Friday, August 31, 2012

Kepatuhan


1. Anakku yang termuda, saat di Indonesia, belajar shalat karena diharuskan mengikuti pelajaran agama di sekolahnya dan diberitahu akan masuk neraka jika tidak shalat. Aku dulu juga diperlakukan seperti itu saat mulai belajar agama.

Yang berbeda adalah anakku – karena mengenyam sekolah di Canada dan setelah mencoba shalat beberapa bulan – tidak takut bilang dia capek shalat, karena harus bangun pagi dan harus ingat terus jadwal 5 kali sehari. Aku tahu dia tidak ngawur mencari alasan karena dia juga bilang: "Aku masih tetap orang Islam lho, tapi untuk shalat memang terlalu berat buatku." Bisa jadi dia diplomatis, tapi paling tidak dia berpikir sebelum memberi alasan.

Aku tidak memaksa anakku untuk shalat atau tidak. Aku bilang ke anakku: "Oke, jika itu keputusanmu; aku bisa memahami. Silakan." (Aku dulu rajin shalat, tapi sekarang tidak lagi. Sehingga responku juga lebih bebas.)

2. Setiap anak punya naluri merdeka. Bebas berpendapat dan bertindak. Aku tidak akan mengekang modal dasar berpikir anakku.

Aku tidak mau anakku shalat karena dia ditakut-takuti masuk neraka. Apalagi dituntun sama orang lain. Biarkan dia berpikir dengan bebas dan berkeputusan apa pun sesuai alur pikirannya sendiri.

Aku ingin kepatuhan anakku tumbuh dari dan untuk dirinya saja. Tidak dipengaruhi orang lain, termasuk orang tuanya. Dia mestinya hanya patuh ke naluri dirinya sendiri. Yang dibentuk dengan sadar dan pikiran jernih.

3. Shalat memang membentuk disiplin. Untuk patuh kepada ritual Islam yang ketat sifatnya. Ritual ini awalnya keharusan, dan jika dilakukan terus bertahun-tahun, akan menjadi kebiasaan. Lalu berubah menjadi keniscayaan. Kepatuhan menjadi pagar yang tidak mudah dilangkahi.

Untuk komunitas kurang terdidik, ritual beragama sangat ampuh dalam menjaga kepatuhan, ketertiban, dan keseragaman. Komunitas lebih mudah dikontrol dan dimanipulasi karena kepatuhan yang terbentuk.

Orang kemudian takut berpendapat lain karena akan berbeda dengan mayoritas. Dan yang berbeda dari yang seragam selalu salah. Kalau kamu nyeleneh, kamu pasti orang gila.

Orang lain lalu dicek kepatuhannya dengan menilai apa dia shalat tidak. Agama menjadi polisi. Agama jadi alat untuk meredam keragaman. Agama menjadi alat penguasa untuk mengekalkan kekuasaan. Agama akhirnya sebab komunitas kurang terdidik menjadi mandul, statis, tidak bergerak.

Eropa dan Amerika Utara di abad 16 sampai 19 juga sangat santri, tidak berbeda dengan di Indonesia sekarang, walaupun agama mayoritas mereka tentu berbeda. Kesantrian Eropa dan Amerika Utara ini luntur dengan sendirinya, seiring dengan semakin terdidiknya mereka. Ini respon alami dan saya tidak melihat ada perkecualian dengan yang di Indonesia. Tentunya jika pendidikan di Indonesia lebih baik dari sekarang.

No comments:

Post a Comment