sampai teknologi senapan dan meriam.

Sebagian nilai tukar datang dari kemandirian mental satu negara. Produk teknologi yang dihasilkan negara lain bisa tidak laku dijual di negara lain jika masyarakat negara pembeli ini menolak membeli produk tersebut. Penolakan ini bisa terjadi karena tarif impor tinggi atau yang lebih jitu karena penentuan sikap masyarakat yang memihak produk dalam negeri. Tarif impor tinggi sukar dilakukan karena perjanjian dagang bilateral maupun multilateral. Penentuan sikap masyarakat mandiri jauh lebih sukar lagi karena butuh sikap mental baja.

Butuh revolusi mental agar satu masyarakat bisa mandiri. Tapi revolusi mental ini tidak mudah. Sudah ada buktinya bahwa lebih mudah membuat infrastruktur jalan dan jembatan daripada mencetak masyarakat cerdas dan produktif.

Gampangnya siapa yang lebih butuh adalah yang lebih lemah dan nilai tukar mata uangnya juga lebih lemah. Perdagangan ekspor impor tentu wajar, tapi yang tidak wajar adalah nilai tukar mata uang yang terus melemah dari tahun ke tahun. Tidak berlebihan jika saya bilang bahwa nilai tukar adalah ukuran pragmatis jitu untuk mengetahui kekuatan ekonomi satu negara karena pertimbangan diatas.

Friday, June 7, 2019

Produktivitas


Produktivitas dalam pengertian engineering adalah output dibagi input. Hukum kekekalan energi tidak berlaku karena orang produktif menghasilkan output lebih besar dari input yang dia butuhkan. Produktivitas dalam pengertian ekonomi setahu saya adalah uang yang dia hasilkan dari bekerja. Orang yang mampu membeli lebih banyak barang dan jasa di satu negara dibandingkan orang lain dibilang lebih produktif, terlepas dari apakah hasil pekerjaannya mempunyai kegunaan (value).

Saya pribadi lebih setuju mengukur produktivitas seseorang dari selisih kemajuan hasil dari waktu ke waktu. Produktivitas buat saya adalah derivatif kurva hasil seseorang terhadap waktu. Saya tidak menghubungkan produktivitas seseorang dengan uang yang dia dapatkan maupun kegunaan yang dia buat dari hasil kerjanya. Karena uang dan kegunaan kerap fungsi apa-apa yang dianggap satu masyarakat berguna. Masyarakat lain negara bisa menganggap hasil kerja yang sama tidak menghasilkan uang ataupun kegunaan.

Saya memakai definisi produktivas yang lebih sukar diukur karena ditetapkan orang per orang sebagai derivatif kurva hasil kerjanya karena konyol jika produktivitas pekerja restoran cepat saji di Calgary dianggap sangat berbeda dibanding pekerja restoran cepat saji yang sama di Surabaya. Anak saya yang masih bersekolah di kelas 2 SMA mendapatkan gaji C$15/jam bekerja di restoran cepat saji sehingga jika dia kerja full-time maka dia mendapatkan C$2400/bulan (Rp 26 juta per bulan). Sementara, pekerja yang sama di Surabaya hanya mendapatkan sekitar Rp 3 juta per bulan. Apakah anak saya 8,5 kali lebih produktif dari pekerja sejenis di Surabaya?

Biaya hidup di Calgary sekitar 4-5 kali lebih tinggi dari di Surabaya sehingga akhirnya biaya makan minum dan penginapan yang lebih mahal di Calgary membuat anak saya akan merasa semiskin atau sekaya pekerja di Surabaya jika yang dia butuhkan hanya makan, minum, dan penginapan.

Selisih gaji yang sangat besar -padahal produktivitasnya sama- di Calgary membuat anak saya menjadi jauh lebih mampu untuk menyewa mobil atau bepergian dengan pesawat terbang. Ini karena harga mobil dan tiket pesawat terbang di Surabaya lebih tidak terjangkau oleh pekerja restoran cepat saji di Surabaya.

Bagaimana caranya agar harga mobil dan tiket pesawat lebih terjangkau? Hanya ada 2 cara. Pertama, dengan menaikkan gaji pekerja. Kedua, dengan menurunkan harga mobil dan tiket pesawat. Yang sekarang dilakukan di tanah air adalah yang pertama dengan memakai jurus investasi dan ekspor. Walaupun ini membantu, saya tidak yakin ini bisa berlangsung puluhan tahun karena beban kenaikan gaji 8,5 kali diatas adalah amat sangat berat. Gampangnya, jika gaji pekerja harus naik 8,5 kali, berapa besar seharusnya kenaikan gaji profesor di Indonesia?

Yang lebih masuk akal dan juga bisa dilakukan bersamaan adalah menurunkan harga mobil dan tiket pesawat. Bagaimana caranya? Mengundang pemain asing untuk berkompetisi akan bisa menurunkan harga. Tapi hanya ada satu cara jitu yang pasti akan menurunkan harga: membuat sendiri mobil dan pesawat terbang. Struktur gaji pekerja yang rendah di Indonesia akan membuat harga produk teknologi buatan Indonesia sangat kompetitif dibandingkan produk serupa dari Korea Selatan, Amerika Serikat, Canada, dan negara maju lain. Langkah berdikari ini yang sudah dilakukan Cina, Korea Selatan, Jepang untuk keluar dari ketidakmampuan membeli barang dan jasa produk teknologi.

Ekspor akan terjadi dengan sendirinya jika Indonesia bisa membuat produk teknologi seperti mobil dan pesawat terbang sendiri, yang bisa bersaing dengan buatan negara lain.