Tuesday, May 7, 2019

Memerangi Kebodohan


Jurus memerangi kebodohan paling jitu adalah bukan dengan berteriak lantang ke pihak yang kita anggap bodoh bahwa pihaknya bodoh. Langkah ini tidak bijaksana karena pihak yang kita salahkan akhirnya justru membela diri dan bersikukuh dalam kebodohannya.

Jurus jitu memerangi kebodohan adalah menyerahkan proses menang kalah pada seleksi alam (natural selection) yang sudah berjalan milyaran tahun di alam semesta.

Biarkan yang kamu anggap bodoh tetap percaya kepada kepintarannya. Biarkan yang kamu anggap bodoh terseok dalam kegelapannya. Karena hanya teladanmu lah yang seharusnya berujar lantang. Sudah cukup kamu membuktikan kebenaranmu dalam memberikan teladan tiap hari.


Friday, May 3, 2019

Cinta Tanah Airku


Cintaku, kasih sayangku kepada tanah air yang sudah aku tinggalkan puluhan tahun ternyata tidak pernah pudar. Lihai aku menyimpannya, tapi lambaian nusantara yang lembut mampu sesekali membangunkan perasaan yang tersimpan rapi. Mataku basah; aku termenung. Anak kampung yang telah melanglang dunia.

Yang pertama aku ingat adalah kesahajaan hidup orang-orang yang aku temui saat berkunjung. Aku sadar aku bisa membantu mereka paling tidak dengan ilmuku, tapi urusanku sendiri belum selesai. Satu saat, gumamku.

Hidupku terbagi dalam beberapa fase. Ada fase keingintahuan, ada fase belajar, ada fase bekerja dan menjadi orang tua, dan ada fase jati diri. Fase-fase ini saling melangkahi dan melengkapi. Kesadaran akan mereka yang membuat cinta tanah airku tidak pernah pudar.

Banyak perubahan aku lihat dari dekat dan kejauhan. Beberapa kurang berkenan di hatiku. Tapi itulah cinta: kadar hakikat yang tak pernah berubah walau obyek cintaku berubah.

Hidupku harus lengkap. Sebelum aku mati, aku ingin renggut impian.




Wednesday, May 1, 2019

Harga Diri



Dalam berkelakuan kita kerap menampakkan harga diri (ego) kita lewat beberapa manifestasi. Refleksi pemikiran ini datang saat saya menghadiri rapat kampus dan mendengar teman-teman saya berbicara dan tanpa sadar membuka kedok mereka sendiri. Baiklah saya mulai. Kualitas terendah penampakan harga diri adalah sandang yang memamerkan kita siapa. Di atas lebih sedikit dari yang terendah ini adalah berbicara lantang apa-apa yang kita punyai dan lakukan tanpa ada yang menanyakan. Kedua kelakuan ini sepantasnya hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak berpendidikan. Karena dual hal ini sepatutnya hanya jadi pertanda (signal) adanya orang-orang seperti ini di sekeliling kita.

Di atas kedua kelakuan ini ada beberapa tingkatan penampakkan harga diri yang biasanya dilakukan oleh orang-orang berpendidikan tinggi. Tingkat ketiga adalah sikap cepat menyalahkan pendapat dan ujaran orang lain tanpa diminta. Saya terkadang melakukan ini, mungkin karena karakter guru yang sudah melekat puluhan tahun. Kelakuan ini tapi sebaiknya kita hindari karena kontraproduktif dalam berkomunikasi dengan siapapun. Bukannya orang yang kita ajak bicara membuka diri, tapi malah dia ngacir menjauh karena takut, segan, atau muak untuk melanjutkan percakapan. Jika pun yang kita ajak bicara sebenarnya perlu tahu diri untuk tutup mulut secepatnya, perasaan ini sebaiknya disimpan di hati.

Tingkat keempat adalah bertutur memakai sinisme atau sarkasme. Sinisme adalah cara berbicara yang meragukan maksud implisit ujaran orang lain. Sinisme tidak langsung menyalahkan orang lain; sinisme tidak menyalahkan apa yang tersurat, tapi meragukan maksud dan tujuan apa yang diomongkan. Contoh sinisme: "Sudahlah tak usah ribut hasil quick count pemilu, toh kita tetap aja kerja dan miskin." Yang diragukan di sinisme ini adalah niat membangun negara dengan hasil pemilu. Sarkasme adalah cara berbicara dengan memberikan counter-example untuk menyalahkan omongan orang lain. Contoh sarkasme: "Dulu kamu sekolah tinggi-tinggi ke luar negeri, eh ternyata cuma jadi tukang masak." Counter-example yang diberikan contoh sarkasme ini membandingkan "sekolah luar negeri" dan "tukang masak" seolah-olah mereka tidak bisa berada di satu kalimat. Sarkasme melukiskan ironi: dua hal nyata yang awalnya tidak bertolak belakang, tapi dengan sarkasma dijadikan bertolak belakang.

Kita kerap tanpa disadari memakai sinisme dan sarkasme di percakapan sehari-hari. Keduanya bisa berfungsi jadi lelucon, sindiran halus, olok-olok, dan hinaan tergantung konteks keduanya diucapkan. Berlatih mengurangi sinisme dan sarkasme butuh latihan berpikir dan rasa. Sukar tampaknya buat saya menghilangkan sinisme dan sarkasme, tapi paling tidak saya kurangi atau perhalus agar hanya yang berpikir saja yang paham saya memakai sinisme dan sarkasme.

Menampakkan harga diri lewat keempat cara ini terkadang diperlukan untuk menohok orang lain yang tidak merasakan ada yang kurang di dalam dirinya. Tapi tetap lebih baik jika saya berdiam diri dan tidak merasa terganggu maupun perlu merespon setiap ujaran orang lain. Tanpa orang itu meminta pendapat saya, sebaiknya saya tetap diam dan fokus ke kegiatan terpenting saya saat itu.

Tuesday, April 30, 2019

Disain Rekayasa


Disain rekayasa adalah salah satu puncak penguasaan sains dan teknologi. Ini karena produk disain rekayasa berupa barang adalah kata akhir pembuktian kalkulasi dan asumsi yang sebelumnya hanya ada di kertas dan layar komputer. Kompleksitas usaha disain rekayasa yang menggabungkan manufaktur, disain rupa, biaya, dan disain mekanisme adalah alasan tambahan.

Disain rekayasa adalah hilir penguasaan sains dan teknologi, sementara riset baru orisinal adalah hulu sains dan teknologi. Riset baru orisinal adalah puncak kedua penguasaan sains dan teknologi.

Buat pengajar universitas seperti saya, hanya ada dua pilihan ini dalam mengerjakan riset di kampus. Menurut saya riset yang hanya mengikuti jejak peneliti lain tidak layak saya lakukan karena memalukan.

Langkah tersukar dalam aktivitas disain rekayasa adalah manufaktur. Bagaimana menterjemahkan ide disain mekanisme yang ada di kertas menjadi barang. Contohnya, bagaimana membuat ide mesin diterjemahkan dalam langkah-langkah kongkrit yang menggabungkan komponen-komponen barang seperti shaft, ball bearing, lubrication, spring (pegas), piston, dan lainnya untuk menjadi satu barang bernama mesin bakar.

Di langkah manufaktur lah berbagai hitungan engineering, seperti heat transfer, termodinamika, mekanik benda padat, dinamik, mekanika fluida, akan menjadi kenyataan barang atau tidak.

Yang terpenting untuk meraih sukses disain rekayasa justru bukan datang dari kalkulasi rumit dan mutakhir yang menyeluruh. Tapi justru datang dari dua hal: (i) kemampuan kita untuk memakai akal sehat yang dilandasi kapasitas teknis memadai dan (ii) kesabaran dan keberanian memutuskan solusi yang optimum. Dua hal ini kerap tidak membutuhkan kepintaran tinggi. Yang kerap dibutuhkan adalah kemampuan fokus dan menelaah masalah dengan detail dan teliti.

Thursday, April 25, 2019

Old School


Yang terbaik belum tentu yang tercepat, terbesar, atau termewah. Akhirnya yang terpenting adalah yang ternyaman. Itulah ukuran untuk semua yang kita punyai. Semua yang diluar jiwa tubuh kita. Tidak ada ukuran yang lebih baik dari yang ternyaman.

Karena cepat, besar, dan mewah adalah ukuran angka. Sementara kamu bukan angka. Kamu konglomerasi angka-angka yang kamu kumpulkan dan bangun. Itulah kenapa saya masih tetap tresno dengan filsafat Jawa. Karena rasa adalah segalanya untuk ketentraman jiwa.

Dua hari lalu rasa menjelma menjadi angka. Dan bukan yang tercepat, terbesar, atau termewah. Tidak ada gunanya lagi membandingkan dengan yang lain. Cukup aku bersandar kepada apa yang aku rasakan.

Saturday, April 20, 2019

David Lama - Annapurna III



Kebanyakan kita berani berdoa saja
Berkerumun - sembunyi di keramaian
Berteriak lantang tanpa berbuat apapun

Ada yang lain yang tak pernah berkoar
Mencari jalan sendiri dengan teman sedikit
Sesekali orang-orang ini berbicara
Tak banyak - tapi sudah cukup
Karena kecantikan tak butuh ucapan
Kemuliaan tak butuh kerumunan

Biasakan cari jalan sendiri
Tanpa banyak bicara
Fokuskan arah didepanmu
Tanya dirimu berani tidak
Punya ketrampilan tidak
Langkah maju atau mundur
Itu saja


Friday, April 19, 2019

Bangun Kemandirian


Artikel Washington Post https://www.washingtonpost.com/world/europe/billionaires-raced-to-pledge-money-to-rebuild-notre-dame-then-came-the-backlash/2019/04/18/7133f9a2-617c-11e9-bf24-db4b9fb62aa2_story.html?noredirect=on&utm_source=pocket-newtab&utm_term=.1c09de2aeb8c ini mengingatkan barang-barang mewah yang kita beli untuk pamer pada akhirnya memperkaya segelintir orang saja. Ketimpangan ekonomi ada di negara maju juga dan bukan monopoli negara berkembang atau miskin.

Sebagai rakyat biasa, yang bisa saya lakukan adalah selalu berpikir sebelum membuka dompet. Siapa yang diuntungkan oleh uang pembelian saya? Apa perlu saya membeli barang mahal ini? Apa guna barang mahal seperti ini? Hidup harus dipenuhi dengan problem solving seperti ini. Jika kamu belum bersikap seperti ini, sudah waktunya kamu memulainya.

Kita sebagai rakyat biasa tidak bisa bodoh dan tidur saja tanpa mengambil aksi nyata. Selain memastikan uang yang kita belanjakan tidak masuk ke kantong konglomerat yang menjadi semakin kaya, kita juga harus membangun kemandirian. Bagaimana caranya? Hanya satu cara: Menguatkan pengetahuan sains dan ketrampilan rekayasa (engineering). Sains dan rekayasa inilah yang akan memberdayakan kita: membuat sendiri barang-barang tanpa tergantung lagi ke perusahaan-perusahaan multinasional.

Yang sama pentingnya adalah juga membangun jiwa kuat yang tidak mudah tergiur rayuan kemewahan semu lewat barang-barang yang jadi simbol status. Sayangnya jiwa kuat ini mudah dirongrong oleh deras informasi online. Menjaga jiwa kita dari rasa iri dan rendah hati bukan pekerjaan mudah. Banyak dari kita sudah menyerahkan jiwanya sebelum sadar akan apa itu jiwa kuat dan mandiri.

Sunday, April 14, 2019

Jejak Gerakan


Perhatikan gerakan di sekelilingmu
Yang berputar maupun yang lurus
Tanyakan gaya yang dibutuhkan
Tulis persamaan agar semua terhubung

Thursday, February 7, 2019

Lupakan Media Sosial


Sudahlah, lupakan media sosial. Hapus akun medsosmu dan tinggalkan dunia maya. Karena kamu tidak butuh sebenarnya angkat jempol teman-teman mayamu: mereka yang pura-pura memberi jempol padahal amat sangat iri dan marah kepadamu. Jangan hidupmu seperti budak yang mengemis meminta puluhan jempol agar harga dirimu melangit. Semurah itukah kamu?

Saya sudah setahun lebih tidak ber-Facebook. Akun Twitter juga saya tutup; toh gak ada yang ngikut. Bodoh amat! Ngapain musingin politik dan akhirnya dikadalin politikus. Presiden ganti atau nggak, saya tetap nguli, ya kan? Ngapain sibuk nyari perkara sendiri berusaha ngejan sampai hampir brojol membujuk, bahkan meyakinkan, orang lain agar sepaham dengan kita. Lebih baik saya fokus ke kegiatan saya sehari-hari.

Hidup saya lebih tenang. Walau kadang saya ingin menyampaikan uneg-uneg saya lewat blog ini. Saya yakin tidak ada yang membaca blog ini. Ini justru bagus, karena blog ini menjadi catatan pribadi saya, yang saya pakai untuk bercermin ke diri sendiri.

Terlebih lagi, orang yang kerap ngomong, nyetatus, komen tidak akan punya waktu untuk berpikir seksama. Orang ini tidak lebih hanya corong suara saja, copas kiri kanan. Apa kamu ingin belajar dari orang seperti ini? Orang yang pintar lebih suka diam karena dia punya kesibukan sendiri dan tidak dengan mudah nge-share pikirannya dengan orang lain. Jadi semakin kita berharap mencari pengetahuan di media sosial, semakin mudah kita menjadi dungu karena informasi yang kita dapat kebanyakan nyampah.

Tidak ada yang gratis di dunia ini. Kalau saya tidak mau bekerja keras memimpin, maka saya akan jadi kambing dungu. Jika kita tidak berpikir sendiri, kita akan mudah tergiring opini orang lain. Giring-menggiring ini lah yang terjadi di media sosial. Sudahlah, lupakan saja medsos!

Sunday, December 16, 2018

Wayang Kulit = Sit up Comedy


Empat bulan terakhir saya punya hobi baru: menonton wayang kulit lewat youtube baik live streaming maupun rekaman. Motivasi saya awalnya untuk belajar bahasa Jawa kromo dan memperkaya perbendaharaan kata Jawa.

Mengikuti percakapan karakter2 wayang kulit butuh konsentrasi tinggi. Pada awalnya cukup sulit buat saya, tapi setelah 2-3 bulan saya mulai terbiasa dengan gaya bahasa dan perbendaraan kata yang dipakai. Karena percakapan wayang kulit ini dilakukan oleh satu dalang, maka saya akhirnya cocok dengan salah satu gaya percakapan dalang tertentu. Yang juga menarik adalah saya akhirnya memilih dalang yang mempunyai selera humor yang sama dengan saya.

Fragmen limbukan adalah fragmen dagelan (humor, pelawak) yang biasanya menjadi waktu intermezzo diantara alur cerita lakon wayang. Sang dalang memasang 1-2 karakter wayang khusus diluar cerita wayang, yang merepresentasi alter ego sang dalang. Di limbukan ini sang dalang mengulas inti acara pagelaran dan lalu mengundang pelawak yang ikut pentas dan juga sinden2 untuk menyanyikan gending2 Jawa.

Secara keseluruhan wayang kulit bisa dibilang acara sit up comedy yang disisipkan di cerita lakon wayang. Percakapan monolog sang dalang menjadi menu utama sit up comedy ini, yang menjelma di percakapan punakawan maupun di sela adu jotos para Kurawa dan Pandawa.

Di sinilah menariknya wayang kulit: dia bisa menjadi bahan belajar psikologi lewat berbagai karakter wayang, sarana hiburan dagelan sit up comedy, saat mendengarkan gending2 Jawa yang dinyanyikan sinden2 ayu. Acara sepanjang 4-6 jam tidak terasa lama karena acara wayang kulit adalah complete entertainment package much more exquisite than opera or symphony orchestra. Bukti keagungan budaya Jawa.

Saturday, December 8, 2018

Beda Insinyur dari Tukang


Minggu lalu saya menegur satu tim proyek skripsi karena kurang sekali menghitung keputusan-keputusan rancang disain mereka. Dari mulai ukuran produk sampai spesifikasi teknik produk yang mereka rancang seperti torsi, tenaga kuda, temperature, dan efisiensi alat konversi energi yang dipakai.

Kolega saya yang ikut menghadiri pertemuan kita dengan tim ini sampai nyeletuk: Kalian perlu menghitung dengan seksama semua yang kalian rancang; jangan seperti tukang. Semenit sebelumnya saya hampir berkata sama, tapi saya urungkan karena saya yang mengajar matakuliah ini. Saya pikir saya tidak bisa berkata agak kasar agar mahasiswa tidak ciut hatinya.

Begitulah beda insinyur dari tukang. Insinyur harus bisa menghitung apa-apa yang dia rancang bangun paling tidak dengan 70% rasa kepercayaan (confidence level). Confidence level ini bisa ditingkatkan dengan memakai perhitungan yang lebih akurat baik memakai komputer atau formula2 matematika fisika yang lebih canggih. Tetap intinya adalah: insinyur harus bisa memprediksi performance dan spesifikasi produk yang dia rancang bangun sebelum membuatnya. Jika ini tidak bisa dilakukan, maka tidak ada bedanya antara insinyur dan tukang.

Saturday, December 1, 2018

Nrimo


Urip sing becik kudu tebeh saking roso sumelang lan kuatir. Pikiran kito toto supados roso kuatir lan sumelang saget diilangaken. Urip nrimo ora podo karo urip tanpo makarya. Urip nrimo sejatinipun sami karo mangertos watesan pikiran lan tindakan kulo.

Tuesday, November 27, 2018

Jalan Hidup


Saya selalu tekankan ke dua anak cowok saya untuk mencari dan memperhatikan minat dan bakat mereka. Minat menentukan apa yang mereka suka lakukan. Bakat menentukan ketrampilan yang mereka perlu asah. Minat dan bakat yang bersatu bakal menentukan jalan hidup mereka.

Dari kecil saya ingin jadi pengajar dan ilmuwan di perguruan tinggi dan dari kecil saya tekun belajar untuk merealisasikan mimpi itu. Saat itu saya berpikir bekerja menjadi profesor sangat asyik karena saya mendapatkan uang hanya dengan berpikir dan menulis. Pekerjaan profesor ini yang menentukan jalan hidup saya sebagai orang yang terus belajar, menulis, dan mencari ide baru untuk dituangkan di karya tulis ilmiah. Pekerjaan ini yang saya sukai dan bisa saya lakukan seumur hidup. Itulah jalan hidup: sesuatu yang tiap kita lakukan dengan senang dan seumur hidup.

Orang yang setia kepada jalan hidup yang sudah dia bina tidak dengan mudah mengubah pekerjaan hanya karena gaji tinggi saja. Saya makanya respek sekali dengan seniman yang teguh kepada seni yang dia kecimpungi, tukang yang selalu belajar untuk mengembangkan ketrampilan mereka, koki masak yang tekun menjaga kualitas makanannya. Orang-orang inilah buat saya yang telah menemukan jalan hidup mereka.

Keteguhan melalui jalan hidup yang sudah kita pilih buat saya nilainya lebih tinggi dari hanya menjadi kaya. Jalan hidup yang kita pegang teguh ini, jika kita serius, akan memberikan filsafat hidup tentang bagaimana kita bersikap dan membina diri dan jiwa kita untuk bekerja lebih baik. Satu contoh buku yang menggambarkan filsafat hidup dari jalan hidup yang dipilih adalah buku The Book of Five Rings karya Miyamoto Musashi.

Thursday, November 22, 2018

Nirmath


Saya tidak suka mengomentari pekerjaan orang lain, apalagi terlibat polemik berkaitan dengan kampanye politik pemilu presiden tanah air tahun 2019. Tapi saya gregetan melihat buzzword Revolusi Industri 4.0 dituturkan berulang kali tanpa pendalaman berarti. Celotehan ini terjadi di kedua belah pihak, walaupun terus terang terlihat pihak mana yang mempunyai orang-orang yang melek pendidikan tinggi.

Keterbelakangan teknologi di tanah air secara fundamental karena lemahnya kemampuan matematika rata-rata. Tenaga kerja lulusan universitas kerap tidak mempunyai kerangka analisa matematis kuat (dan otomatis fisika kuat) yang dibutuhkan untuk mendesain produk baru bermuatan teknologi. Solusi penguatan sekolah vokasi hanya solusi sementara untuk menurunkan angka pengangguran. Lulusan sekolah vokasi setingkat SMK maupun program D3 universitas tidak bisa diharapkan menelorkan produk sarat teknologi karena banyak teknologi yang tersedia di pasar bertumpu pada prinsip-prinsip fisika dan matematika yang tinggi tingkatannya.

Pemerintah akan sekali lagi tidak menggunakan kesempatan keterbelakangan teknologi sebagai motivasi meningkatkan kemampuan sendiri. Pada akhirnya ini akan memperparah ketertinggalan teknologi. Dan perbaikan mutu sekolah vokasi hanya akan terbatas ke menurunkan angka pengangguran belaka.

Wednesday, November 21, 2018

Definisi Kualitas


Hari ini saya diingatkan bahwa diskusi terbaik tentang Kualitas ada di buku Zen and the Art of Motorcycle Maintenance yang ditulis Robert M. Pirsig. Kemarin di kuliah proyek skripsi saya berbicara tentang Kualitas. Ada satu mahasiswa yang teringat oleh buku itu setelah mendengar kuliah saya. Dalam percakapan kita hari ini dia bertanya apa saya tahu buku itu. Tanpa banyak bicara saya ambil buku itu dari rak buku di kantor.

Kualitas itu pada dasarnya Kepuasan Pemakai. Dalam bersepeda motor, pengendara akan merasakan dengan cepat kualitas sepeda motornya karena dia terekspos dengan suara bahkan bau motor. Dia juga akan merasakan tiap getaran yang dihasilkan oleh motor. Dia merasakan hembusan angin, bau rumput, dan tiap benjolan jalan. Mengendarai sepeda motor membuat kita sadar apa itu Kualitas.

Buku yang ditulis Pirsig juga mengupas arti Kualitas dari sudut pandang filsafat. Bahwa sifat-sifat Kualitas tidak pernah atau jarang didiskusikan di universitas. Kita lebih memperhatikan sifat Benar atau Salah dalam menilai satu masalah khusus dengan mengabaikan hubungannya dengan aspek lain.

Kualitas kerap jadinya dihubungkan dengan atribut lain seperti Harga atau Pendapat Umum. Apalagi sekarang di jaman media sosial dimana orang-orang yang berpikiran lemah akan mudah digiring seperti kambing untuk meng-iya-kan apapun yang menjadi trending topic di medsos.

Tuesday, November 20, 2018

Mencari Elok


Dari semua keindahan yang bisa kita nikmati: kecantikan perempuan, keindahan alam, kesempurnaan alam semesta, cuma ada satu keindahan kekal, yaitu keindahan ilmu tentang alam semesta. Ilmu alam tentang alam semesta berupa hukum-hukum fisika yang termuat dalam beberapa saja persamaan matematika. Persamaan-persamaan inilah yang terindah. Bergelut dengan merekalah keseharian saya selalu terasa indah.

Jika pengalaman saya dijabarkan ke berbagai ilmu yang ada di sekeliling kita, cukup saya bilang hidup yang mengejar ilmu, hidup yang diabdikan untuk ilmu adalah hidup terindah. 

Saturday, November 17, 2018

Militansi Mencari


Semua negara maju mempunyai ekonomi yang berbasis teknologi. Untuk mencapai tingkat ekonomi ini setiap negara maju tadi mempunyai ratusan tahun sejarah mengembangkan sains (ilmu pengetahuan) dan teknologi. Canada, tempat saya tinggal, contohnya mempunyai seabad riwayat sains dan teknologi. Contohnya, Ernest Rutherford yang mengerjakan riset di McGill University di awal 1900an dan kegiatan R&D artificial intelligence di University of Toronto.

Fakta butuhnya basis iptek untuk mempunyai teknologi2 yang akhirnya membuat negara kaya tidak usah diragukan. Kalau tidak percaya, bisa saya sarankan kegiatan ini. Pilih satu negara yang menurut anda maju. Lalu tanya mbah Google darimana negara ini mendapatkan kekayaannya (kemajuannya). Kemudian coba cek dari mana asal usul intellectual property yang jadi akar produk dari negara itu. Nah dari sini akan ketahuan korelasi kuat antara kegiatan riset sains and kemajuan negara tersebut.

Kuatnya riset sains di satu negara tapi tidak berarti setiap warna negara harus melek sains. Yang dibutuhkan bukan semua warga negara melek sains; cukup sebenarnya sebagian kecil saja yang melek sains dan mengerjakan R&D sains dengan militan. Yang bisa mengerjakan seperti ini adalah lembaga riset baik swasta maupun pemerintah. Kemudian lembaga riset ini butuh mempunyai sejarah puluhan tahun mengumpulkan orang-orang berkualitas dan mengerjakan riset tertentu dengan cermat dan konsisten.

Jadi yang terpenting adalah (i) kemampuan dan komitmen kuat untuk mengerjakan riset sains dan (ii) critical mass di bidang tersebut. Taksiran kasar saya dibutuhkan sekitar 20an orang di bidang tertentu untuk bisa mendorong bidang riset yang dipilih dan menghasilkan hasil penting.




Musim Gugur


Musim gugur di Calgary berjalan seiring dengan musim dingin. Salju telah mulai datang November dan mulai hilang sekitar April. Tidak berlebihan penduduk Calgary bilang musim dingin di Calgary lamanya 6 bulan.

Apa efek musim dingin 6 bulan? Pertama, dengan bertambahnya umur orang, dinginnya cuaca mempersulit kehidupan sehari-hari dari jalan dan trotoar licin sampai tuntutan kebugaran yang lebih berat. Kedua, buat orang yang lebih suka kegiatan-kegiatan musim panas, tentu berkurang waktu untuk aktivitas-aktivitas tersebut.

Dinginnya udara menambah latensi tubuh. 10 tahun lalu latensi tubuh saya adalah -20 derajat Celcius. Tapi akhir-akhir ini latensi tubuh menjadi -10 C. Toleransi terhadap udara dingin menurun dengan bertambahnya umur.

Friday, November 16, 2018

Jalan Sunyi


Sudah lebih dari setahun saya tidak bermain Facebook dan Twitter. Saya masih punya akun Instagram yang saya pakai untuk menyimpan foto2 yang bisa saya pakai untuk bernostalgia. Selama setahun ini kehidupan sehari-hari saya bisa lebih efisien. Tidak perlu lagi memikirkan komen2 teman dekat dan jauh yang tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari. Tidak perlu lagi melototin foto2 selfie narsis teman2 yang menggambarkan kegembiraan mereka, padahal sudah jelas mempamerkan foto2 ini sebenarnya menggambarkan kesedihan mereka yang butuh pengakuan orang lain untuk eksis.

Bermain Facebook dan Twitter sering membuat saya iri dan marah. Iri karena melihat teman2 yang ketawa ketiwi sementara saya bekerja keras. Marah karena membaca komentar2 yang melukiskan cara berpikir sempit. Dua pikiran ini perlu disingkirkan karena menghambat kreativitas berpikir. 

Newsfeed Facebook dan Twitter yang terus ditayangkan 24/7–jika kita mau berpikir–bertentangan dengan prinsip orang belajar. Jika kita belajar kita perlu membaca dengan seksama dan setelah itu mencerna informasi untuk mengejar target ilmu berikutnya atau mengaplikasi apa yang sudah kita cerna. Sifat interaktif 24/7 Facebook dan Twitter yang mengalir tanpa henti tidak membolehkan kita berhenti sejenak untuk berpikir seksama. Otak kita akhirnya akan dengan mudah terbawa emosi karena dengan semakin banyak netizen yang nimbung dan berkomentar maka kita akan merasa dituntut untuk merespon dengan cepat. Inilah kejelekan Facebook dan Twitter: Kita menjadi tawanan kebodohan orang lain.

Jalan hidup terbaik buat saya adalah Jalan Sunyi. Jalan yang diisi belajar terus setiap hari, yang dituntun oleh naluri saya sendiri untuk mencari apa yang baru. Tanpa butuh diberitahu orang lain. Tanpa butuh keplokan tangan dan ikon jempol orang lain.

Monday, August 21, 2017

BMW R1150R vs. F700GS: Roadster vs. Adventure Touring Comparison



My first motorcycle is BMW 2014 F700GS. I was attracted to the GS models by its reputation as a globe trotter and by many Youtube videos showing how versatile a BMW GS motorcycle was. The R1200GS model was outside the budget I had, so I decided to purchase the 700GS.

Three years fast forward to 2017: The 700GS is exactly what I wanted. It has a fuel mileage of 23 km per liter (or 55 US miles per gallon). It has a good ground clearance of about 19 cm so I don't have to worry hitting a bump or rock when going on dirt road. It is very comfortable and roomy for one passenger; its wheelbase is in fact 6 cm longer than the 1200GS. Its 798 cc engine is adequate and can handle a 120 km/h highway speed at above 4000 rpm in gear 6. It has two large saddlebags (BMW option) and a large top bag (another BMW option). It is a capable adventure touring motorcycle.

I have ridden over 42,000 km over the 3 years owning the 700GS. We have ridden to New Orleans from Calgary and back. Calgary to the southernmost Oregon coastline and back. And numerous times to Vancouver, Nelson, Kamloops, Jasper and anywhere in between. We had experience riding in heavy rain, freezing 4 degree C weather, and the grip heaters are essential for Canadian climate. But I have ridden only once or twice off-road even though I had taken a BMW off-road course.

There are two problems with the 700GS, which I cannot get rid of. The first problem is the seat height. Even though I have gotten used to the 85 cm seat height (using the comfort seat option) from the many trips, I still feel a slight unease whenever I have to make a sudden stop in a two-up (with a passenger) riding. I am 5 feet 7 inches tall (170 cm). 

The second problem is the 75 hp peak power at 7300 rpm and is more serious for me. I learn that I like speed and don't enjoy riding in a pack. Whenever I'm riding behind a vehicle I would get sleepy soon and lose my alertness. Whenever I'm being followed by a vehicle I feel like leaving it way behind. I'm always reluctant to run the engine at higher than 4000 rpm because of sooner engine component fatigue consequence. The engine sound also changes above 4000 rpm to a whine from a quiet growl at lower than 4000 rpm.

Doing a quick calculation on the required horsepower to counterbalance the drag force I found about 35 hp power requirement for a 120 km/h cruising speed. This is the main reason why the 700GS feels underpowered when facing headwind, like when I rode on I-84 westbound heading to Portland in July.

From the motorcycle perspective, the 700GS power is not that great and the tall seat height can be sometimes uneasy for me. From my riding habit perspective, I'm not really an off-road enthusiast. I find distance and speed are more alluring than dirt roads. I like going far and long. 

Regardless for off-road or not, I used three criteria when assessing a motorcycle: (i) fuel economy, (ii) power, (iii) luggage and passenger capacity. On these counts, the 700GS wins 2 out of 3: it lacks power, but it is great on fuel economy and is surprisingly roomier (due to a longer wheelbase) than R1200GS for a motorcycle 30% cheaper than the 1200GS.

But a fourth criterion showed itself up when I replaced the 2 spark plugs of the 700GS after we came back from the Oregon trip last month. Because of the side-by-side vertical geometry of its twin cylinders and the location of the gas tank under the seat, the usual location of gas tank, i.e., the space behind the front fork, is used for battery and air filter housing. It still looks like a gas tank, but it's a combination of 3 body panels that cover the battery and the air filter housing. Only after removing the body panes, the battery, and the housing was I finally able to reach the spark plugs which are each located at the bottom of about 10-cm-deep hole. The fourth criterion that I have to account for is serviceability, and on this count the 700GS receives a D grade. 

The ultra-hidden location of the valve cover also means that it is very difficult to perform an engine valve tolerance (adjustment) check required every 20,000 km by BMW manual. All of a sudden the 700GS is not as reasonable as it was. Granted, the space typically reserved for a gas tank is efficiently used by BMW engineers to store battery and air filter housing, but it's unreasonable to displace the radiator unit just in order to remove the valve cover. 

If instead four criteria are used: (i) fuel economy, (ii) power, (iii) luggage (and passenger) capacity, (iv) serviceability, the 700GS is now split at 2-for-2: Good fuel economy and large luggage capacity, but awful serviceability and lacklustre power. This was when I decided to shop for another motorcycle. I need a more serviceable machine that the 700GS if I want to ride it to Mexico and beyond. I need a simpler motorcycle.

So now other motorcycles started to show their appeals. I've test ridden Yamaha FJR1300 and Super Tenere, and they both have inline four and twin engines, respectively. Although they are great for power and luggage capacity, their fuel economy is marginal at a maximum 50 mpg for Tenere and low-40 mpg for FJR. I especially like FJR, but its body is covered by fairing, which makes me wonder what would happen if I ever drop an FJR. Their serviceability is questionable as well because of the vertical engine geometry, even though I'm aware that Yamaha is the most reliable motorcycle brand in the market. I considered Triumph T100 and T120 Bonneville but ruled them out because of the small luggage capacity and poor passenger seat position due to their slab seat.

When I think more about serviceability, I arrived at a conclusion that a motorcycle with simpler engine and electronics was what I wanted all along. I want to service it myself: oil change, spark plug change, air filter change, tire change, chain-sprocket change, valve adjustment. Save for engine repair, I pretty much want to do my own service and repair. I find it satisfying to have done them myself and good to know in case I get stranded in the middle of nowhere. Consequently, I prefer an older model, and if new, then I prefer a standard (naked, roadster) model. Honda has CB1100EX, which looks beautiful, but it doesn't accommodate a passenger well and doesn't seem ready to carry a lot of luggages.

The best serviceability is obtained from an open engine geometry and also prefers a naked (standard) cycle. There were two motorcycles that caught my attention: (i) BMW boxer engine and (ii) Moto Guzzi transverse V-twin. I test rode Moto Guzzi V7 and was interested in its V9 Roamer. The V7 felt old-school: rather imprecise but with gusto. I spotted a problem with Moto Guzzi though: Unless I pick the larger models, the V7 and V9 models don't have a large luggage capacity. That killed the deal with Moto Guzzi since I wasn't interested in its cruiser California model or adventure touring Stelvio. I couldn't find a naked model from Yamaha, Suzuki, and Kawasaki with an old-school look. Yamaha Bolt wouldn't work since it doesn't have a large luggage capacity.

So -interestingly enough- I'm back to BMW. I could not afford a new R1200R and was less interested in its touring R1200RT model since it's even more expensive. I wasn't interested in the GS model anymore as I now know I won't be using a GS for an epic off-road trip.

So the solution is an older BMW roadster model. Its boxer engine offers accessible valve covers to change spark plugs and do periodic engine services, such as valve adjustment. It has a shaft drive, which eliminates a 1000-km periodic cleaning and lubrication of chain and sprocket. 

I bought a second-hand BMW 2003 R1150R model. It has less than 10,000 km and -more importantly- it is an air and oil cooled engine. A water-cooled engine of the same cc size gives out more power than an air-cooled, but I think for most road use I don't need a motorcycle with more than 90 hp. Does it satisfy the four criteria I set out?

(i) Fuel economy: 47 (US) miles per gallon, or 20 km/litre. It's a 15% reduction over that of the 700GS. 

(ii) Power: 85 hp. It's a 13% power increase over the 75 hp of 700GS. So criteria (i) and (ii) even out between R1150R and F700GS.

(iii) Luggage capacity: 217 kg total payload. F700GS has 227 kg total payload. They're practically identical. My wife will be equally happy to be a passenger on either motorcycle.

(iv) Serviceability: I expect it will take half an hour to replace spark plugs. I spent 4 hours when first time replaced F700GS spark plugs if all steps were followed correctly. R1150R beats F700GS. Oil change and air filter change are similar. One less thing to worry though in R1150R: no water pump, no engine coolant radiator.

As a bonus: R1150R is equally capable on dirt roads. I have tried riding it standing up on gravel roads. No problem. It's not an adventure touring motorcycle, but a roadster is a good solution for those who enjoy occasional dirt road encounters. R1150R has about 15 cm ground clearance, and that is enough for me.

I note that there are not many roadster motorcycles that treat a passenger seriously. Most of them have slab seats with the exception of BMW roadsters (R1150R, R1200R). I think the non-BMW motorcycle manufacturers miss out on riders' profile like me: Those who enjoy road more than dirt road and want to ride in a roadster with a passenger.