12. Inti pemikiran tiga blog sebelumnya: Ongkos Beragama, Paradoks Beragama, dan Kebebasan Beragama adalah agama adalah bagian budaya karena klaim beberapa agama akan adanya surga neraka tidak berlandaskan fakta, sehingga bisa dipastikan semua agama adalah hasil pemikiran manusia. Agama adalah produk inovasi budaya sang pendiri agama tersebut.
Produk inovasi budaya ini menawarkan servis dan perangkat administrasi yang tetap laku sampai sekarang. Di jaman dulu, agama menjadi alat pemersatu politik dan ekonomi karena saat itu kedua bidang ini belum berkembang sendiri.
Di jaman sekarang, agama tersudutkan menjadi salah satu industri servis. Ada channel teve dan stasiun radio untuk siaran rohani, perjalanan wisata rohani dan ibadah, organisasi agamis besar dan kecil, dan sebagainya. Mengapa bisa laku terus? Karena motivasi terbesar untuk beragama adalah rasa takut akan kematian. Rasa takut ini wajar karena kita merasakan enaknya hidup – makanan sedap, sanjungan bawahan, orgasme seks, uang berlimpah, kasih sayang keluarga – dan sadar bahwa kenikmatan hidup ini akan lenyap jika kita mati.
Agama-agama ini tetap bisa mencerahkan pemikiran kita jika kita kritis. Kebanyakan orang tapi memilih arti literal yang tertulis di kitab-kitab suci mereka. Ajaran yang berisi banyak kisah dan kiasan menjadi stagnan karena interpretasi literal. Jika seperti ini, agama tidak menghidupkan, tapi mengkerdilkan hakikat manusia.
13. Mati itu sendiri sunyi. Kita sirna dari hiruk pikuk dunia dan pergi entah kemana. Kematian itu tidak nyaman karena kita tidak tahu apa yang terjadi setelah kita mati. Parahnya, kita tidak akan pernah tahu apa itu mati selama kita masih hidup.
Karena kita merasa gamang bahwa yang hidup pasti mati, kita berharap untuk hidup selamanya. Rasa takut yang menghinggapi kita luar biasa kekuatannya. Segala daya upaya kita lakukan untuk menentramkan hati kita yang gundah.
Jika kita memakai akal sehat, bisa langsung kita simpulkan bahwa kematian itu alami adanya. Semua yang hidup harus mati. Kita tidak tahu setelah kita mati karena panca indera kita sudah mati.
14. Rasa takut akan kematian menyebabkan kita bertindak tidak masuk akal, seperti percaya akan surga neraka walaupun tidak ada bukti empiris. Kita takut karena kita tidak mengerti. Tabir pengertian ini baru bisa disingkap jika kita belajar mengenal alam semesta lewat sains.
Sebagian besar kita tapi memilih untuk mempercayai sesuatu – agama biasanya – untuk membuat kita merasa tentram tanpa pernah mengerti.
Hasrat bertanya tentang alam semesta dan kehidupan sudah tumbuh dengan sendirinya di diri kita. Ada dua penghalang agar hasrat ini berkembang dengan baik: (i) kita tidak mempunyai ilmu dan guru yang bisa membimbing dengan baik atau (ii) hasrat ini dipadamkan oleh metode pengajaran agama yang menakut-nakuti kita akan surga neraka.
Kesadaran akan kematian semestinya tidak membuat kita takut mati, melainkan membuat kita cinta hidup. Setiap detik kita hidup perlu memberi arti. Jika kita sudah mengisi waktu hidup kita dengan baik, kenapa kita harus takut mati, apalagi peduli kemungkinan hidup setelah mati?
Makna hidup jadi terletak di apa yang kita perbuat selama hidup, sebelum kita mati. Bukan untuk menyongsong hidup baru setelah mati. Bukan untuk berharap surga setelah mati. Tapi untuk hidup yang kita hirup sekarang. Karena setelah yang satu ini, tidak akan ada lagi.
15. Makna beragama buat saya akhirnya adalah kita harus berilmu agar kita paham bagaimana alam semesta ini bekerja dan bisa memutuskan langkah hidup kita dengan akal sehat. Beragama berarti berilmu karena agama sebenarnya berfungsi untuk mengisi otak kita dengan kerangka pemahaman alam semesta, walaupun sebagian kerangka pemahaman agama tidak bisa dibuktikan secara independen dan empiris.
Jika kita memandang agama sebagai kerangka statis, kita biasanya cenderung memakai agama sebagai selimut untuk melindungi kita dari rasa takut akan kematian. Kerangka pemikiran kita jadinya sama dengan milik orang yang hidup ribuan tahun lalu. Ini sesungguhnya akibat kebodohan kita sendiri.
Makna beragama adalah hidup berilmu dan memakai ilmu ini untuk menjadi lebih baik. Ilmu ini tidak harus dari agama. Ilmu yang lebih konsisten dan teruji empiris and independen justru diberikan oleh sains dan matematika, selain juga dari sejarah dan psikologi. Ilmu yang lain – seperti musik dan sastra – mengasah kepekaan otak kita.
Kebodohan akhirnya tidak ada bedanya dengan tidak beragama. Hanya dengan berilmu kita bisa memadamkan rasa takut kita akan kematian.
Dengan berilmu kita bisa dengan independen dan otentik mencari nafas spiritualitas kita. Dengan berilmu kita mencari arti hidup di tengah alam semesta ini.
kalo bacanya cuma bagian pertama cuma bakalan ter provokasi.. conclusion nya mantep pak :D
ReplyDelete