Friday, February 22, 2013

Pesan Buat Orang Pandai


Tidak ada orang yang ingin bodoh, jelek, atau miskin. Kita ingin paling tidak dapat salah satu: pandai, rupawan, atau kaya. Ada dari kita yang sudah pandai, rupawan, atau kaya sejak lahir; bahkan ada pula yang punya ketiganya sekaligus walau ini amat sangat jarang. Lalu banyak orang bilang mereka yang pandai, rupawan, atau kaya itu sungguh beruntung.

Mereka yang bilang seperti itu sebenarnya mengungkapkan rasa ingin bernasib sama. Kasarnya, mereka iri. Karena mereka yang rupawan, pandai, atau kaya tidak begitu merasa beruntung, bahkan kerap merasa dikutuk dengan kelebihan mereka.

Karena saya sering main ke kampus, saya cukup mengerti karakter orang-orang pandai. Bisa dibilang rata-rata mereka berkarakter pendiam dan terkesan pemalu dan bahkan penakut karena mereka sering tidak mau bertengkar dengan orang lain. 

Kepandaian menyebabkan orang pandai lebih suka menyibukkan dengan dirinya sendiri. Orang pandai jarang merasa bosan dengan dirinya sendiri. Tidak percaya? Lihat saja sekelilingmu: Yang suka menggunjingkan orang lain biasanya yang bodoh. Orang pandai tidak membutuhkan orang lain untuk membuat kesibukan. Mereka bisa baca buku, menulis, berpikir; otak mereka independen dan beraktifitas sendiri.

Suka sibuk sendiri ini ada kelemahannya. Yang paling menyolok adalah orang pandai kurang suka uang. Kok bisa? Karena uang baru mengalir jika berinteraksi dengan orang lain. Contoh ekstrem adalah Albert Einstein, Richard Feynman, dan mereka yang memenangkan Hadiah Nobel Fisika dan Kimia. Dari biografi mereka, saya tidak ingat ada satu pun dari mereka ini yang kaya raya. Mereka sudah sangat gembira menyibukkan diri dengan rumus-rumus fisika dan percobaan-percobaan kimia, dan menjadi pionir ilmu pengetahuan. Satu contoh lagi: matematikawan, Grigory Perelman, menolak hadiah 1 juta dollar walaupun sudah membuktikan Poincare Conjecture – salah satu problem matematika terumit. Grigory Perelman menyukai kebebasannya dan tidak setuju dengan keputusan panitia Fields Medal karena dia berpendapat ada matematikawan lain yang berhak sama tapi tidak menerima hadiah. Orang-orang ini spesial karena mereka berprinsip dalam hidup.

Warren Buffet dan Bill Gates adalah anomali: mereka pandai dan kaya raya. Kebanyakan orang kaya tapi bukan orang pandai. Mereka cerdik – don't get me wrong – tapi mereka butuh orang lain untuk menjadi kaya raya. Orang-orang kaya yang tidak pandai ini banyak contohnya; kita tinggal lihat daftar koruptor-koruptor Indonesia sebagai buktinya.

Kepandaian itu bisa seperti kutukan karena kepandaian itu berkecenderungan terbang sendiri, sementara kebutuhan keluarga sering bertolak belakang. Mereka yang pandai sekali bisa berkarya gemilang jika hidup sendiri. Walau konsekuensinya adalah hidup miskin, orang ultra-pandai biasanya tidak berkeberatan. Orang pandai yang berkeluarga harus berkompromi karena harus mencari uang. Jika proses kompromi tidak berjalan mulus, kepandaian akan menjadi kutukan.

Banyak akhirnya orang-orang pandai yang dimanipulasi oleh orang-orang kaya karena banyak orang pandai yang kurang pergaulan dan ternyata uang lebih banyak berguna dari kepandaian. Kepandaian itu sukar ditularkan, sementara semua orang butuh uang. Orang-orang pandai yang kuper tapi butuh uang akhirnya bersikap setengah-setengah. Mereka butuh uang tapi tidak mau aktif mencari uang sendiri karena sudah berkebiasaan sibuk sendiri dan enggan berhubungan dengan orang lain.

Pesan saya buat orang pandai: Cintailah uang seperti mencintai keluargamu. Kepandaianmu tidak akan luntur jika kamu cinta uang. Jangan alergi dengan uang karena jika kamu kaya raya bukan berarti kamu bodoh. Karena dengan uang, kamu bisa melakukan dengan bebas semua impianmu. Termasuk merealisasikan ide-ide mulia yang ada di kepalamu. Bukankah lebih baik jika orang pandai yang menjadi kaya raya?

Thursday, February 14, 2013

Makna Beragama


12. Inti pemikiran tiga blog sebelumnya: Ongkos Beragama, Paradoks Beragama, dan Kebebasan Beragama adalah agama adalah bagian budaya karena klaim beberapa agama akan adanya surga neraka tidak berlandaskan fakta, sehingga bisa dipastikan semua agama adalah hasil pemikiran manusia. Agama adalah produk inovasi budaya sang pendiri agama tersebut.

Produk inovasi budaya ini menawarkan servis dan perangkat administrasi yang tetap laku sampai sekarang. Di jaman dulu, agama menjadi alat pemersatu politik dan ekonomi karena saat itu kedua bidang ini belum berkembang sendiri.

Di jaman sekarang, agama tersudutkan menjadi salah satu industri servis. Ada channel teve dan stasiun radio untuk siaran rohani, perjalanan wisata rohani dan ibadah, organisasi agamis besar dan kecil, dan sebagainya. Mengapa bisa laku terus? Karena motivasi terbesar untuk beragama adalah rasa takut akan kematian. Rasa takut ini wajar karena kita merasakan enaknya hidup – makanan sedap, sanjungan bawahan, orgasme seks, uang berlimpah, kasih sayang keluarga – dan sadar bahwa kenikmatan hidup ini akan lenyap jika kita mati.

Agama-agama ini tetap bisa mencerahkan pemikiran kita jika kita kritis. Kebanyakan orang tapi memilih arti literal yang tertulis di kitab-kitab suci mereka. Ajaran yang berisi banyak kisah dan kiasan menjadi stagnan karena interpretasi literal. Jika seperti ini, agama tidak menghidupkan, tapi mengkerdilkan hakikat manusia.

13. Mati itu sendiri sunyi. Kita sirna dari hiruk pikuk dunia dan pergi entah kemana. Kematian itu tidak nyaman karena kita tidak tahu apa yang terjadi setelah kita mati. Parahnya, kita tidak akan pernah tahu apa itu mati selama kita masih hidup.

Karena kita merasa gamang bahwa yang hidup pasti mati, kita berharap untuk hidup selamanya. Rasa takut yang menghinggapi kita luar biasa kekuatannya. Segala daya upaya kita lakukan untuk menentramkan hati kita yang gundah.

Jika kita memakai akal sehat, bisa langsung kita simpulkan bahwa kematian itu alami adanya. Semua yang hidup harus mati. Kita tidak tahu setelah kita mati karena panca indera kita sudah mati.

14. Rasa takut akan kematian menyebabkan kita bertindak tidak masuk akal, seperti percaya akan surga neraka walaupun tidak ada bukti empiris. Kita takut karena kita tidak mengerti. Tabir pengertian ini baru bisa disingkap jika kita belajar mengenal alam semesta lewat sains.

Sebagian besar kita tapi memilih untuk mempercayai sesuatu – agama biasanya – untuk membuat kita merasa tentram tanpa pernah mengerti.

Hasrat bertanya tentang alam semesta dan kehidupan sudah tumbuh dengan sendirinya di diri kita. Ada dua penghalang agar hasrat ini berkembang dengan baik: (i) kita tidak mempunyai ilmu dan guru yang bisa membimbing dengan baik atau (ii) hasrat ini dipadamkan oleh metode pengajaran agama yang menakut-nakuti kita akan surga neraka.

Kesadaran akan kematian semestinya tidak membuat kita takut mati, melainkan membuat kita cinta hidup. Setiap detik kita hidup perlu memberi arti. Jika kita sudah mengisi waktu hidup kita dengan baik, kenapa kita harus takut mati, apalagi peduli kemungkinan hidup setelah mati?

Makna hidup jadi terletak di apa yang kita perbuat selama hidup, sebelum kita mati. Bukan untuk menyongsong hidup baru setelah mati. Bukan untuk berharap surga setelah mati. Tapi untuk hidup yang kita hirup sekarang. Karena setelah yang satu ini, tidak akan ada lagi.

15. Makna beragama buat saya akhirnya adalah kita harus berilmu agar kita paham bagaimana alam semesta ini bekerja dan bisa memutuskan langkah hidup kita dengan akal sehat. Beragama berarti berilmu karena agama sebenarnya berfungsi untuk mengisi otak kita dengan kerangka pemahaman alam semesta, walaupun sebagian kerangka pemahaman agama tidak bisa dibuktikan secara independen dan empiris.

Jika kita memandang agama sebagai kerangka statis, kita biasanya cenderung memakai agama sebagai selimut untuk melindungi kita dari rasa takut akan kematian. Kerangka pemikiran kita jadinya sama dengan milik orang yang hidup ribuan tahun lalu. Ini sesungguhnya akibat kebodohan kita sendiri.

Makna beragama adalah hidup berilmu dan memakai ilmu ini untuk menjadi lebih baik. Ilmu ini tidak harus dari agama. Ilmu yang lebih konsisten dan teruji empiris and independen justru diberikan oleh sains dan matematika, selain juga dari sejarah dan psikologi. Ilmu yang lain – seperti musik dan sastra – mengasah kepekaan otak kita.

Kebodohan akhirnya tidak ada bedanya dengan tidak beragama. Hanya dengan berilmu kita bisa memadamkan rasa takut kita akan kematian.

Dengan berilmu kita bisa dengan independen dan otentik mencari nafas spiritualitas kita. Dengan berilmu kita mencari arti hidup di tengah alam semesta ini.

Sunday, February 10, 2013

Kebebasan Beragama


9. Dari 2 blog sebelumnya: Ongkos Beragama dan Paradoks Beragama bisa disimpulkan (i) tidak ada bukti empiris adanya surga neraka dan (ii) tidak ada agama yang bersifat universal karena agama adalah bagian budaya. Keputusan memeluk satu agama tertentu tidak berhubungan dengan kebenaran yang diklaim agama itu. Keputusan agama mana yang kita peluk ditentukan oleh pola pikir dan keuntungan yang ingin kita dapatkan, atau hanya karena orang tua beragama yang kita punyai sekarang.

Nenek moyang kita sudah mendirikan agama-agama pribumi. Karena raja dan sultan yang berkuasa waktu itu berpindah ke agama-agama yang diimpor dari tanah seberang, maka kita semua – rakyat biasa – ikut pindah berbondong-bondong ke agama-agama impor ini. Sesederhana itu proses kepemelukan agama yang kita punyai sekarang. Jadi jangan kita mudah percaya agama kita adalah yang paling benar. Agama yang kita peluk sekarang sebenarnya adalah pertanda kita bukan bangsa yang berkarakter kuat dan bangga dengan budaya kita sendiri.

10. Bangsa-bangsa yang memiliki jati diri mandiri tidak mudah menelan mentah-mentah agama-agama impor. India dan Saudi Arabia memiliki agama pribumi, demikian pula dengan Cina. Jerman, Jepang, Inggris, Amerika Serikat, Itali mengimpor agama-agama, tapi mereka tidak menerima mentah-mentah. Mereka dengan bebas memodifikasi agama-agama impor ini agar cocok dengan budaya mereka. Hanya dengan proses asimilasi proaktif seperti ini, agama-agama impor ini bisa ditaklukkan untuk tunduk kepada keinginan kita. Jika tidak, selamanya kita akan menjadi budak budaya; ini yang sekarang terjadi di tanah air.

Kita memilih disuapi konsep-konsep asing – surga neraka, pahala dosa, hari kiamat – daripada mencari dan mengolah agama-agama pribumi yang sudah kita miliki. Kita mau saja menerima klaim bahwa agama-agama pribumi kita terbelakang dan dengan sukarela memeluk agama-agama impor yang mengklaim mutakhir dan universal. Kita lupa bersikap kritis dan bertanya. Sampai sekarang kita masih membayar kealpaan intelektual pendahulu kita. Ongkos beragama yang kita pilih adalah amat sangat mahal.

11. Saya bedakan antara adanya surga neraka dan adanya Tuhan. Walaupun secara akal sehat tidak ada bukti empiris yang mendukung adanya surga neraka, masih perlu dikupas lagi apa tidak adanya surga neraka berarti juga tidak adanya Tuhan. Ini akan saya lakukan di blog berikutnya.

Yang cukup gamblang sekarang adalah makna kebebasan beragama. Karena agama adalah produk budaya, maka setiap orang berhak memilih agama yang dia maui atau tidak memilih agama apa pun. Kebebasan beragama atau tidak beragama harus didukung karena budaya kita akan berkembang.

Karena tidak ada agama yang universal, maka yang universal adalah proses pencarian spiritualitas untuk diri kita sendiri. Hasrat pencarian ini ada di tiap sanubari kita, tapi kita padamkan saat kita menelan mentah-mentah konsep-konsep agama yang dicekokkan dari sejak kecil.

Kenapa proses pencarian ini ada? Karena kita ingin menjadi orang baik. Kenapa ingin menjadi orang baik? Karena kita ingin dicintai orang-orang yang kita cintai. Kenapa kita ingin dicintai? Karena kita ingin hidup damai. Menjadi orang baik dan dicintai, dan menikmati hidup damai, itu tidak gampang. Makanya kita butuh inspirasi setiap hari. Kita butuh koneksi dengan alam semesta. Ini yang saya maksudkan dengan spiritualitas: kesadaran bahwa alam semesta bergerak bersama kita dan mengalami perubahan bermakna saat kita menjadi baik.

Saturday, February 9, 2013

Paradoks Beragama


6. Di blog sebelumnya, Ongkos Beragama, saya sampaikan bahwa tidak ada bukti empiris adanya surga neraka. Keberadaan surga neraka juga sukar diterima akal sehat karena ruh itu apa, lokasi surga neraka itu dimana, dan cara ruh mencapai surga neraka tidak bisa dijelaskan memakai akal sehat.

Alasan masuk akal untuk membayar ongkos beragama akhirnya mengerucut ke satu saja: mempertahankan tradisi orang tua. Mempertahankan tradisi keluarga akan sangat mahal jika sang anak tidak mau mematuhi perintah orang tua untuk memeluk agama sama. Keutuhan keluarga bisa pecah setelah pertikaian agama dalam keluarga; ini patut disayangkan karena disebabkan oleh sesuatu yang masih spekulatif kebenarannya.

7. Karena masuk ranah tradisi, agama menjadi bagian budaya masyarakat. Agama menjadi identitas yang bisa dibanggakan atau disembunyikan, tergantung golongan mana yang sedang di atas angin. Kalau orang tua kita beragama mayoritas, maka kemungkinan besar kita merasa menjadi bagian manunggal masyarakat. Kita bahkan bisa merasa lebih benar dari pemeluk agama-agama minoritas. Jika kita belajar sejarah, kita mestinya sadar kenapa kita merasa lebih benar. Yang pasti bukan karena agama kita lebih baik dan benar dari yang lain.

Yang tragis adalah kita membuang budaya sendiri hanya karena kita impor agama produk budaya lain. Saya bilang tragis karena jika agama yang kita impor ini mengklaim sebagai agama universal, seharusnya agama ini dengan mudah mengadopsi budaya kita. Disinilah paradoks pertama beragama: kita dipaksa untuk meninggalkan budaya nenek moyang kita sendiri – mulai dari cara berpakaian sampai bertutur kata – karena memeluk agama yang mengklaim universal. Agama yang kita anut akhirnya menuntut kita untuk meninggalkan identitas nenek moyang kita, yang sebenarnya juga orang tua kita.

Kesemuanya ini untuk menenangkan rasa takut akan surga neraka yang sebenarnya adalah konsep asing di budaya nenek moyang kita sendiri. Bagaimana kita bisa takut akan sesuatu yang semestinya bisa kita rasakan sendiri tanpa harus diberitahu pembawa agama impor ini? Jika surga neraka memang benar adanya dan diciptakan oleh yang menguasai alam semesta ini, mengapa kita harus diberitahu produk budaya lain akan hal yang sejatinya bersifat universal? Apa kita memang bangsa bodoh dan minder?

8. Paradoks kedua beragama adalah semakin tinggi tuntutan kepatuhan agama tertentu, semakin yakin kita merasa agama ini universal. Keyakinan kita ini melawan akal sehat kita sendiri karena semestinya agama yang universal bisa menerima siapa saja. Agama yang universal semestinya sangat luwes dan penuh kasih sayang. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya.

Satu alasan utama kenapa kita mau melakukan berbagai ritual yang diminta agama kita – yang berarti ongkos beragama kita sangat mahal – adalah keinginan kuat kita untuk terselamatkan dari rasa takut. Dari keuniversalan yang membuat kita tertarik ke agama tertentu muncul eksklusivisme yang sebenarnya bukan karakter sesuatu apapun yang mengklaim universal. Kita berlomba untuk menjadi lebih alim dari teman kita. Kita pancarkan aura kealiman ke sekitar kita dengan tutur kata dan cara berpakaian yang bersifat eksklusif. Kita sangat bangga menjadi bagian golongan yang berada di jalan benar, universal, dan eksklusif.

Kecenderungan untuk menjadi eksklusif sangat aneh buat saya dan meyakinkan saya bahwa beragama adalah fenomena perilaku manusia belaka.

Thursday, February 7, 2013

Ongkos Beragama


1. Beragama buat banyak orang menjadi keharusan karena beberapa alasan: (i) mempertahankan tradisi orang tua, (ii) merasa tanpa pegangan jika tidak beragama, (iii) asuransi kematian untuk kemungkinan adanya surga neraka. Alasan beragama agar berakhlak mulia tidak berlandaskan bukti empiris karena banyak orang beragama berakhlak bejat. Juga banyak orang tidak beragama tidak berakhlak bejat.

Belum pernah saya bertemu orang beragama yang murni berdasarkan cinta dalam arti menjalankan perintah agama tanpa mengharapkan pahala. Jadi omong kosong ada orang bilang keputusan beragama tidak berlandaskan perhitungan untung rugi.

Wajar jika kita berpikir sejenak ongkos beragama. Hampir semua orang beragama beranggapan ongkos beragama murah dibandingkan risiko benar adanya surga neraka. Anggapan ini yang ingin saya sanggah sekarang.

2. Tulang belulang mayat-mayat yang ada di kuburan tetap berada di situ ribuan tahun. Jika kita percaya ada ruh yang terlepas dan melayang dari mayat untuk menemui penciptanya, sah buat kita untuk bertanya kemana ruh ini pergi. Alam semesta ini luas dan jika surga neraka ada di salah satu sudutnya, bagaimana ruh bisa terbang kesana? Kemudian kita juga perlu bertanya dari materi apa ruh itu berasal. Apa ruh ini seperti cahaya? Jika memang demikian, tentunya ruh ini bisa diukur energi dan momentumnya. Saya belum pernah membaca bukti empiris adanya ruh; yang ada cuma klaim tanpa bukti empiris.

Singkatnya, adanya surga neraka tidak bisa dibuktikan. Jika kita bersikap obyektif, sebenarnya tidak ada landasan fakta untuk mempercayai adanya surga neraka. Logika pembuktian adanya surga neraka akhirnya berputar-putar saja karena tidak ada bukti empiris.

Kita wajar berharap bahwa ada informasi lengkap tentang surga neraka – jika memang ada – yang ditinggalkan oleh pembuatnya, apalagi untuk masalah sepenting hidup dan mati. Tapi informasi atau manual ini pun tidak diberikan dengan gamblang agar mudah dimengerti. Akhirnya kita dibiarkan bermain tebak-tebakan dari dulu sampai sekarang. Tidak adanya informasi gamblang ini bisa menjadi alasan kuat untuk memutuskan surga neraka adalah mitos belaka.

3. Investasi beragama jadinya bersifat sangat spekulatif karena tidak berlandaskan bukti empiris. Tidak adanya bukti empiris ini pun masih membuat kita enggan untuk menolak adanya surga neraka. Bisa disimpulkan investasi beragama dilakukan karena dilandasi rasa takut. Ongkos beragama bisa dianggap sebagai berbanding lurus dengan rasa takut kita. Kita mau membayar ongkos beragama jika kita semakin takut akan masuk neraka. 

Rasa takut ini bisa dieksploitasi oleh penjaja ajaran agama. Rasa takut kolektif kita membuat beberapa organisasi agama menjadi sangat kaya raya. Rasa takut ini menjadikan kita masyarakat terjajah karena agama di tatanan sosial selalu menjadi alat manipulasi dan kontrol.

4. Dari ketiga alasan beragama di atas, yang masih didukung bukti empiris adalah alasan pertama: mempertahankan tradisi orang tua. Menurut saya, disinilah kunci memahami fungsi agama. Agama adalah bagian budaya masyarakat sehingga tidak ada satu agama yang lebih baik dari yang lain. Semakin rasional satu masyarakat, semakin dia tidak butuh agama.

Adanya agama bukan bukti adanya surga neraka. Adanya agama adalah bukti manusia membutuhkan rasa aman.

Ongkos beragama karena alasan pertama juga karena rasa takut diasingkan oleh masyarakat. Ini menarik untuk disadari karena setiap pendiri agama awalnya dimusuhi oleh atau mengasingkan diri dari masyarakat tempat dia berasal.

5. Ongkos beragama bisa sangat mahal jika kita harus bepergian jauh agar kita merasa aman dari siksa neraka. Ongkos beragama bisa berupa waktu berjam-jam tiap hari agar kita merasa dijauhkan dari api neraka. Buat sebagian orang, ongkos ini wajar karena hakikatnya menenangkan rasa takut yang ada di hati kita.

Monday, January 21, 2013

Malam Kekal


Malam tak pandai mengekang
Birahi segan pudar lekang
Dingin terkutuk butuh teman

Aku nyerah pejamkan mata
Besok kerja ini lanjut itu
Sepi malam bertambah liar

Aku hujamkan bertubi-tubi
Bulan keparat senyum bisumu
Aku puas lekas binasa

Sepi malam penuh muslihat
Mau tak mau kubenci siang
Karena malam selalu kekal

Saturday, January 19, 2013

LaCoste Gravimeter


LaCoste gravimeter is a portable instrument used to measure gravitational acceleration. It is used in oil and gas exploration. A schematic diagram of the LaCoste gravimeter is shown above. Its components are relatively simple: a rod of length l, a spherical test mass of mass m, and a spring with a spring constant k.

The gravitational acceleration is measured by the slight rotation of the rod. The entire assembly must be calibrated when in static equilibrium. For this reason, it is a relative gravitational measurement system.

One can perform a dynamics analysis to find the equations that relate the rod deflection to the gravitational acceleration felt by the test mass and to the amount of stretch the spring experiences. This can be done simply by assuming a massless rod, a massless spring, and no relative motion at the contact point C between the rod and a support mechanism attached to the vertical wall.

A more detailed - thus realistic - analysis, however requires that one pay attention to

1. Relative motion at the contact point C. This will contribute to the energy dissipation by the torque and the sliding at the contact point.

2. The mass of the spring. As the spring deforms, its centre of mass changes and thus has its own kinetic energy.

3. The mass of the rod. As the rod rotates, it has its own kinetic energy and potential energy.

Such detailed analysis will prove complicated using Newton's laws of motion since the considerations for the energy conservation and mechanical forces acting on the system become separate. One needs also to pay attention to the angular momentum of the sytem. A better way is to use Lagrangian mechanics.

Friday, January 18, 2013

Nasi Liwet Bu Wongso Lemu


Sejak kecil, saat liburan Hari Raya di kota Solo, saya pasti diajak makan nasi liwet Bu Wongso Lemu di jalan Keprabon, tidak jauh dari kraton Mangkunegaran. Warungnya sederhana sekali dan terletak di pinggir jalan. Kita duduk lesehan di malam hari. Ditemani temaram lampu minyak.

Bapak saya cerita Bu Wongso ini punya prinsip berjualan yang tidak memaksa dirinya melebihi batas yang dia rasakan. Jika jualan sudah habis, ya warung Bu Wongso ini tutup. Tutup lebih awal tak masalah walaupun yang antri beli nasi liwet berjejer panjang. Bu Wongso seakan tidak peduli. Dia tetap memasak sebanyak yang dia rasakan sebagai batas maksimum. Kiat bisnis ini dijalankan juga oleh Warung Sate Buntel Mbok Galak di utara kota Solo, yang cukup sering tutup sore jika sudah habis.

Entah mengapa cerita ini membekas di hati saya. Sampai sekarang. Kalau dipikir lagi, saya ingat terus cerita ini karena jadi pengingat untuk tidak rakus. Bahwa hidup ini harus seimbang. Bahwa hidup itu harus berprinsip.

Cerita Nasi Liwet Bu Wongso Lemu muncul di benak saya saat membaca banjir besar Jakarta 2 hari lalu. Jakarta ini seperti warung nasi Bu Wongso yang sangat laris. Semua orang antri untuk tinggal di Jakarta. Semua orang ingin berinvestasi di Jakarta. Membangun jalan tol, mall, restoran, warung, sekolah, gedung bertingkat untuk mencari uang.

Jakarta – lewat pemerintahnya – tapi tidak bertindak seperti Bu Wongso. Karena lupa diri dan kesempatan cari untung sendiri, Jakarta mengangguk terus saat melihat yang antri panjang sekali. Wah, gue bisa untung besar nih, gumam Jakarta. Dan yang dibilang pembangunan berjalan tanpa berhenti.

Yang dibilang pembangunan ini ternyata pengrusakan. Lingkungan alam Jakarta rusak parah. Kenyamanan hidup diganti racun asap knalpot, kebisingan dimana-mana, dan kemacetan tanpa henti. Pusat pemerintahan: oke. Pusat bisnis: oke. Pusat hiburan: oke. Pusat pendidikan: oke. Semua dicaplok dan tidak ditakar. Rakusnya Jakarta akhirnya merusak dirinya sendiri. Banjir menyapa tiap tahun dan semua warga Jakarta sengsara. 

Rakus yang luar biasa ini terjadi karena tidak ada yang mengerem. Semua pihak yang mencari untung berpusat di Jakarta dan mudah berkomplot untuk menambah untungnya sendiri. Jika ingin perkasa, tinggal lah di Jakarta. Komplotan-komplotan ini berdekatan satu sama lain. Mencari uang tidak pernah berhenti karena jika berhenti sebentar, tetangga sebelah bisa lebih kaya dari kita.

Tidak tahu batas juga menjadi alasan kenapa rakus bisa merajalela. Orang tidak tahu batas jika dia tidak mau bersikap obyektif: mendengarkan usulan orang lain, mengenal diri sendiri, menambah wawasan. Jakarta tidak beda seperti orang yang tidak bersikap obyektif. Semua mau dicaplok. Tidak seperti Bu Wongso yang paham keterbatasan dirinya sendiri.

Sunday, January 13, 2013

Oil & Gas Survey Data as Conditional Probabilities


I was faced with an interesting question over the weekend when my industrial colleagues asked me how to summarize and present oil and gas survey data as a function of whether these data lead to drilling that produced reservoirs with commercial success. These data are critical for both oil and gas (exploration and production) companies and survey companies that provide survey services to the E&P companies.

The data set that my colleagues want is the probability of correctly detecting the commercial reservoirs using the survey data. Being able to state the success rate of identifying commercial reservoirs using a certain survey method is valuable and important to potential clients. The data that they have is the success rate of the drilling campaigns based on the survey final recommendations. These two sets of data are of course related, but they are not the same.

One tricky aspect of solving this problem is that the oil and gas companies that employ different survey methods do not want to reveal their drilling success rate for either practical or confidentiality reasons. In other words, the success rate of identifying commercial reservoirs using a particular survey method – be it seismic, electromagnetic, or gravitational – has to be determined from incomplete data.

These incomplete data do not necessarily lead to complications. There are ways to go around them using probability formulas. In fact, the final formula–as it turns out–allows me to obtain the success rate of identifying commercial reservoirs using only data that depend on other factors, i.e., using only "conditional probability" data.

One interesting result I found, for example, is the success rate of identifying commercial reservoirs depends on the success rate of a survey method to correctly identifying both commercial reservoirs and non-commercial reservoirs. Correctly identifying commercial reservoirs alone does not give a full picture on how good a survey method is. We should also need to know how good the survey method in correctly identifying non-commercial reservoirs as well.

The conditional probability formulas I use to summarize and present the oil and gas survey data can also be used to validate a claim by an oil and gas survey company. This validation process is important for an oil and gas company to decide which survey company it should hire to maintain or increase its production target.

Thursday, January 3, 2013

Pancasila Hidup dan Lestari


1. Ketuhanan Uang Maha Esa.

2. Kemanusiaan Uang Pandir dan Biadab.

3. Persatuan Uang Indonesia.

4. Kerakyatan Uang Dipimpin oleh Nikmat Kebiadaban, Dalam Permusyahwatan dan Percakilan.

5. Keadilan Uang bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Tuesday, January 1, 2013

Global Citizen


I was accidentally born in Indonesia. Each of us was born with predetermined conditions, including nationality, we could never choose or refuse.

If the place we grew up in proves nurturing, we grew to love it. I love Surabaya mostly for its people. Surabayans are egalitarian in a country still reeks of feudalism, loud, prone to swear expletives, and say exactly what is in their mind. We are the rude Javanese, as most Indonesians would say.

This love of land is exploited in patriotic propaganda by a government and its apparatus that want loyalty and obedience from its citizens. The government would go even further by using our love of food, football club–or whatever else–and even religion to appeal to our patriotic zeal.

But we know better. Since the food was never created by such government. Only a few determined creative citizens created them, mostly out of love in what they do. The football club is in it for the money and does not care about any propaganda that does not make one. And even the religion is imported from a faraway land. So, what is claimed as ours–ours alone–is nothing but an illusion since it is never mine in the first place.

I feel even more stupid if I believe in such propaganda by claiming that Surabayan food is the best in the world. Because it never is. Since I actually like Indian breakfast of paratha, sambar, and chole, Vietnamese pho, Canadian beer, and Alberta beef steak. I grow to love other places and people too.

I have grown to be a global citizen. I can imagine living and dying in another place other than Indonesia. This was how I felt when my family and I left Indonesia last year after working there for 1 year to return to Canada. 

The place I grew up in does not have the same feeling as I felt when I was a kid. Java is now dotted with cities choked in traffic jams, floods, and overpopulation. Its government is corrupt and very slow to improve the welfare and health of its people. Its elite and rich is crass and ostentatious.

I was heartbroken but felt incapable of making enough changes. Maybe next time, I said to myself, when my kids are grown up. You see, first love is hard to erase. But at least this time, I am the one who will choose.

Sunday, December 23, 2012

Indonesia Perlu Belajar dari India


Sebulan terakhir ini saya berkesempatan ke kota Villahermosa, Mexico, dan empat kota di India (New Delhi, Dehra Dun, Mumbai, Ahmedabad) untuk urusan kerja. Lebih kurang saya bekerja di tiap negara selama seminggu dan melihat keseharian dengan berlari di jalanan.

1. Kualitas Kota

Saya menilai kualitas kota dari empat parameter:

(i) kejernihan air sungai,
(ii) kelayakan trotoar untuk pejalan kaki,
(iii) keindahan taman kota, dan
(iv) kesemrawutan jalan.

Dari keempat parameter ini, kota-kota di Jawa (Bandung, Jakarta, Solo, Surabaya) yang pernah saya tinggali berada di bawah kota-kota semacam yang saya kunjungi di Mexico dan India, kecuali Mumbai.

Villahermosa, Mexico. Kota Villahermosa, Mexico adalah kota terbesar ke-27 di Mexico dan bisa dibandingkan dengan Malang, Jawa Timur. Jalan dari airport ke kota Villahermosa lebih rapi dan tertata, walaupun lebih kurang sama lebarnya. Tidak ada pengendara sepeda motor atau mobil yang seenaknya sendiri. Kualitas udara Villahermosa lebih bagus dari Surabaya dan Malang. Tidak saya lihat asap hitam mengepul dari bus kota yang melintasi jalan-jalan utama Villahermosa. Trotoar untuk pejalan kaki berfungsi dengan baik. Danau yang terletak tengah kota tertata apik dan masyarakat bisa menikmati suasana asri sekitar danau. Taman-taman kota tertata lumayan dan masyarakat bebas menikmati.

Dehra Dun, India. Kota kecil ini terletak di kaki pegunungan Himalaya. Suasana hiruk pikuknya seperti di kota Wonosobo, tempat kita dulu berakhir tahun saat di Indonesia. Walaupun kecil, airport Dehra Dun tertata bagus dan terawat.

Ahmedabad, India. Kota ini terletak di negara bagian Gujarat, tempat kelahiran Mahatma Gandhi, dan mempunyai jalan raya lapang walaupun kotanya jauh lebih kecil dari Mumbai atau New Delhi. Airport Ahmedabad juga tertata bagus dan terawat.

New Delhi, India. Daerah sekitar India Gate mempunyai jalan-jalan luas dan trotoar lebar dan rendah sehingga sangat menyenangkan buat pejalan kaki dan pelari jalan seperti saya. Banyak anjing liar di mana-mana, yang mungkin membuat takut sebagian kita jika tidak terbiasa. Polusi udara jauh di bawah Jakarta. Saya masih ingat sulitnya bernafas saat lari dari Cawang ke Senen karena polusi udara dari knalpot mobil dan sepeda motor yang luar biasa padatnya. Kesulitan bernafas ini tidak saya rasakan saat di New Delhi.

Taman-taman New Delhi lebih asri dari di Jakarta. Banyak penduduk New Delhi yang merebahkan diri untuk tidur siang di taman-taman. Taman-taman Jakarta dipagari dan tidak seasri yang saya lihat di New Delhi. Ada daerah kumuh di New Delhi, demikian juga di Jakarta, tapi keunggulan New Delhi sebagai ibu kota negara terlihat nyata.

Mumbai, India. Sekilas pandang, Mumbai seperti Jakarta. Padat, pengap, dan kumuh. Dharavi – perkampungan kumuh (slum) di jantung kota Mumbai – tampak dari luar seperti daerah Jatinegara atau Tambora, Jakarta. Saya pernah masuk ke perkampungan kumuh di balik gedung-gedung mewah Jakarta, tapi tidak sempat masuk ke Dharavi.

Mumbai juga hiruk pikuk dengan pembangunan gedung bertingkat tinggi. Bangunan-bangunan yang ada tidak semegah di Jakarta. Tapi di sini justru menurut saya Jakarta terlihat sangat timpang karena kemegahan yang ada berjejeran dengan kemelaratan yang menyesak.

2. Kualitas Pemimpin

Kualitas penduduk India yang terdidik, yang memimpin pemerintahan dan perusahaan, terlihat lebih bagus dari golongan terdidik Indonesia karena 3 hal:

1. Penguasaan bahasa Inggris. Bahkan pelayan hotel sampai sopir taksi di New Delhi dan Mumbai bisa berbahasa Inggris. Tidak ada kecanggungan sama sekali saat karyawan dan pimpinan mereka mengutarakan pendapat mereka dalam bahasa Inggris. Semua diutarakan dengan baik dan lengkap.

2. Kemampuan teknik bagus dan tidak takut mengutarakan pendapat. Pegawai Indonesia lebih banyak menanyakan hal-hal umum dan kurang berani mengutarakan pendapat mereka. Ini berbeda sekali dengan yang saya alami selama seminggu di India. Mereka tidak langsung menanyakan biaya proyek, tapi mengulas detail masalah-masalah teknis dan terlihat mempunyai ilmu dasar sains dan matematika kuat.

3. Kesederhanaan tenaga terdidik India lebih bagus dari yang di Indonesia. Saya sempat terkaget melihat pimpinan perusahaan minyak India memakai mobil Honda Civic. Mana mau pimpinan Pertamina memakai Honda Civic? Pengusaha beraset milyaran dolar yang ditemui saat meeting di New Delhi mengendarai sendiri mobil listrik Reva buatan Mahindra. Mana mau pemilik perusahaan Indonesia beraset puluhan milyar rupiah - apalagi puluhan trilyun rupiah - menyetir sendiri mobil listrik?

Jeleknya kualitas pemimpin Indonesia dibandingkan kualitas pemimpin India ini tampak lebih menyolok dibandingkan kualitas lingkungan hidup kota. Pemimpin India lebih sederhana walau lebih pintar dan berani. Semangat swadeshi India membuat saya kagum karena tidak cuma di ucapan saja.

Indonesia paling tidak ketinggalan dua langkah dari India. Indonesia perlu belajar dari India.


Wednesday, December 12, 2012

Walk Slowly


I often remind myself to walk slowly. As I walked back to my office from gym today, I felt good. Meeting a couple of colleagues there and checking whether I am still fit. I met several students who were diligently exercising. Note to self: If they complain about difficult courses I teach, remind them that they need to work as hard as they do in the gym.

I even paid attention to textures of buildings I passed along the way. Grey concrete corners now greeted me. Even symmetric pavement stones did not forget me. Often silent tree branches and twigs waved me by. I felt the quiet campus atmosphere: lectures ended last week and students must be busy studying now for final exams. The –15 C cold air did not feel as cold. These in-the-moment sensations filled me. When I walked slowly.

I often wondered why I had to walk fast. As if I was the most important person in the world. As if. I hardly save any moment by walking fast. It is when I sit and think that count, not when I walk.

The moments between sitting are precious. I walk slowly to reconnect with those around me. To walk slowly is divine. It is graceful and beautiful.

Sunday, November 18, 2012

Hubungan Kerja Satu Arah


Beberapa kali saya diundang perusahaan2 Canada untuk presentasi dan perhatikan ada perbedaan budaya antara perusahaan2 Canada dengan perusahaan2 Indonesia. Yang paling menyolok adalah budaya perusahaan Canada yang lebih terbuka dan kesungguhan karyawan untuk bekerja.

Budaya perusahaan yang tidak terbuka di Indonesia sering karena atasan atau pemilik perusahaan tidak berpendidikan memadai. Atasan yang seperti ini memilih jaim dengan tidak berkomunikasi terbuka dengan bawahan dan karyawannya. Bisa karena malu ketahuan tidak berpendidikan. Bisa karena kurang wawasan, jadi tidak tahu harus berkomunikasi bagaimana. Bisa karena untuk mengurangi permintaan kenaikan gaji.

Alur komunikasi kemudian berjalan satu arah – dari atas ke bawah saja – dan perusahaan tidak berkembang karena team work tersumbat. Bawahan dan karyawan akhirnya menunggu perintah saja tanpa ada inisiatif dari bawah. Gaya bekerja ini lalu jadi budaya perusahaan.

Rantai pemutus komunikasi satu arah ada di tangan atasan atau pemilik perusahaan. Satu alasan yang sering diucapkan untuk tetap berkomunikasi satu arah adalah kualitas karyawan jelek, jadi tidak ada gunanya berkomunikasi dua arah. Kualitas karyawan jelek juga jadi alasan memberi gaji rendah. Jika karyawan merasa dua hal ini: gajinya rendah dan kualitasnya jelek, tapi tetap bekerja di perusahaan tersebut, maka sudah jodohnya karyawan bekerja di perusahaan ini. They deserve each other, kata orang bule.

Perusahaan2 asing di Indonesia makanya lebih maju karena mereka berani menggaji karyawan lebih tinggi. Perusahaan2 ini mendapat kualitas karyawan bagus dan berani menuntut kinerja tinggi. Mereka juga tidak enggan memecat karyawan yang tidak pecus. 

Sebaliknya, perusahaan nasional yang menggaji rendah karyawan sering bermain petak umpet jika karyawannya meminta kenaikan gaji, karena sebenarnya tidak mau memecat karyawan bergaji rendah. 

Undang Undang Ketenagakerjaan Indonesia tapi juga tidak memihak pemilik perusahaan karena UU ini terlalu melindungi karyawan. Belum lagi dengan tumpang tindihnya peraturan ketenagakerjaan Indonesia dan oknum-oknum pemerintah yang memanfaatkan situasi kemelut hubungan kerja perusahaan. UU Ketenagakerjaan yang imbang semestinya memudahkan atasan untuk memecat karyawan yang tidak pecus.

Karena di Indonesia karyawan digaji rendah dan atasan beranggapan karyawan tidak pecus bekerja, maka yang terjadi adalah iklim kerja petak umpet. Karyawan langsung menyebar resume untuk cari kerja baru begitu mulai bekerja satu minggu saja. Atasan langsung pasang muka jaim agar karyawan segan – kalau perlu takut – untuk meminta kenaikan gaji. 

Monday, November 12, 2012

Indonesia Butuh Partai Buruh


Perang kelas sosioekonomi sebenarnya berjalan sejak lama di Indonesia. Kaum buruh selalu jadi pecundang karena mereka kurang terorganisir, tidak berpendidikan, dan tidak berduit. Indonesia butuh Partai Buruh karena partai-partai sekarang berserikat kerap cuma berdasarkan kesamaan agama. Parpol-parpol berbau agama ini konsep usang dan tidak perlu dipertahankan jika mengingat apa yang barusan terjadi di pemilihan gubernur Jakarta dan pemilihan presiden AS. Konsep partai berbasis agama akan punah seiring bergeraknya jaman.

Pikirin ini timbul saat aku dan istri menikmati makan siang sushi buatannya. Dia nyeletuk, "Gila gak sih, jahe irisan buat makan sushi ini harganya Rp 100 ribu loh di Jakarta." Aku kontan aja bilang "Sementara pembantu rumah tangga cuma digaji Rp 500 ribu per bulan." "Heh, itu aja aku diprotes teman-temanku karena katanya merusak pasaran," selorohnya.

Merusak pasaran? "What the fuck!" seruku. Itu saja sama class warfare (perang kelas) karena kelompok yang kaya tidak mau membagi rejeki mereka dengan yang miskin (baca: kaum buruh), walaupun pembagian itu sebenarnya cukup fair. Yang kaya ingin mempertahankan status quo dengan cara berkomplot. Kerja pembantu sebulan dihargai 5 kaleng jahe teman makan sushi! Makan sekali di Pizza Hut di Tebet Square untuk 3 orang saja bisa kena Rp 250,000, yang sama dengan gaji 3 hari sopir Jakarta.

Servis yang diberikan kaum buruh di Indonesia amat sangat bagus. Tukang cukurku di Jatiwaringin bisa memplontos kepalaku dengan mulus berkilat. Di Calgary, tidak ada yang mau kerja seperti pak Agus – tukang cukurku di Jatiwaringin – jika aku tidak bayar Rp 300,000. Apalagi pekerjaan memplontos kepala mengkilat bukan pekerjaan mudah karena butuh tangan tangkas dan stabil seperti dokter bedah. Di Jakarta aku cukup bayar Rp 30,000 untuk cukur kepala plus pijat kepala.

Keterkaitan pendidikan dengan gaji rendah sangat jelas, tapi kaum buruh tidak mampu menikmati pendidikan bagus karena tidak punya uang. Kenapa tidak punya uang? Karena gaji mereka amat sangat rendah, diukur dengan cara apapun. Amat tidak masuk akal untuk bisa hidup dengan layak buat suami istri beranak 2 dengan gaji Rp 4 juta. Tapi sangat banyak keluarga Indonesia dengan gaji ini hidup di Jakarta dan punya anak lebih dari 2.

Kenapa aku bilang Rp 4 juta tidak cukup? Gampang menghitungnya. Makan 3 kali sehari untuk 4 orang butuh minimum Rp 50,000/hari jika masak sendiri. Sekolah 2 anak bisa memakan biaya Rp 300,000/bulan. Transportasi bisa Rp 20,000/hari, entah naik bus atau sepeda motor. Tiga biaya ini – makan, sekolah, transportasi – saja butuh Rp 2.4 juta. Belum biaya mencicil rumah dan sepeda motor. Belum biaya darurat untuk undangan kawin, rumah sakit, dan tabungan mudik. Belum lagi biaya pakaian dan tamasya ke kebun binatang Ragunan atau Ancol.

Baru beberapa gelintir pemimpin pemerintahan yang benar-benar ingin mengartikulasikan pemahaman tertindasnya kaum buruh ke aksi-aksi nyata. Salah satunya adalah Jokowi dan Ahok. Tapi Indonesia masih butuh banyak lagi untuk membela yang lemah. Indonesia butuh Partai Buruh!

Mechanics Problem 3: Sliding Pendulum


A small block of mass m sits at the left edge of a smooth hemispherical bowl of radius R and mass M. The small block is released from rest and slides up and down the bowl without friction, effectively moving as a pendulum. Assume as well that there is no friction between the ground and the the flat bottom of the bowl.

Determine the speed of the bowl when the small block reaches the bottom of the bowl. Determine the distance travelled by the bowl by the time the small block reaches the right edge of the bowl and stops there.

Monday, October 29, 2012

The Dirac-delta


The Dirac-delta functional δ(x–a) is an extremely useful mathematical object despite its abstract nature. It was proposed by Paul Dirac – an electrical engineer who decided to become a physicist and shared the 1933 Nobel Prize in Physics with Erwin Schrodinger. The story went that mathematicians did not like the way the Dirac-delta was derived and defined by its inventor, which was probably considered not rigorous enough, but in the end mathematicians recognized its beauty and importance. Paul Dirac also wrote a quantum mechanics textbook, The Principles of Quantum Mechanics, which was written concisely and beautifully at the same time.

The Dirac-delta exemplifies a proof that when an idea anchors several things at once, it needs not be explicit. It is a subtle object since it is defined by an integral representation:

∫ dx f(x)δ(x–a) = f(a),

where the integral is performed over an interval that includes x = a. δ(x–a) = 0 in almost everywhere except at x = a. Despite this extremely localized effect, it is so strong that it never gives a chance to f(x), as it is integrated over the interval, to yield anything other than its value at x = a. It is difficult to explicitly write what δ(x–a) is. There are several representations of the Dirac delta, e.g., a Gaussian peak and a Lorentzian peak, but they are still approximations to what the integral representation sufficiently captures.

Using the integral representation, we can derive three basic properties of the Dirac-delta:

1. ∫ dx f(x) δ(n)(x–a) = (-1)n f (n)(a), where the (n) superscript indicates an nth derivative;

2. ∫ f(x) δ(ax–b) = a-1 f(b/a);

3. ∫ dx f(x) δ(g(x)) = ∑ f(xi)/g'(xi), where xi are roots of g(x) and the ' superscript indicates a first derivative.

The marvel of the Dirac-delta is its ability to concisely sum up a complete set of continuous functions for the space of nonperiodic functions. It is used to represent a Fourier transform:

δ(x–y) = (2π)-1 ∫ dk exp[ik(x–y)],

where the integral is over –∞ < k < ∞. This result is obtained from the Fourier series representation of the Dirac-delta and from extending the domain of the Fourier series representation to cover the entire space (–∞ < x < ∞).

The integral representation would become

∫ dx f(x) δ(x–y) = (2π)-1 ∫ dx f(x) ∫ dk exp[ik(x–y)]

                          = (2π)-1 ∫ dk exp[–iky] f(k) = f(y),

which defines both Fourier transform and its inverse of f(x). This is the most concise way to define a Fourier transform I know - as clearly explained by Mark Swanson's Path Integrals and Quantum Processes. A complete derivation of Fourier transform and its math details can found in Ian Sneddon's Fourier Transforms, which is a terrific source book on Fourier transform.

The Dirac-delta is used to model effects of periodic diffraction slits, to obtain Green's functions of various differential equations, and many more. It has wide-ranging applications, from specific mathematical models to fundamental equations.

Sunday, October 28, 2012

Sirkus


Aku bukan diriku lagi
Lama tak ingat buat apa 
Teman kerabat mengejarku
Aku jadi orang mahapenting
Untuk masalah amat tak penting

Besok pakai baju apa
Nanti mau ngopi dimana
Kita beli gincu warna apa
Kemarin kamu difuck siapa
Mana peduli aku cuuk!

Saat aku tanya kamu cinta kenapa
Kamu bilang payudaraku elok
Tapi besok akan tertunduk layu
Kamu bilang mataku menyala
Tapi lusa redup terdera keriput
Mana peduli kamu cuuk!

Tak Sampai


Umur menapak senja, sebar senyumku
Tidak bisa sembunyikan hambar hatiku.

Hanya kau tahu: sembilu tersimpan lama
Walau aku sudah terima semua.

Hidupku terwujud palsu dan aku biasakan
Kubur mata hatiku dengan kealiman lazim.

Jalan sendiri aku di sisa hidup ini
Walau semua menyapaku: aku sepi.

Tuesday, October 23, 2012

Mechanics Problem 2

I like simple mechanics problems that illuminate fundamentals. An example is shown in the schematic diagram above. 

A small block of mass m1 is released from rest at the tip of an inclined plane of a wedge of mass m2. The wedge base has a length d and the incline has an angle θ. The small block slides on the incline and eventually reaches its bottom. The wedge will slide to the left as the small block slides.

Neglecting friction, determine the speed of the wedge when the small block reaches the bottom of the inclined plane.

Hint: This problem requires you to use conservation of momentum and conservation of energy, in addition to understanding inertial reference frame. An alternative way is to use Newton's second law and to use a clever kinematic constraint.