Friday, July 19, 2019

Percakapan Dengan Anak


Percakapan dengan anak keduaku mengingatkan saatku masih SMA. Sebagai anak tertua, aku dimintai pendapat tentang masalah keluarga oleh bapakku. Sekarang ganti aku yang meminta pendapat ke anakku.

Tantangan pertama memulai diskusi dari hati ke hati antara bapak dan anak adalah mencari waktu tepat. Senin lalu, 15 Juli, kami berangkat jam 5:30 pagi ke Medicine Hat untuk ujian SIM anakku. Waktu perjalanan 3 jam kami pakai untuk berkisah pengalamanku menyetir saat SMP dan SMA di Surabaya. Saya mengulangi beberapa pikiran penting yang perlu dia camkan saat melakukan ujian. Pentingnya menjaga kecepatan, posisi lajur (lane positioning), dan memperhatian rambu-rambu di depan. Saya tidak mau membayar sekolah menyetir karena saya berpendapat menyetir adalah ketrampilan yang harus diwariskan dari ayah ke anak laki-laki. Memang tidak mudah dan beberapa kali anak saya hampir berteriak pegal karena kekeras kepalaan kami berdua. Tapi saya yakin dia akan mengingat pengalaman ini seumur hidup.

Percakapan seputar SIM mobil ini jadi modal untuk membicarakan hal lain yang lebih serius. Seperti pacar dan rencana hidup. Anak saya bilang dia berpacaran jika sudah bekerja. Juga dia hanya memilih pacar yang mempunyai pekerjaan. Lho kenapa, tanyaku. Karena memelihara pacar itu ongkosnya mahal. Saya berterus terang tentang bagaimana berhubungan dengan pacar dengan atau tanpa seks. Seks bukanlah sesuatu yang harus dilakukan karena kerap menyimpan beban emosi. Sekolah sampai S1 belum lulus tapi sudah dibebani kewajiban untuk bertanggung jawab akan kesejahteraan pacar karena sudah berhubungan jauh. Kami tidak kesukaran berbicara bebas karena saya sudah memulai untuk tidak risih membicarakan isu-isu sensitif.

Kami bertukar pandangan tentang rencana hidup. Sebagai orang tua, kita mungkin kerap lupa berbagi pengalaman. Kita biarkan anak kita mencontoh hidup orang lain, padahal secara genetik hidup orang tua bisa jadi cermin anak untuk melangkah lebih baik.

Hal tersukar dalam pembicaraan kami adalah yang menyangkut nilai-nilai hidup. Apa yang aku anggap terpenting dalam hidupku. Apa tujuan hidupku. Kenapa aku seperti sekarang dan kemana aku pergi.

Bapakmu itu pemimpi. Dari kecil aku sudah ingin menjadi profesor. Setelah menjadi profesor, ada lagi yang dia inginkan. Tidak cukup hanya mewujudkan cita-cita dan kemudian jatuh ke rutinitas. Aku bukan orang seperti itu dan tidak ingin menjadi orang biasa. Kata-kata yang aku ucapkan aku ukur karena dia mempunyai pendapat sendiri. Karakter kita sama: berjiwa merdeka, berani mengambil risiko, tidak suka diatur-atur. You're a radical, Dad. Benar juga, pikirku. Aku tidak pernah berpikir seperti dia. Kali ini kita diam. Dia yang menyetir mobil sekarang. Aku terus diam dan bangga telah mengasuh anak seperti dia.

No comments:

Post a Comment