Tuesday, June 18, 2019

Apakah Pemimpin Sejati Perlu Mencalonkan Diri?


Saya menikmati ulasan agama Islam dan kebudayaan Jawa yang diberikan Cak Nun (Emha Ainun Najib) dalam beberapa video-video Youtube. Satu ide penting yang beliau utarakan adalah ide kepemimpinan Jawa dan Islam. Bahwa seorang pemimpin itu harus lahir dan tumbuh dari perjuangan panjang sang pemimpin untuk mencari jati dirinya sebelum memimpin orang lain. Seorang pemimpin itu harus mempunyai kemampuan lengkap: memberikan dan menjelaskan visi misi, menjadi teladan buat semua, siap berkorban. Bahwa pemimpin itu juga dicalonkan oleh orang lain. Pemimpin sejati tidak mencalonkan diri.

Saya setuju dengan dua pandangan diatas. Cacat sistem demokrasi adalah sistem pencalonan pemimpin di tingkat pemerintahan manapun oleh partai politik. Siapa yang menguasai partai politik bisa menyetir langkah dan keputusan yang dicalonkan. Tidak berlebihan jika beberapa kita lalu berpendapat yang pantas mencalonkan diri adalah ketua partai politik tersebut. Konsekuensinya adalah jika ada yang ingin menjadi pemimpin di satu tingkat pemerintahan maka dia harus menjadi ketua partai politik di tingkat tersebut. Proses pencalonan seperti ini rentan manipulasi uang dan barter kekuasaan dengan bisnis, seperti yang sudah terjadi di tanah air. Calon yang didapat sangat mungkin ditundukkan oleh uang dan kekuasaan, atau paling tidak harus berkompromi tentang uang dan kekuasaan. Nafas sistem pencalonan ini konsisten dengan alur pemikiran "pasar bebas" dimana uang menjadi penentu sehingga sistem pasar bebas di dunia usaha satu negara akhirnya tidak diimbangi oleh dunia pemerintahan yang berdasarkan nilai berbeda.

Sistem pemerintahan Canada memperbolehkan seseorang tanpa partai politik mencalonkan diri sebagai walikota; ini wajar dan sudah terjadi di beberapa kota di Canada. Saya tidak tahu apakah boleh calon premier (gubernur) propinsi Canada dan prime minister (perdana menteri) Canada mencalonkan diri tanpa partai politik. Penyeimbang pasar bebas bukannya tidak ada, tapi belum optimum dan kurang dicoba sehingga paham pasar bebas bisa melenggang bebas tanpa tantangan.

Apakah proses pencalonan diri lewat partai politik ini konsep usang? Bisa jadi, karena dengan majunya teknologi informasi akan sangat mungkin ada sistem e-voting langsung oleh rakyat memakai smartphone. Secara proses, apa bedanya memilih pemimpin dengan memilih buku untuk dibeli di toko online?

Yang lebih penting lagi: calon pemimpin itu tidak bisa dan tidak perlu mencalonkan diri. Bahkan menurut saya, calon pemimpin yang mencalonkan diri sendiri itu tidak layak untuk jadi pemimpin. Dalil ini berlaku juga di dunia pendidikan. Apakah universitas Harvard bilang dia universitas terbaik di dunia? Tidak, karena penduduk dunia lah yang menilai sendiri bahwa Harvard universitas terbaik di dunia. Siapa pun yang bilang sendiri dia berkualitas X, kerap kali dia sebenarnya tidak berkualitas X. Universitas yang bilang unggul atau world-class kerap kali justru bukan unggul atau world-class, jika saya menyitir ucapan Cak Nun di salah satu video Youtube yang saya lihat. Penerima hadial Nobel di berbagai bidang tidak bisa mencalonkan dirinya sendiri, begitu juga dengan penerima hadiah Field di bidang matematika.

Sistem pemerintahan Indonesia yang mempunyai majelis permusyawaratan rakyat semestinya bisa mengadopsi sistem pencalonan tanpa pencalonan diri. Syarat berjalannya dengan baik sistem ini adalah anggota-anggota majelis terhormat ini tentu harus punya integritas dan keotentikan tinggi. Untuk bisa memilih anggota-anggota majelis permusyawaratan rakyat dengan baik perlu dibuat perkumpulan-perkumpulan kelas-kelas dan kelompok-kelompok masyarakat yang diketuai oleh orang-orang yang juga tidak bisa mencalonkan diri. Jumlah calon yang diajukan majelis permusyawaratan rakyat bisa lebih dari satu dan mereka kemudian dipilih langsung oleh rakyat memakai e-voting. Sistem seperti ini lebih merefleksikan karakteristik reputasi dan kinerja pemimpin yang kita lakukan di kehidupan sehari-hari.

No comments:

Post a Comment