Wednesday, May 1, 2019

Harga Diri



Dalam berkelakuan kita kerap menampakkan harga diri (ego) kita lewat beberapa manifestasi. Refleksi pemikiran ini datang saat saya menghadiri rapat kampus dan mendengar teman-teman saya berbicara dan tanpa sadar membuka kedok mereka sendiri. Baiklah saya mulai. Kualitas terendah penampakan harga diri adalah sandang yang memamerkan kita siapa. Di atas lebih sedikit dari yang terendah ini adalah berbicara lantang apa-apa yang kita punyai dan lakukan tanpa ada yang menanyakan. Kedua kelakuan ini sepantasnya hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak berpendidikan. Karena dual hal ini sepatutnya hanya jadi pertanda (signal) adanya orang-orang seperti ini di sekeliling kita.

Di atas kedua kelakuan ini ada beberapa tingkatan penampakkan harga diri yang biasanya dilakukan oleh orang-orang berpendidikan tinggi. Tingkat ketiga adalah sikap cepat menyalahkan pendapat dan ujaran orang lain tanpa diminta. Saya terkadang melakukan ini, mungkin karena karakter guru yang sudah melekat puluhan tahun. Kelakuan ini tapi sebaiknya kita hindari karena kontraproduktif dalam berkomunikasi dengan siapapun. Bukannya orang yang kita ajak bicara membuka diri, tapi malah dia ngacir menjauh karena takut, segan, atau muak untuk melanjutkan percakapan. Jika pun yang kita ajak bicara sebenarnya perlu tahu diri untuk tutup mulut secepatnya, perasaan ini sebaiknya disimpan di hati.

Tingkat keempat adalah bertutur memakai sinisme atau sarkasme. Sinisme adalah cara berbicara yang meragukan maksud implisit ujaran orang lain. Sinisme tidak langsung menyalahkan orang lain; sinisme tidak menyalahkan apa yang tersurat, tapi meragukan maksud dan tujuan apa yang diomongkan. Contoh sinisme: "Sudahlah tak usah ribut hasil quick count pemilu, toh kita tetap aja kerja dan miskin." Yang diragukan di sinisme ini adalah niat membangun negara dengan hasil pemilu. Sarkasme adalah cara berbicara dengan memberikan counter-example untuk menyalahkan omongan orang lain. Contoh sarkasme: "Dulu kamu sekolah tinggi-tinggi ke luar negeri, eh ternyata cuma jadi tukang masak." Counter-example yang diberikan contoh sarkasme ini membandingkan "sekolah luar negeri" dan "tukang masak" seolah-olah mereka tidak bisa berada di satu kalimat. Sarkasme melukiskan ironi: dua hal nyata yang awalnya tidak bertolak belakang, tapi dengan sarkasma dijadikan bertolak belakang.

Kita kerap tanpa disadari memakai sinisme dan sarkasme di percakapan sehari-hari. Keduanya bisa berfungsi jadi lelucon, sindiran halus, olok-olok, dan hinaan tergantung konteks keduanya diucapkan. Berlatih mengurangi sinisme dan sarkasme butuh latihan berpikir dan rasa. Sukar tampaknya buat saya menghilangkan sinisme dan sarkasme, tapi paling tidak saya kurangi atau perhalus agar hanya yang berpikir saja yang paham saya memakai sinisme dan sarkasme.

Menampakkan harga diri lewat keempat cara ini terkadang diperlukan untuk menohok orang lain yang tidak merasakan ada yang kurang di dalam dirinya. Tapi tetap lebih baik jika saya berdiam diri dan tidak merasa terganggu maupun perlu merespon setiap ujaran orang lain. Tanpa orang itu meminta pendapat saya, sebaiknya saya tetap diam dan fokus ke kegiatan terpenting saya saat itu.

No comments:

Post a Comment