Berpikir obyektif tidak mudah. Berpikir obyektif diperlukan saat kita berhasrat mengambil keputusan dengan jernih dan adil. Jika kita tidak mampu berpikir obyektif, akan banyak kesalahan yang kita lakukan. Kita sendiri akan merugi baik finansial maupun emosional.
Halangan terbesar berpikir obyektif adalah pengingkaran fakta. Ini terjadi di dua ekstrem kemampuan berpikir. Bisa karena percaya sendiri tanpa refleksi, atau bisa juga karena malas berpikir. Percaya berlebihan ini biasanya karena lingkungan yang kurang kompetitif sehingga kita punya mental "jago kandang", sementara malas berpikir karena kita tidak terbiasa olah otak.
Contoh pengingkaran fakta, misalnya: saya tidak punya uang membeli mobil mewah berharga ratusan juta rupiah. Tapi karena bank mau memberi fasilitas kredit, saya bisa beli. Cicilan bulanan mobil bisa saya tanggung. Saya senang bank membantu – jadi tidak keberatan bank memungut bunga – dan bangga menyetir mobil mewah yang membuat keluarga saya senang. Di pandangan teman-teman, saya menjadi orang sukses karena mampu membeli mobil ini.
Pemikiran seperti ini tidak obyektif karena sebenarnya saya tahu saya tidak mampu. Hanya dengan bantuan bank, saya menjadi mampu. Kredit bank tidak cuma-cuma, jadi saya dibuat lebih miskin sebenarnya. Tapi, keadaan yang lebih miskin ini tidak saya rasakan. Yang saya rasakan lebih dulu adalah perasaan bangga dan puas mendapatkan yang saya inginkan.
Selain pengingkaran fakta, halangan terbesar kedua adalah pemikiran asosiatif. Banyak orang mengasosiasikan satu hal dengan hal lain secara otomatis dan tanpa dipikir ulang. Misalnya, beberapa teman di Canada langsung berpikir membeli mobil baru yang lebih besar saat mempunyai anak. Pikiran asosiatif ini bisa dipicu oleh (i) kepatuhan mengikuti norma-norma sosial, yang jika berlebihan sesungguhnya merugikan diri sendiri, dan (ii) pemikiran kurang rasional dan kasuistik, yang berakibat kurang tahunya keinginan dan kelemahan diri sendiri.
Berpikir asosiatif berlebihan ini menurunkan kreativitas dan kejernihan berpikir. Kita melalui keseharian seperti kerbau dungu karena tidak tahu apa yang sebenarnya kita inginkan dan mau saja mematuhi aturan-aturan yang dibuat orang lain. Kita dibuat sibuk urusan orang lain tanpa pernah berpikir keinginan kita sendiri.
Kemampuan berpikir obyektif – metode pengambilan keputusan berdasarkan fakta dan pemikiran rasional dan kasuistik – ini tumbuh tidak dengan sendirinya. Kita perlu belajar mengenal diri kita sendiri dan alam sekeliling. Kita perlu melatih untuk bisa melihat kapan otak kita mencoba membohongi kita dengan mengingkari fakta yang ada.
Pendidikan yang mengekang dan bertumpu ke hafalan mengajarkan murid untuk berpikir asosiatif melulu. Banyak lulusan sistem pendidikan seperti ini tidak punya kerangka berpikir kritis karena otaknya sudah dilumpuhkan oleh sekat-sekat aturan kaku selama puluhan tahun di sekolah. Sekolah bukannya membebaskan, tapi justru membelenggu dan mengkebiri.
Dibandingkan dengan perubahan materi dan jasmani, perubahan pemikiran jauh lebih sukar untuk kita mulai. Jika kita tidak memulai berpikir kritis dan berlandaskan fakta – berpikir obyektif – maka jangan kita berharap akan ada perubahan nasib yang berarti.
Celaka bangsa yang mayoritas penduduknya harus melalui sistem pendidikan seperti ini, karena dunia sekarang berubah lebih cepat dari yang bisa kita siapkan. Mulai dari teknologi informasi, bayi tabung, rekayasa genetik, energi terbarukan, sampai perubahan sosial dan politik karena semakin lekangnya sekat negara dan perpindahan penduduk.
Bagus, Pak. Thanks! Kalau saya rangkum beberapa penyebab yang diajukan di atas adalah pengingkaran fakta dan kemalasan berpikir. Juga adalah pemikiran asosiatif. Juga ada contoh-contohnya, tapi apa ada contoh berpikir obyektif itu kayak apa dan kenapa itu obyektif? :D -Raja
ReplyDeleteContoh berpikir obyektif adalah penghapusan UN. Fakta2 yg tidak mendukung: geografi Indonesia, kualitas guru beragam, korupsi proyek, tetap rendah kualitas murid. Halangan: berpikir asosiatif, seperti komentar Mendikbud tentang perlunya ujian untuk lulus dan asosiasi langsung ujian ke UN. Berpikir obyektif itu kesamaan fakta, rencana, dan kemampuan. Itu intinya.
ReplyDelete