Saturday, February 9, 2013

Paradoks Beragama


6. Di blog sebelumnya, Ongkos Beragama, saya sampaikan bahwa tidak ada bukti empiris adanya surga neraka. Keberadaan surga neraka juga sukar diterima akal sehat karena ruh itu apa, lokasi surga neraka itu dimana, dan cara ruh mencapai surga neraka tidak bisa dijelaskan memakai akal sehat.

Alasan masuk akal untuk membayar ongkos beragama akhirnya mengerucut ke satu saja: mempertahankan tradisi orang tua. Mempertahankan tradisi keluarga akan sangat mahal jika sang anak tidak mau mematuhi perintah orang tua untuk memeluk agama sama. Keutuhan keluarga bisa pecah setelah pertikaian agama dalam keluarga; ini patut disayangkan karena disebabkan oleh sesuatu yang masih spekulatif kebenarannya.

7. Karena masuk ranah tradisi, agama menjadi bagian budaya masyarakat. Agama menjadi identitas yang bisa dibanggakan atau disembunyikan, tergantung golongan mana yang sedang di atas angin. Kalau orang tua kita beragama mayoritas, maka kemungkinan besar kita merasa menjadi bagian manunggal masyarakat. Kita bahkan bisa merasa lebih benar dari pemeluk agama-agama minoritas. Jika kita belajar sejarah, kita mestinya sadar kenapa kita merasa lebih benar. Yang pasti bukan karena agama kita lebih baik dan benar dari yang lain.

Yang tragis adalah kita membuang budaya sendiri hanya karena kita impor agama produk budaya lain. Saya bilang tragis karena jika agama yang kita impor ini mengklaim sebagai agama universal, seharusnya agama ini dengan mudah mengadopsi budaya kita. Disinilah paradoks pertama beragama: kita dipaksa untuk meninggalkan budaya nenek moyang kita sendiri – mulai dari cara berpakaian sampai bertutur kata – karena memeluk agama yang mengklaim universal. Agama yang kita anut akhirnya menuntut kita untuk meninggalkan identitas nenek moyang kita, yang sebenarnya juga orang tua kita.

Kesemuanya ini untuk menenangkan rasa takut akan surga neraka yang sebenarnya adalah konsep asing di budaya nenek moyang kita sendiri. Bagaimana kita bisa takut akan sesuatu yang semestinya bisa kita rasakan sendiri tanpa harus diberitahu pembawa agama impor ini? Jika surga neraka memang benar adanya dan diciptakan oleh yang menguasai alam semesta ini, mengapa kita harus diberitahu produk budaya lain akan hal yang sejatinya bersifat universal? Apa kita memang bangsa bodoh dan minder?

8. Paradoks kedua beragama adalah semakin tinggi tuntutan kepatuhan agama tertentu, semakin yakin kita merasa agama ini universal. Keyakinan kita ini melawan akal sehat kita sendiri karena semestinya agama yang universal bisa menerima siapa saja. Agama yang universal semestinya sangat luwes dan penuh kasih sayang. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya.

Satu alasan utama kenapa kita mau melakukan berbagai ritual yang diminta agama kita – yang berarti ongkos beragama kita sangat mahal – adalah keinginan kuat kita untuk terselamatkan dari rasa takut. Dari keuniversalan yang membuat kita tertarik ke agama tertentu muncul eksklusivisme yang sebenarnya bukan karakter sesuatu apapun yang mengklaim universal. Kita berlomba untuk menjadi lebih alim dari teman kita. Kita pancarkan aura kealiman ke sekitar kita dengan tutur kata dan cara berpakaian yang bersifat eksklusif. Kita sangat bangga menjadi bagian golongan yang berada di jalan benar, universal, dan eksklusif.

Kecenderungan untuk menjadi eksklusif sangat aneh buat saya dan meyakinkan saya bahwa beragama adalah fenomena perilaku manusia belaka.

1 comment:

  1. Rif,
    kalau kamu tidak percaya surga dan neraka, berarti kamu juga tidak mempercayai adanya tuhan.
    Lha terus yang menciptakan kamu dan manusia lainnya siapa ? Apakah kamu pikir bahwa manusia dan alam semesta ini tiba2 ada dan tidak ada yang menciptakannya ?
    Tolong jawab pertanyaanku ini, soalnya aku pingin tahu bagaimana pemikiran seorang atheis tentang asal mula alam semesta.

    ReplyDelete