Friday, November 16, 2018

Jalan Sunyi


Sudah lebih dari setahun saya tidak bermain Facebook dan Twitter. Saya masih punya akun Instagram yang saya pakai untuk menyimpan foto2 yang bisa saya pakai untuk bernostalgia. Selama setahun ini kehidupan sehari-hari saya bisa lebih efisien. Tidak perlu lagi memikirkan komen2 teman dekat dan jauh yang tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari. Tidak perlu lagi melototin foto2 selfie narsis teman2 yang menggambarkan kegembiraan mereka, padahal sudah jelas mempamerkan foto2 ini sebenarnya menggambarkan kesedihan mereka yang butuh pengakuan orang lain untuk eksis.

Bermain Facebook dan Twitter sering membuat saya iri dan marah. Iri karena melihat teman2 yang ketawa ketiwi sementara saya bekerja keras. Marah karena membaca komentar2 yang melukiskan cara berpikir sempit. Dua pikiran ini perlu disingkirkan karena menghambat kreativitas berpikir. 

Newsfeed Facebook dan Twitter yang terus ditayangkan 24/7–jika kita mau berpikir–bertentangan dengan prinsip orang belajar. Jika kita belajar kita perlu membaca dengan seksama dan setelah itu mencerna informasi untuk mengejar target ilmu berikutnya atau mengaplikasi apa yang sudah kita cerna. Sifat interaktif 24/7 Facebook dan Twitter yang mengalir tanpa henti tidak membolehkan kita berhenti sejenak untuk berpikir seksama. Otak kita akhirnya akan dengan mudah terbawa emosi karena dengan semakin banyak netizen yang nimbung dan berkomentar maka kita akan merasa dituntut untuk merespon dengan cepat. Inilah kejelekan Facebook dan Twitter: Kita menjadi tawanan kebodohan orang lain.

Jalan hidup terbaik buat saya adalah Jalan Sunyi. Jalan yang diisi belajar terus setiap hari, yang dituntun oleh naluri saya sendiri untuk mencari apa yang baru. Tanpa butuh diberitahu orang lain. Tanpa butuh keplokan tangan dan ikon jempol orang lain.

No comments:

Post a Comment