Friday, January 18, 2013

Nasi Liwet Bu Wongso Lemu


Sejak kecil, saat liburan Hari Raya di kota Solo, saya pasti diajak makan nasi liwet Bu Wongso Lemu di jalan Keprabon, tidak jauh dari kraton Mangkunegaran. Warungnya sederhana sekali dan terletak di pinggir jalan. Kita duduk lesehan di malam hari. Ditemani temaram lampu minyak.

Bapak saya cerita Bu Wongso ini punya prinsip berjualan yang tidak memaksa dirinya melebihi batas yang dia rasakan. Jika jualan sudah habis, ya warung Bu Wongso ini tutup. Tutup lebih awal tak masalah walaupun yang antri beli nasi liwet berjejer panjang. Bu Wongso seakan tidak peduli. Dia tetap memasak sebanyak yang dia rasakan sebagai batas maksimum. Kiat bisnis ini dijalankan juga oleh Warung Sate Buntel Mbok Galak di utara kota Solo, yang cukup sering tutup sore jika sudah habis.

Entah mengapa cerita ini membekas di hati saya. Sampai sekarang. Kalau dipikir lagi, saya ingat terus cerita ini karena jadi pengingat untuk tidak rakus. Bahwa hidup ini harus seimbang. Bahwa hidup itu harus berprinsip.

Cerita Nasi Liwet Bu Wongso Lemu muncul di benak saya saat membaca banjir besar Jakarta 2 hari lalu. Jakarta ini seperti warung nasi Bu Wongso yang sangat laris. Semua orang antri untuk tinggal di Jakarta. Semua orang ingin berinvestasi di Jakarta. Membangun jalan tol, mall, restoran, warung, sekolah, gedung bertingkat untuk mencari uang.

Jakarta – lewat pemerintahnya – tapi tidak bertindak seperti Bu Wongso. Karena lupa diri dan kesempatan cari untung sendiri, Jakarta mengangguk terus saat melihat yang antri panjang sekali. Wah, gue bisa untung besar nih, gumam Jakarta. Dan yang dibilang pembangunan berjalan tanpa berhenti.

Yang dibilang pembangunan ini ternyata pengrusakan. Lingkungan alam Jakarta rusak parah. Kenyamanan hidup diganti racun asap knalpot, kebisingan dimana-mana, dan kemacetan tanpa henti. Pusat pemerintahan: oke. Pusat bisnis: oke. Pusat hiburan: oke. Pusat pendidikan: oke. Semua dicaplok dan tidak ditakar. Rakusnya Jakarta akhirnya merusak dirinya sendiri. Banjir menyapa tiap tahun dan semua warga Jakarta sengsara. 

Rakus yang luar biasa ini terjadi karena tidak ada yang mengerem. Semua pihak yang mencari untung berpusat di Jakarta dan mudah berkomplot untuk menambah untungnya sendiri. Jika ingin perkasa, tinggal lah di Jakarta. Komplotan-komplotan ini berdekatan satu sama lain. Mencari uang tidak pernah berhenti karena jika berhenti sebentar, tetangga sebelah bisa lebih kaya dari kita.

Tidak tahu batas juga menjadi alasan kenapa rakus bisa merajalela. Orang tidak tahu batas jika dia tidak mau bersikap obyektif: mendengarkan usulan orang lain, mengenal diri sendiri, menambah wawasan. Jakarta tidak beda seperti orang yang tidak bersikap obyektif. Semua mau dicaplok. Tidak seperti Bu Wongso yang paham keterbatasan dirinya sendiri.

No comments:

Post a Comment