Friday, August 31, 2012

Kepatuhan


1. Anakku yang termuda, saat di Indonesia, belajar shalat karena diharuskan mengikuti pelajaran agama di sekolahnya dan diberitahu akan masuk neraka jika tidak shalat. Aku dulu juga diperlakukan seperti itu saat mulai belajar agama.

Yang berbeda adalah anakku – karena mengenyam sekolah di Canada dan setelah mencoba shalat beberapa bulan – tidak takut bilang dia capek shalat, karena harus bangun pagi dan harus ingat terus jadwal 5 kali sehari. Aku tahu dia tidak ngawur mencari alasan karena dia juga bilang: "Aku masih tetap orang Islam lho, tapi untuk shalat memang terlalu berat buatku." Bisa jadi dia diplomatis, tapi paling tidak dia berpikir sebelum memberi alasan.

Aku tidak memaksa anakku untuk shalat atau tidak. Aku bilang ke anakku: "Oke, jika itu keputusanmu; aku bisa memahami. Silakan." (Aku dulu rajin shalat, tapi sekarang tidak lagi. Sehingga responku juga lebih bebas.)

2. Setiap anak punya naluri merdeka. Bebas berpendapat dan bertindak. Aku tidak akan mengekang modal dasar berpikir anakku.

Aku tidak mau anakku shalat karena dia ditakut-takuti masuk neraka. Apalagi dituntun sama orang lain. Biarkan dia berpikir dengan bebas dan berkeputusan apa pun sesuai alur pikirannya sendiri.

Aku ingin kepatuhan anakku tumbuh dari dan untuk dirinya saja. Tidak dipengaruhi orang lain, termasuk orang tuanya. Dia mestinya hanya patuh ke naluri dirinya sendiri. Yang dibentuk dengan sadar dan pikiran jernih.

3. Shalat memang membentuk disiplin. Untuk patuh kepada ritual Islam yang ketat sifatnya. Ritual ini awalnya keharusan, dan jika dilakukan terus bertahun-tahun, akan menjadi kebiasaan. Lalu berubah menjadi keniscayaan. Kepatuhan menjadi pagar yang tidak mudah dilangkahi.

Untuk komunitas kurang terdidik, ritual beragama sangat ampuh dalam menjaga kepatuhan, ketertiban, dan keseragaman. Komunitas lebih mudah dikontrol dan dimanipulasi karena kepatuhan yang terbentuk.

Orang kemudian takut berpendapat lain karena akan berbeda dengan mayoritas. Dan yang berbeda dari yang seragam selalu salah. Kalau kamu nyeleneh, kamu pasti orang gila.

Orang lain lalu dicek kepatuhannya dengan menilai apa dia shalat tidak. Agama menjadi polisi. Agama jadi alat untuk meredam keragaman. Agama menjadi alat penguasa untuk mengekalkan kekuasaan. Agama akhirnya sebab komunitas kurang terdidik menjadi mandul, statis, tidak bergerak.

Eropa dan Amerika Utara di abad 16 sampai 19 juga sangat santri, tidak berbeda dengan di Indonesia sekarang, walaupun agama mayoritas mereka tentu berbeda. Kesantrian Eropa dan Amerika Utara ini luntur dengan sendirinya, seiring dengan semakin terdidiknya mereka. Ini respon alami dan saya tidak melihat ada perkecualian dengan yang di Indonesia. Tentunya jika pendidikan di Indonesia lebih baik dari sekarang.

Friday, August 17, 2012

Buku Christopher Hitchens


Saya putuskan beli bukunya - god is not Great - saat di toko buku dekat rumah kemarin malam. Buku Schopenhauer yang saya beli minggu lalu belum selesai, tapi saya lagi lapar. Mungkin karena gaya menulis abad 19 yang membuatnya sukar dibaca; rasanya seperti berenang di lumpur. Buku Christopher Hitchens jauh lebih enak dibaca: segar, tajam, menggigit. Saya suka gaya tulisannya.

Mungkin karena bulan puasa kali. Sering saya berpikir tentang agama 3 minggu terakhir ini. Gak tahu lah. Yang pasti, yang ditulis Christopher Hitchens mengingatkan saya akan perjuangan saya mengerti tentang agama sejak kecil.

Kenapa tuhan perlu disembah jika dia maha kuasa? Bukannya jika seperti itu, dia seperti diktator? (Jangan berargumen bahwa kita sembahyang untuk mengingatkan kita akan kekuasaannya; karena jika ini alasannya, maka jelas manusia lah yang menulis aturan seperti ini.) Kenapa dongeng Adam Hawa tidak bisa dibuktikan dan tidak cocok dengan bukti evolusi? Jika tiap agama mengklaim dia yang benar, bukankah sangat mungkin jadinya tidak ada yang benar?

Saya juga sangat jengkel dengan pemimpin2 (gadungan) agama yang bilang semua sudah ada di kitab suci. Ketika penemuan ilmiah diumumkan, mereka akan bilang "Aha, itu sudah ada di surat sekian ayat sekian. Rupanya ini toh yang tuhan maksud dengan bersabda seperti ini. O sayang ya, ilmuwan Barat yang menemukannya. Makanya kita harus menguasai iptek, blah blah blah." Udah gak ngapa2in, ngeklaim seenak udelnya sendiri. Yo opo iki rek!

Saya juga tidak setuju dengan gaya arogan Richard Dawkins dan buku2nya. Tidak perlu sama sekali, walaupun bukti empiris sudah banyak. Orang bebas untuk berpikir. Tapi memang, jika kita tidak pernah merasa ragu, kita tidak pernah berpikir.

Tuesday, August 14, 2012

Makan


1. Makan adalah satu-satunya aktivitas tubuh yang memasukkan benda asing padat dan cair ke dalam tubuh kita. Berhubungan seks saja tidak seperti makan karena benda asing yang dimasukkan sebentar aja. Bernafas memasukkan gas ke paru-paru tapi jumlahnya tidak sebesar makanan.

2. Karena makan bersifat istimewa diatas, makan tidak bisa dianggap sepele. Apalagi dilakukan 3 kali sehari. Lebih baik sedikit tapi enak dan sehat. Karena makanan yang tidak enak dan tidak sehat merusak cita rasa dan kesehatan.

3. Porsi makan sehari-hari tidak banyak sebenarnya. Sepiring sekali makan sudah cukup. 3000 kcal/sehari (2 piring sekali makan) baru diperlukan jika bersepeda 120 km. Jika badan saya gemuk, berarti saya makan melebihi takaran. Gak ada ceritanya gemuk tanpa makan berlebihan.

4. Karena sepiring sudah cukup, lebih penting jadinya makan yang berkualitas. Waktu saya dulu nyari istri, saya gak peduli omongan orang istri harus bisa masak. Tapi saya bersyukur istri bisa masak walaupun saya gak tahu dulunya. Lah wong dulu saya yang ngajari masak; berarti saya bisa masak juga ya he he.

5. Sewaktu kita di Indonesia setahun (2011-2012) satu hal yang saya tidak komplen adalah makanan. Makanan dimana-mana lumayan lah, tapi kebanyakan - terus terang saja - overrated. Kualitas biasa saja tapi ngejualnya atau foto fesbuknya dilambungin minta ampun. Mendingan masakan istriku sendiri deh. Cuma dapur apartemen kita di Jakarta kecil, jadi saya senang sekarang bisa di Calgary dan menikmati makanan istri sendiri.

Monday, August 13, 2012

Calgary - Highwood Pass - Longview Bike Touring


Over the long weekend (4-6 August) I biked to Highwood Pass from Calgary and back. It is 150 km one-way and traverses the mountainous Kananaskis range, which is a segment of the Canadian Rockies. The Calgary-to-Highwood-Pass elevation gain is 1100 m and there are many hills in between. I did it in 1.5 days and I used the remaining 1.5 days to bike back to Calgary via Longview.

The Calgary - Highwood Pass - Longview 320 km route is hilly and challenging. The crux is the 17-km section from the Kananaskis gate to Highwood Pass; it is a non-stop steep uphill biking. Once you conquer it though, you will feel great. I got nice tan lines on my arms and legs from barbecuing my limbs for 3 days. When the weather is raining or snowing, the route will be very challenging.

I used my Trek 520 touring bike. For the trip preparation, I reviewed its manual and learned steps to remove front and rear tires in case I had a flat tire. It's all good until I had to balance the direct-pull cantilever, i.e., the V, bike brakes. I had to visit the Calgary Mountain Co-Op (MEC) store to have them rebalanced. I had both tubes replaced to have a 110 psig pressure on my tire and the bike mechanics allowed me to remove and install the tubes inside the tires. The bike mechanics taught me one trick to balance the V brakes.

1. Day 1. I biked for 120 km from Calgary at 9:30 AM to the Eau Claire campground in the Kananaskis. The 80 km part was along the Trans Canada Highway (Highway 1) going westbound. The bike lane along Highway 1 is wide and does not have many gravels. It's relatively safe, but there were so many cars and trucks passing me by. The challenging uphill section is the Scott Lake Hill, which is about 1 hour away from the exit ramp to the Kananaskis Trail (Highway 40). There are several Texas gates along Highway 40. I get off my bike to cross each to prevent unnecessary problems to my bike.

The Kananaskis Trail sign at the exit ramp off Highway 1
I cooked lunch and refilled my water bottles at the Kananaskis Info Center. Having lunch keeps me going and prevents me from uber-hungry during dinner time. It gives me time to relax and stretch my muscles as well. When biking I stop every hour to drink and have 1 granola bar. I spend about 1 L of water for every 40 km in a cool sunny day. I never let my water reserve go below 1.5 L.

I arrived at the Mount Kidd RV Park at 5 PM. I told the staff I brought a bivy sack and wouldn't take too much space. I didn't make a reservation though, so when I got there I was told I couldn't sleep there since the campground was full. I replied by saying that I was willing to sleep everywhere and would still pay for a regular camp site. The staff did not seem to have experience dealing with adventure travellers since they suggested me to bike for another 40 km to Pocaterra campground at the Upper Kananaskis Lake. Driving a car would take only 30 minutes, the staff said, to which I replied that I biked (and it would take me 2.5 hours since it's constantly uphill.)  I was appalled at their ignorance and insensitivity; a cyclist gets tired too, you know. I understand they have their campground policies to follow, but their inability to accomodate an unusual request demonstrates an ignorance of the fact that their facility is in a backcountry setting.

Sleeping with the stars and the clouds as the roof
In the end, I slept at an empty parking spot at the Eau Claire campground, about 1 hour away from the Mount Kidd. I arrived at the campground at 6:30 PM. I thanked the Eau Claire campground manager who gave me the spot. I was going to sleep in the bush near the campground, and thus decided not to cook dinner, but our accidental chat changed that. He honked in the next morning as his truck passed by to give me an encouragement. A totally different experience from my encounter with the Mount Kidd RV Park staff.

Bike in the bush
2. Day 2. I biked for 85 km from the Eau Claire campground at 8:30 AM to the Greenford campground about 22 km west of Longview. The first 35 km was constantly uphill, and in fact the 17 km section before the Highwood Pass is relentlessly steep uphill.

The annoying part is not the uphill but the flies and the mosquitos that followed and bit me along the 17 km road as I biked slowly. Their bite marks are not gone yet now! I had to stop every 30 minutes to drink, take a breath, and simply rest before the next onslaught. It took me 2.5 hours including 5 5-minute stops to cover this 17 km section! A racing cyclist was polite enough to greet me; he was a lot faster than me, but then again my bike with panniers was 15+ kg heavier.  I screamed my lungs out when I saw the Highwood Pass sign!

These mountain goats want to enjoy their summer too
I was happy when I reached the Highwood Pass, since it would be mostly downhill for 50 km, all the way to Longview. But the bike lane was treacherous: steep downhill, narrow, a lot of sharp gravels, and bumpy. Several times I had to suddenly swerve my handle bars to prevent from hitting a twig or a bump.
Happy cyclist
I stopped for lunch at the Mist Creek picnic area. The creek water was clear and clean. I simply scooped it and used it to cook my lunch. It stands opposite to the brown, murky water of rivers in Jawa island; I returned to Canada 3 months ago after 1 year in Indonesia. Canada is great that it protects its environment for people like me to enjoy.

I stopped at the Highwood House for ice cream and refilling my water. A much needed sugar after a long biking day. What a relief! I reached the Greenford campground at about 6 PM and set up my tarp and bivy sack to sleep after a quiet dinner.

Good and light enough for me to sleep
3. Day 3. I biked for 110 km from the Greenford campground at 8:10 AM to Longview to Calgary via Highway 22 and 22X. The first hour biking from the campground to Longview was so good: blowing mountain tailwind pushing my bike. I finally got to use my bike's high gears after using granny gears extensively the day before. I stopped for coffee and 2 eggs at a popular eatery in Longview. 80+ km to go, but I knew the mountain was behind me.

Smallest but proudest
Little did I recall that the Highway 22 is a rolling-hill highway. I've driven here before, but driving is way different from biking. Uphill and downhill alternate all the time and seem to never end. The third day was very hot (30 C) and I drank a lot of water. I was so happy to see Highway 22X from the last hill near the Rothney Astrophysical Observatory since I had only less than 1 litre of water left. When I saw the Calgary downtown towers I knew I reached home.

4. People like to talk to touring cyclists. I sense this since people would approach and greet me. A father and son camper at the Greenford, who told me they met a Belgian cyclist who biked from Alaska to the campground and wanted to continue to the US. Kids who said biking a long distance is cool and a part of ninja skills. A retired couple who came back from Crownest Pass and the husband wanted to follow my footsteps using a mountain bike. I suggested to him that a mountain bike would be too heavy and slow for mountain road. A father with complete hiking attire and looked bad-ass until he saw me cleaning my pots and spork and greeted me in a very friendly way. A group of hikers who wanted to taste my pasta lunch. I told them I would be happy to give it if they gave me a lift to Longview.

5. In case you are wondering what I brought in my 2 panniers, I provide the details here. The lighter, the better, but a trip to mountain means I have to account for freezing temperature. I brought a 5C down MEC Gosling barrel sleeping bag, MSR E-Bivy Sack, and a $5 tarp bought from Canadian Tire for my sleep system. I brought a Whisperlite MSR stove that has gone with me everywhere, Knorr Sidekick packaged food, Clover Leaf canned tuna, Nature Valley granola bars, Nong Shim instant noodles, tea, sugar, a Light My Fire spork, an MSR simple stainless steel bowl and its accompanying 0.5 L pot for my food system. I brought a MEC Gore-Tex jacket for possible foul rain or snow; a thin Kathmandu Merino wool hoodie; an Eddie Bauer ultralight packable nylon jacket for cool, windy weather; one Nike spandex pant; one MEC cycling short, and 1 nylon t-shirt. I wore the t-shirt for 3 days and - yes - it smelled so bad that it didn't matter anymore.

Monday, July 30, 2012

Crunchy Sea Kelp

Sea kelp not far off Tofino coast
1. Sea kelp is edible. My kayak guide told me such and I ate it raw while sea kayaking. I ended up finishing a whole long leaf. It tastes crunchy and the salty ocean water enhances its flavor. I worried my stomach couldn't handle it though, which was not funny if I had to go on a kayak. Luckily I never had to do that out in the open or inside the kayak hole, LOL!

Never cook too hard, even when boiling eggs
2. We never bring a lot for cooking on our road trip. We keep it simple and don't cook complicated Indonesian dishes. I bring my small MSR stove and have no wish to impress our campsite neighbors. We bring packaged food and it is ready in 30 minutes max, since we always come back hungry after a day long activity.

The driving is long, but it's all for the family
3. Road trip is a hard work for the driver. I clocked in on average 500 km/day for 7 days. My wife and I cook for breakfast and after that I would drive to wherever we want to go. Traveling with kids is challenging since we have to maintain their focus and ease at the same time. Vacationing at home - watching teve or sending them for sport programs - is an easier option.

Is that a Buddha or Jabba the Hutt?
4. Get ready to discover a new experience or a family squabble during a road trip. It's normal to squabble over soft pasta and wet towel. Whoever initiates it needs not be reciprocated. The wonderful payback is the new discovery that is guaranteed to occur. My 9-year old son, for example, really enjoyed his first spelunking (cave exploring). I always appreciate this memorable moment. If you haven't got one, it could be you haven't come out of your comfort zone.

Don't wake us up until food is ready, Dad!
5. Camping is a cheap accomodation alternative for a family. Magically, camping is more memorable over a hotel, hostel, or a cabin stay. My sons always remember our camping trips 5-6 years ago much better than our hotel stays. They remember stories about early morning tea, cold nights, night walks to outhouse, or campfire. Camping is simple: tent, sleeping pads, sleeping bags, small stove, simple food cooked with water. These uncomfortable elements I think are what create the magic. It's what makes a road trip worth while.

Sunday, July 29, 2012

In Praise of British Columbia

Upper Campbell Lake

I learned a lot more about British Columbia during my summer family vacation this year. It is a lot more than Vancouver, Victoria, Kelowna, and Nanaimo. The farther away I am from these cities, the more beautiful British Columbia becomes. 

This year we spent most of our time in Vancouver Island. You need to take a ferry from the Horseshoe Bay, West Vancouver, to get to Nanaimo in Vancouver Island as the starting point to explore Vancouver Island. It is advisable you reserve your ferry ride to Nanaimo at the BC Ferry website; you will not get caught in a local Vancouver traffic jam if you drive straight on Highway 1 from the east (Hope, Chilliwack, Abbotsford) to West Vancouver.

Don't forget to bring raincoats for your summer trips in BC. The road from Nanaimo to Black Creek, about 20 km north of Courtenay, where the Miracle Beach Provincial Park is located, was drenched with heavy rain. It made the driving a bit more challenging since the Highway 19A is lined with traffic lights until it changes to Highway 19. 

BC Parks, which manages hundreds of provincial parks in the province of British Columbia, has a great website system for campsite reservations. You need to use it since there are a lot of vacationers who travel in BC. The Miracle Beach has more than 200 campsites, for example, and all of them were occupied when we were there. 

Our faithful tents going with us everywhere

I drove to Muchalat Inlet through the town of Gold River from our campground at the Miracle Beach Provincial Park; it is about 150 km drive one-way. We passed through the Strathcona Provincial Park that straddles between Gold River and Campbell River. I found out there was a regular ferry service from Muchalat Inlet to a remote Inuit fishing village of Kyuquot. I talked to a couple who went for a sea kayaking from Muchalat Inlet to Tofino; the whole trip would take about 10 days. They make me want to explore further the British Columbia Pacific Coast and Inlets.

We went to the Horne Lake Cave for cave exploration. It requires a rather steep 30-minute hike to reach the cave. The limestone cave system has a steel door to prevent vandals from ruining the delicate calcite crystals that form aplenty in the system. My younger son learned walking on slippery rocks as he descended about 70 meter further down into the cave. We experienced a total darkness in the cave.

Sea kayaking off the Tofino coast

We went for a whale watching boat trip off Tofino - small tourist-trap town at the tip of the Pacific Rim National Park - and tried sea kayaking. Both were extremely fun and I would recommend for anyone to try. The sea kayaking, however, requires that you are fit and ready to swim in a cold ocean in case the kayak flips.

Muchalat Inlet

For our trip to Tofino and Ucluelet, we pitched our tent at the Sproat Lake Provincial Park, about 13 km west of Port Alberni. The weather was so nice and warm that we finally were able to make campfire! Yeah! We couldn't succeed making one in Miracle Beach because it was always raining. 

Whale, seal, sun fish watching off the Tofino coast

We checked out Stamp River Provincial Park for salmon jumping sights, but there was no salmon at all there. Maybe it's not the right time to see them. We stopped by at the MacMillan Provincial Park to marvel at the giant cedar and Douglas fir trees.

Campfire creates great conversations at night

If you like driving along winding roads, I strongly suggest you try the Port Alberni - Tofino (Highway 4) and Vancouver - Lillooet (Highway 99) route. The roads are narrow and have wicked curves that will surprise you! These two routes will test your driving skills! We saw a Porsche 911 owner sat in disbelief as his car got totally wrecked when he couldn't negotiate the narrow winding roads just before Seton Lake, Lillooet. 

On the way to Vancouver from Calgary, we pitched our tents at the Sunnyside Campground, by Cultus Lake in Chilliwack. It takes only 1 hour drive from Chilliwack to Vancouver, so there is no need to waste money by sleeping in a Vancouver hotel. We spent our last 2 days in Vancouver, but we didn't stay in a Vancouver hotel either. We stayed at the Best Western Mountain Retreat Hotel in Squamish, about 60 km north of Vancouver. It is a bit of a drive, but I won't mind at all testing my driving skills along the winding road between Squamish and Vancouver. 

One reason why I said that "the farther away you are from Vancouver, Victoria, Kelowna, and Nanaimo, the more beautiful BC becomes" is the desert landscape near Lillooet and Kamloops. It reminds me of Oregon and Nevada desert landscapes. We didn't spend time there, but it captivates me.  Other places in BC worth visiting are Mount Robson, Bugaboo, Bella Coola, Port Hardy. The list simply goes on.

Monday, July 16, 2012

Tent Flooding in the Rockies


Sleeping bag with a rating of at least 5 C is required when summer backpacking in Canadian Rockies, as temperature drops to around 0 C at night. A rating of -7 C is a must if you venture further into above treeline campgrounds.

These ratings are good so long as your sleeping bag is dry even during rain outside your tent. This didn't happen last weekend when we did backpacking at the Yoho National Park. What made it worse was I took my nine-year old son with us as well.

The rain poured for 4 hours non-stop. Our tent footprint didn't protect our tent from floor seepage, instead it ended up collecting water from the fly and channeled it to the tent floor. We could feel water pockets right under the tent floor which was flooded in less than 1 hour.

The first thing we saved was our sleeping bags. One was getting wet fast. The second thing was warm clothing. Our socks were soaked. Things were not good at all.

We decided to move our stuff out of the tent and to a hut in our campground. We were completely soaked. The fireplace there helped dry our stuff, which took 2 hours. We ended up cooking in the hut with a company of other backpackers who couldn't cook outside as well due to heavy rain. Two other groups experienced tent flooding even worse than us. We all told our stories and the evening turned out great in the end.

It was a trade-off we sought. We wanted a view of majestic waterfall and picked a low lying tent site. When the heavy rain came, we paid the price. I had to move our tent to another site and the rain finally stopped.

The rain gave a beautiful mist shroud to the waterfall. A moment of trouble became a beautiful weekend to remember. 

Tuesday, July 10, 2012

Pay Attention to Your Ears


Three days ago I had to wake up very early in a Sydney hostel to catch my flight to Calgary. While waiting at the Central Station, I put on my noise-cancelling headphones and was sent into a mild trance - figuratively speaking - as I listened to my favorite songs. Whatever I saw became much more peaceful and the morning sun felt welcoming. 

That's what I learned in the past 3 weeks owning these headphones. They are a wonderful invention. I don't own a TV, but I cannot live without these headphones anymore, LOL! But more importantly they remind me that I have underestimated the importance of ears, while indulging my eyes when going hiking, watching movies and beautiful things. 

The physics of these headphones is interesting as well. How the ambient sound waves get cancelled by opposing sound waves internally generated by the headphones. From optics we learned that this cancellation does not mean the energy of the sound waves is annihilated, but it is rather refracted, redirected, which in this case means reflected back. 

The headphones also tell me how to put a price on physical noises as they are not cheap (about $350) and require an AAA battery that lasts about 30 hours. I use them constantly when working or on the road, so I am thinking now of getting a rechargable battery. 


Friday, June 8, 2012

Negara Pisang


Saya sudah sebulan di Calgary, setelah 1 tahun bekerja di perusahaan swasta di Indonesia. Teman baik saya bilang kalau saya tidak akan kerasan, tapi melihat saya seperti ini menambahkan bahwa saya harus mengalami sendiri.

Tetap ada pelajaran berharga. Pertama, Indonesia tidak nyaman dan mahal untuk berkeluarga. Biaya hidup anak tinggi untuk pendidikan, transportasi, dan kegiatan luar sekolah. Sementara kualitas yang didapat marginal. Kualitas hidup keluarga merosot karena lingkungan hidup rusak. Tidak ada trotoar untuk mengajak anak jalan kaki. Fasilitas hiburan keluarga mahal dan jauh. Semua berpusat di mall.

Hidup di Indonesia – terutama di Jakarta – cocok untuk kaum single saja. Ritual macet setiap hari sangat boros waktu untuk keluarga. Keseharian tidak efisien jika punya anak. Jika ada uang, barulah agak enak hidup di Jakarta. Tapi tetap saja, kualitas lingkungan hidup pas-pasan. Udara kotor polusi asap hitam. Pemandangan kota morat-marit dan baru enak jika masuk mall lagi. Tapi bayar lagi. Bayar lagi.

Kemarin saya ketemu satu keluarga yang baru beberapa bulan pindah ke Calgary. Mereka sebelumnya tinggal di Jakarta, tapi setelah merasakan job assignment di luar negeri sebelumnya, akhirnya memutuskan meninggalkan tanah air. Keluhannya ya itu lah. Keseharian capek dibelit macet. Biaya pendidikan anak semakin mahal. Kualitas lingkungan hidup jelek.

Kedua, bisnis Indonesia cuma jualan doang. Banyak yang bilang: "Ngapain buat, jika jualan saja untungnya banyak." Bahkan banyak juga yang nambahin: "Justru kalau bikin tambah rugi." Nah loh. Ini berarti Indonesia emang dipimpin sama orang-orang tolol dan penakut. Jika jualan untungnya gak karuan, cuma satu penjelasannya. Ada kartel untuk setiap barang dagangan. Enough said.

Kalau mau serius sedikit, bisa saya bilang ada 2 hambatan. Pertama, untuk bisa bikin sendiri peraturan pemerintah harus mendukung industri dalam negeri. Tidak ada liberalisasi perdagangan seenak udelnya WTO jika pemerintah berani lepas dari kepentingan beberapa pihak tertentu. Kedua, kemampuan manufaktur harus membaik. Industri hotel/pariwisata dan makanan Indonesia bagus, tapi industri manufaktur masih sangat jelek. Gimana memperbaikinya?

Ketiga, kuncinya di PENDIDIKAN. Jalan ke arah perbaikan kemampuan manufaktur cuma ada di perbaikan kualitas pendidikan. Ribut ujian nasional yang tanpa ujung menghambat perbaikan kemandirian berpikir dan kualitas ketrampilan jutaan anak Indonesia. Kenapa kok tidak dibereskan? Ya itulah, Indonesia memang dipimpin orang tolol dan penakut. Pendidikan kunci utama untuk maju. Lihat sejarah Singapore, Korea Selatan, Jepang, Cina. Lihat sejarah Eropa sejak abad 15 dan Amerika Utara sejak abad 16.

Keempat, perkuat universitas agar bebas, cerdas, dan ngayomi masyarakat. Negara manapun yang maju syaratnya ya itu: punya universitas berkualitas. Gaji guru dan dosen rendah tidak membantu ke arah ini.

Udah ah. Capek nulis melulu. Ini juga kebetulan ada waktu luang sambil nunggu kiriman kasur.

Monday, May 14, 2012

3 Work Motivators

Sudarso's Setting Her Chignon (1967)
1. Deliver values to your customers.

2. Exchange your time with quality.

3. If not happy, find another job.

Sunday, May 6, 2012

Jalanku


Beberapa temanku tanya kenapa hanya 1 tahun di Indonesia. Aku jawab karena aku kangen mengajar dan mengerjakan riset. Aku lebih cocok bekerja dengan berpikir dan menulis.

Bukannya aku tak tahu itu. Tapi aku harus mencoba bekerja di tanah air. Agar keraguan tidak terbawa mati. Agar aku punya pengalaman bekerja di swasta.

Rencana awal 3 tahun jadi lebih pendek karena aku tidak bisa bekerja tanpa ragu jika nalarku tidak yakin untuk mengerjakan sesuatu yang diminta.

Aku lebih baik jalan sendiri. Menjadi guru atau membuka usaha sendiri.

Itulah kelemahanku. Aku lebih suka sendiri. Walau aku suka bicara, aku cinta kesunyianku. Aku lebih cinta waktu bebasku. Bersama buku, gunung, dan keluargaku.

Aku perlu bicara dengan lebih banyak orang. Aku tapi tidak suka buang waktu. Tidak sabar dengan orang yang basa basi.

Mengajar di Indonesia bergaji kecil. Perlu daya kreatif untuk menambah penghasilan. Aku salut dengan teman-temanku yang menjadi guru di tanah air.

Ayo kita bertukar pikiran. Lewat Facebook, Twitter, milis email. Semoga bisa jadi kerja sama berarti.


Wednesday, May 2, 2012

Surgamu Surgaku


Nduk, ini jalan nasib kita 
Baju lecek kumal berdua
Bersimpuh letih atap cemara
Gerbang tol Cibubur Dua

Mak sedih pikirkan kamu
Masih kecil sudah membabu
Setiap malam muka berdebu
Badan kurus bermata sayu

Mak nyesal lahirkan orok
Mak mau bunuh diri besok
Akhiri letih raga membusuk
Kamu bebas biar bergerak

Mak, apa tak takut dosa besar
Mati tak lumrah hidupmu bubar
Tak punya uang tak bisa bayar
Dunia akhirat menjadi hancur

Lama aku memendam marah
Kita dilewati mobil mobil mewah
Mereka untung berlimpah ruah
Tiap tahun haji banyak sedekah

Nduk, kamu jangan begitu
Ini jalan nasib kita, cah ayu
Gusti Allah Maha Adil, pasti itu
Mak ingin segera tahu

Friday, April 27, 2012

Pelacur Naas


Negri ini naas karena
Uang slalu jadi panglima

Aku goblog karna tak nyana
Gimana ekonomi tumbuh 6%

Paling cuma bayi bertambah
Orang ngentot dimana mana

Itupun juga benarnya tak cukup
Karna yang kaya semakin makmur

Lalu yang miskin makin tergerus
Kulit kudisan perut keroncongan

Lalu uang lari kemana
Paling ke maling pelacur semua

Wednesday, April 25, 2012

Sepeda Motor



Jalan desa Jeruk Legi - Kali Pucang
Dilewati lebih cepat satu jam karena
Lubang dan gelombang aspal
Bukan makanan mobil dan truk

Kelak kelok Cikalong - Tasikmalaya
Bukan hambatan sedikit pun
Gadis dan dua adiknya di belakang
Menari bermanuver hindari jurang

Dua turis bule bawa surfing board
Enaknya lewati jalan hancur akibat
Penambangan pasir besi Cimerak
Sesekali melambai tangan ke laut lepas

Mereka lincah cari sela sekat hidup
Diantara truk tronton dan bus AKAP
Mas dan gadis berjilbab duduk gagah
Berpeluk mesra nikmati malam buta

Sunday, April 22, 2012

Ruang Publik


Penataan ruang publik di banyak kota Indonesia amburadul. Mulai dari trotoar yang porak poranda sampai arsitektur bangunan yang tumpang tindih tanpa peduli keserasian dan keelokan. Beginilah wajah kusam jelek sebagian besar kota di Indonesia.

Ada beberapa perkecualian. Desa-desa di Ubud, Bali terlihat nyeni dan tertata apik sehingga enak dipandang dan menumbuhkan daya pikir otak. Alam indah tak tersentuh di selatan Ciwidey, Jawa Barat, diselingi kebun teh luas dan kabut sore hari. Sekelumit ruas jalan Aji Barang - Purwokerto yang lebat rindang pohon hijau menutupi bukit-bukit sekitar gunung Slamet.

Tapi kecantikan alam Indonesia akan bertambah jarang dan bisa sirna jika pengrusakan alam berlanjut terus dan penataan ruang publik tidak diurus dan ditertibkan sama sekali. Tidak akan ada kecantikan lagi yang tersisa.

Sebagai gantinya adalah tempat-tempat yang dikelola swasta. Restoran, coffee shop, mall, perumahan elit yang ditata cantik dan segar. Mereka justru yang mengadopsi arsitektur Jawa, Sunda, dan Bali. Kecantikan ruang publik menjadi mahal. Semakin berjurang yang kaya dengan yang miskin. Butuh duit banyak untuk sekedar menikmati ruang publik indah.

Rasa estetik masyarakat seperti sirna. Tidak ada lagi perpustakaan elok, taman bersih rindang, sungai jernih deras yang bisa dikunjungi gratis untuk sekedar melepas penat. Kita berbondong ke mall karena di sana udara sejuk dan mata tidak dijarah keburukan tata ruang kota.

Hilangnya ruang publik elok adalah sangat mengenaskan mengingat arsitektur bangunan Jawa, Sunda, Bali ramah alam dan cantik. Kenapa arsitektur asli ini tidak menjadi acuan dalam menentukan proporsi dan estetik ruang publik?

Tuesday, April 17, 2012

Pulau Madura

Pantai Lombang, di ujung timur pulau Madura.

Jembatan Suramadu yang kami seberangi dari Surabaya ke Bangkalan, Madura, seolah berbisik lembut bahwa Indonesia adalah negara maju. Desainnya elok nan sederhana dan selat yang memisahkan Jawa dan Madura terlihat bersih dan luas.

Terakhir kali saya ke Madura saat masih SD - puluhan tahun lalu - dan itu pun hanya sampai Bangkalan. Kali ini kita sekeluarga ke Sumenep di ujung timur Madura.

Ada dua hal yang mengagetkan saya. Pertama, tidak banyak penjual di sepanjang jalan Bangkalan-Sumenep. Warung soto dan sate Madura ada diperbagai kota Indonesia, tapi tidak saya temui di jalan di Madura sendiri. Yang ada bahkan warung makan Surabaya dan Padang, itu pun juga kurang dari sepuluh. Benar-benar bertolak belakang dengan kepadatan penjual makanan di Jawa.

Makanan asli Madura - yang dimakan orang Madura - berbeda dengan yang sebagian besar orang non-Madura tahu. Makanan favorit orang Madura yang tinggal di Madura adalah soto kikil bumbu kacang dan rujak cingur bumbu kacang juga.

Saya hanya bisa berspekulasi kenapa tidak banyak warung makan di Madura. Tapi berdasarkan hukum supply dan demand, jelas orang Madura tidak suka makan di luar rumah. Melihat banyaknya orang Madura yang berdagang di seluruh Indonesia, tidak berlebihan mengira masyarakat Madura mempunyai kebiasaan menabung dan tidak boros. Terbersit dari tatapan mata mereka - saat saya lari pagi - rasa bangga akan budaya Madura. Masih banyak orang laki-laki bersarung lalu lalang berjalan kaki dan naik motor.

Kedua, tidak saya temukan restoran siap saji KFC, McDonald's, A&W, dan semacamnya. Teman saya bilang restoran seperti ini tidak diijinkan di Madura. Saya sempat berpikir masyarakat Madura terbelakang, tapi kemudian saya justru salut dengan mereka. Karena mereka kukuh dan konsisten memegang tradisi Islam dan budaya Madura.

Tidak saya lihat juga mal bertingkat di Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Alam lingkungan di Madura juga tampak masih belum terlalu terkotori dampak industri dan pembangunan yang menggebu.

Pulau Madura jadi jendela alternatif Indonesia yang lebih mandiri. Tidak tergantung ke negara lain. Memang terbelakang, tapi bangga dan tidak malu akan kemandiriannya. Saya berdecak kagum.

Wednesday, April 11, 2012

Tecumseh


When I watched the movie Act of Valour, I was struck by the beauty of Tecumseh's poem. A powerful poem! 

I thought about it yesterday and found things that resonate with my code of ethics. Below is my rendition so that I can memorize it easily, to guide me everyday. Something I hope is worth sharing.

Be grateful every morning

Eject fear of death from your heart

Practice beauty and simplicity

Sing your death song

Die like a hero going home

Kesimpulan Perbandingan Harga Indonesia-Canada


Ada 2 tabel perbandingan harga Canada dan Indonesia untuk seminar di Politeknik UI (Universitas Indonesia) Senin depan (16 April 2012) yang ingin saya bagikan dengan anda.

Kolom CDN:INA Purchasing Power Ratio adalah rasio jumlah barang sama yang bisa dibeli dengan gaji awal insinyur di Canada dan gaji awal insinyur di Indonesia. Rasio "4.2:1" berarti gaji Canada bisa membeli barang tersebut 4.2 kali lipat lebih banyak dibandingkan gaji Indonesia di negara masing-masing. 

Asumsi analisa adalah harga-harga barang dan servis di Canada lebih mendekati equilibrium karena variasi harga di seantero Canada lebih kecil dari yang di Indonesia. Harga yang mendekati equilibrium mencerminkan permintaan dan penawaran yang seimbang. 

Bukti harga-harga di Canada mendekati equilibrium adalah (i) tidak banyak penurunan harga di Canada jika nilai tukar dollar Canada menguat terhadap dollar AS yang membuat orang Canada berbelanja di AS dan (ii) jaminan mengembalikan barang, yang baru dibeli, di beberapa toko besar jika ada harga yang lebih murah di toko lain.

1. Secara umum, harga servis di Indonesia lebih murah dari di Canada. Rasio rata-ratanya sekitar 1:2 untuk Indonesia. Sebaliknya, insinyur Canada diuntungkan oleh harga barang yang lebih murah di Canada dengan angka rasio rata-rata sekitar 5:1.

2. Karena standar hidup buruh di Indonesia dibawah Canada dan harga servis di Indonesia lebih murah, maka wajar jika harga servis di Indonesia perlu naik untuk menaikkan standar hidup buruh Indonesia. Jika kenaikan harga servis di Indonesia tidak terjadi karena peraturan pemerintah atau yang lain, maka buruh-buruh yang menyediakan servis mensubsidi segmen yang yang membeli servis mereka.

3. Harga barang yang lebih mahal di Indonesia disebabkan dua alasan: (i) banyak barang yang komponen harganya tergantung impor dan (ii) 'price markup' masih terjadi. Alasan pertama berarti kemampuan manufaktur pabrikan di Indonesia masih belum bisa bersaing dengan barang impor. Alasan kedua berarti biaya transportasi dan/atau biaya 'siluman' masih tinggi.

4. Dilema yang dialami Indonesia adalah: biaya pendidikan untuk meningkatkan kualitas SDM sudah tinggi padahal hanya dengan cara ini kemampuan manufaktur pabrikan Indonesia bisa membaik.

Monday, April 9, 2012

Indonesia-Canada Price Comparison


I am preparing my talk at the Politeknik UI (Universitas Indonesia) next week on Monday, 16 April 2012. One slide I wanted to share with you is the price comparison table I made.

The most important information is the CDN:INA Purchasing Power Ratio. It is the ratio of the number of same goods purchased with Canadian salary to Indonesian salary. When the Purchasing Power Ratio says "4.2:1", it means the Canadian salary can buy the same item 4.2 times more than the Indonesian salary can for that particular item. It is quite telling.

Sunday, April 8, 2012

Desakan Keluarga


Gaji lulusan universitas (S1) Indonesia kecil. Di pekerjaan pertama, lulusan S1 menerima gaji Rp 3-4 juta/bulan. Kenaikan pendapatan tidak akan cepat. Pengalaman kerja 10 tahun bisa menaikkan gaji awal menjadi sekitar Rp 5-7 juta/bulan di akhir tahun kesepuluh. Ini berarti kenaikan gaji rata-rata 5.5%/tahun, sementara inflasi harga sekitar 6%/tahun.

Lulusan S1 baru bisa bernafas setelah 10 tahun kerja. Saat sekitar usia 35 tahun ini, tergantung dia bekerja dimana, ada beberapa pilihan untuk menaikkan gaji dengan lebih cepat.

Pertama, dia harus buka usaha sendiri, yang bisa dirintis saat usia 30. Posisi yang paling baik di perusahaan untuk mengerjakan ini adalah sales engineer karena akan mendapatkan banyak kontak untuk memulai usaha baru. Jangan ragu jika harus bersaing dengan bos sendiri, karena ini sudah jalannya.

Kedua, dia bisa pindah kerja ke perusahaan asing. Perusahaan asing bisa menggaji 30-50% lebih tinggi dari perusahaan nasional. Kenapa? Karena perusahaan asing ingin mendapatkan karyawan terbaik dan mau keluar uang. Jika mau meraih ini, perbaiki kemampuan bicara dan menulis email berbahasa Inggris.

Ketiga, dia menyalahgunakan posisinya. Desakan kebutuhan rumah tangga akhirnya tidak bisa dibendung. Sudah 10 tahun berkeluarga, masa tidak ada perubahan ekonomi keluarga? Mulailah proyek pembelian barang diproyekkan lagi, waktu pembayaran tagihan supplier dijualbelikan, atau uang yang sedianya untuk beli ini dipakai sebentar untuk beli itu.

Upaya kenaikan gaji dengan menyalahgunakan posisi tidak sehat. Jika merasa kebutuhan keluarga sudah lebih besar dari gaji yang diterima, sebaiknya keluar saja. Keputusan ini amat sangat sering tidak gampang karena dapur harus ngepul terus.

Pemicu utama pengkorupsian jiwa datang dari kebutuhan keluarga yang tidak direncanakan dengan baik.

Gaji awal kecil sebenarnya tidak cukup untuk menopang keluarga. Tapi karena kebutuhan seks tidak bisa dibendung lagi, haruslah lulusan S1 ini menikah secepatnya.

Desakan pihak keluarga mendorong secepatnya punya anak. Begitu punya anak, kebutuhan keluarga akan naik 4-5 kali lipat. Lingkaran kebutuhan uang dimulai.

Saya dulu menikah di usia muda. Di tahun sama saat lulus S1. Saya juga punya anak 1 tahun setelah menikah. Kami diuntungkan tinggal di Canada dimana kami bisa sembunyi dari tuntutan keluarga dan desakan untuk belanja ini itu dari kawan dan saudara. Kami bisa cuek bebek menikmati rumah tangga kami dan membentuknya sendiri tanpa campur tangan orang lain.

Kepada setiap anak muda yang saya temui dan ngobrol di Indonesia, saya selalu menyarankan untuk menunda punya anak. Nikah silakan saja, tapi jangan takut cerai jika tidak cocok.

Biar gampang proses cerainya, jangan keburu punya anak. Logika yang gampang dan mudah dimengerti, tapi sukar untuk dilaksanakan. Disini letak pentingnya memilih pasangan hidup tahan banting dan berkomunikasi dengan terbuka.