Monday, July 16, 2012

Tent Flooding in the Rockies


Sleeping bag with a rating of at least 5 C is required when summer backpacking in Canadian Rockies, as temperature drops to around 0 C at night. A rating of -7 C is a must if you venture further into above treeline campgrounds.

These ratings are good so long as your sleeping bag is dry even during rain outside your tent. This didn't happen last weekend when we did backpacking at the Yoho National Park. What made it worse was I took my nine-year old son with us as well.

The rain poured for 4 hours non-stop. Our tent footprint didn't protect our tent from floor seepage, instead it ended up collecting water from the fly and channeled it to the tent floor. We could feel water pockets right under the tent floor which was flooded in less than 1 hour.

The first thing we saved was our sleeping bags. One was getting wet fast. The second thing was warm clothing. Our socks were soaked. Things were not good at all.

We decided to move our stuff out of the tent and to a hut in our campground. We were completely soaked. The fireplace there helped dry our stuff, which took 2 hours. We ended up cooking in the hut with a company of other backpackers who couldn't cook outside as well due to heavy rain. Two other groups experienced tent flooding even worse than us. We all told our stories and the evening turned out great in the end.

It was a trade-off we sought. We wanted a view of majestic waterfall and picked a low lying tent site. When the heavy rain came, we paid the price. I had to move our tent to another site and the rain finally stopped.

The rain gave a beautiful mist shroud to the waterfall. A moment of trouble became a beautiful weekend to remember. 

Tuesday, July 10, 2012

Pay Attention to Your Ears


Three days ago I had to wake up very early in a Sydney hostel to catch my flight to Calgary. While waiting at the Central Station, I put on my noise-cancelling headphones and was sent into a mild trance - figuratively speaking - as I listened to my favorite songs. Whatever I saw became much more peaceful and the morning sun felt welcoming. 

That's what I learned in the past 3 weeks owning these headphones. They are a wonderful invention. I don't own a TV, but I cannot live without these headphones anymore, LOL! But more importantly they remind me that I have underestimated the importance of ears, while indulging my eyes when going hiking, watching movies and beautiful things. 

The physics of these headphones is interesting as well. How the ambient sound waves get cancelled by opposing sound waves internally generated by the headphones. From optics we learned that this cancellation does not mean the energy of the sound waves is annihilated, but it is rather refracted, redirected, which in this case means reflected back. 

The headphones also tell me how to put a price on physical noises as they are not cheap (about $350) and require an AAA battery that lasts about 30 hours. I use them constantly when working or on the road, so I am thinking now of getting a rechargable battery. 


Friday, June 8, 2012

Negara Pisang


Saya sudah sebulan di Calgary, setelah 1 tahun bekerja di perusahaan swasta di Indonesia. Teman baik saya bilang kalau saya tidak akan kerasan, tapi melihat saya seperti ini menambahkan bahwa saya harus mengalami sendiri.

Tetap ada pelajaran berharga. Pertama, Indonesia tidak nyaman dan mahal untuk berkeluarga. Biaya hidup anak tinggi untuk pendidikan, transportasi, dan kegiatan luar sekolah. Sementara kualitas yang didapat marginal. Kualitas hidup keluarga merosot karena lingkungan hidup rusak. Tidak ada trotoar untuk mengajak anak jalan kaki. Fasilitas hiburan keluarga mahal dan jauh. Semua berpusat di mall.

Hidup di Indonesia – terutama di Jakarta – cocok untuk kaum single saja. Ritual macet setiap hari sangat boros waktu untuk keluarga. Keseharian tidak efisien jika punya anak. Jika ada uang, barulah agak enak hidup di Jakarta. Tapi tetap saja, kualitas lingkungan hidup pas-pasan. Udara kotor polusi asap hitam. Pemandangan kota morat-marit dan baru enak jika masuk mall lagi. Tapi bayar lagi. Bayar lagi.

Kemarin saya ketemu satu keluarga yang baru beberapa bulan pindah ke Calgary. Mereka sebelumnya tinggal di Jakarta, tapi setelah merasakan job assignment di luar negeri sebelumnya, akhirnya memutuskan meninggalkan tanah air. Keluhannya ya itu lah. Keseharian capek dibelit macet. Biaya pendidikan anak semakin mahal. Kualitas lingkungan hidup jelek.

Kedua, bisnis Indonesia cuma jualan doang. Banyak yang bilang: "Ngapain buat, jika jualan saja untungnya banyak." Bahkan banyak juga yang nambahin: "Justru kalau bikin tambah rugi." Nah loh. Ini berarti Indonesia emang dipimpin sama orang-orang tolol dan penakut. Jika jualan untungnya gak karuan, cuma satu penjelasannya. Ada kartel untuk setiap barang dagangan. Enough said.

Kalau mau serius sedikit, bisa saya bilang ada 2 hambatan. Pertama, untuk bisa bikin sendiri peraturan pemerintah harus mendukung industri dalam negeri. Tidak ada liberalisasi perdagangan seenak udelnya WTO jika pemerintah berani lepas dari kepentingan beberapa pihak tertentu. Kedua, kemampuan manufaktur harus membaik. Industri hotel/pariwisata dan makanan Indonesia bagus, tapi industri manufaktur masih sangat jelek. Gimana memperbaikinya?

Ketiga, kuncinya di PENDIDIKAN. Jalan ke arah perbaikan kemampuan manufaktur cuma ada di perbaikan kualitas pendidikan. Ribut ujian nasional yang tanpa ujung menghambat perbaikan kemandirian berpikir dan kualitas ketrampilan jutaan anak Indonesia. Kenapa kok tidak dibereskan? Ya itulah, Indonesia memang dipimpin orang tolol dan penakut. Pendidikan kunci utama untuk maju. Lihat sejarah Singapore, Korea Selatan, Jepang, Cina. Lihat sejarah Eropa sejak abad 15 dan Amerika Utara sejak abad 16.

Keempat, perkuat universitas agar bebas, cerdas, dan ngayomi masyarakat. Negara manapun yang maju syaratnya ya itu: punya universitas berkualitas. Gaji guru dan dosen rendah tidak membantu ke arah ini.

Udah ah. Capek nulis melulu. Ini juga kebetulan ada waktu luang sambil nunggu kiriman kasur.

Monday, May 14, 2012

3 Work Motivators

Sudarso's Setting Her Chignon (1967)
1. Deliver values to your customers.

2. Exchange your time with quality.

3. If not happy, find another job.

Sunday, May 6, 2012

Jalanku


Beberapa temanku tanya kenapa hanya 1 tahun di Indonesia. Aku jawab karena aku kangen mengajar dan mengerjakan riset. Aku lebih cocok bekerja dengan berpikir dan menulis.

Bukannya aku tak tahu itu. Tapi aku harus mencoba bekerja di tanah air. Agar keraguan tidak terbawa mati. Agar aku punya pengalaman bekerja di swasta.

Rencana awal 3 tahun jadi lebih pendek karena aku tidak bisa bekerja tanpa ragu jika nalarku tidak yakin untuk mengerjakan sesuatu yang diminta.

Aku lebih baik jalan sendiri. Menjadi guru atau membuka usaha sendiri.

Itulah kelemahanku. Aku lebih suka sendiri. Walau aku suka bicara, aku cinta kesunyianku. Aku lebih cinta waktu bebasku. Bersama buku, gunung, dan keluargaku.

Aku perlu bicara dengan lebih banyak orang. Aku tapi tidak suka buang waktu. Tidak sabar dengan orang yang basa basi.

Mengajar di Indonesia bergaji kecil. Perlu daya kreatif untuk menambah penghasilan. Aku salut dengan teman-temanku yang menjadi guru di tanah air.

Ayo kita bertukar pikiran. Lewat Facebook, Twitter, milis email. Semoga bisa jadi kerja sama berarti.


Wednesday, May 2, 2012

Surgamu Surgaku


Nduk, ini jalan nasib kita 
Baju lecek kumal berdua
Bersimpuh letih atap cemara
Gerbang tol Cibubur Dua

Mak sedih pikirkan kamu
Masih kecil sudah membabu
Setiap malam muka berdebu
Badan kurus bermata sayu

Mak nyesal lahirkan orok
Mak mau bunuh diri besok
Akhiri letih raga membusuk
Kamu bebas biar bergerak

Mak, apa tak takut dosa besar
Mati tak lumrah hidupmu bubar
Tak punya uang tak bisa bayar
Dunia akhirat menjadi hancur

Lama aku memendam marah
Kita dilewati mobil mobil mewah
Mereka untung berlimpah ruah
Tiap tahun haji banyak sedekah

Nduk, kamu jangan begitu
Ini jalan nasib kita, cah ayu
Gusti Allah Maha Adil, pasti itu
Mak ingin segera tahu

Friday, April 27, 2012

Pelacur Naas


Negri ini naas karena
Uang slalu jadi panglima

Aku goblog karna tak nyana
Gimana ekonomi tumbuh 6%

Paling cuma bayi bertambah
Orang ngentot dimana mana

Itupun juga benarnya tak cukup
Karna yang kaya semakin makmur

Lalu yang miskin makin tergerus
Kulit kudisan perut keroncongan

Lalu uang lari kemana
Paling ke maling pelacur semua

Wednesday, April 25, 2012

Sepeda Motor



Jalan desa Jeruk Legi - Kali Pucang
Dilewati lebih cepat satu jam karena
Lubang dan gelombang aspal
Bukan makanan mobil dan truk

Kelak kelok Cikalong - Tasikmalaya
Bukan hambatan sedikit pun
Gadis dan dua adiknya di belakang
Menari bermanuver hindari jurang

Dua turis bule bawa surfing board
Enaknya lewati jalan hancur akibat
Penambangan pasir besi Cimerak
Sesekali melambai tangan ke laut lepas

Mereka lincah cari sela sekat hidup
Diantara truk tronton dan bus AKAP
Mas dan gadis berjilbab duduk gagah
Berpeluk mesra nikmati malam buta

Sunday, April 22, 2012

Ruang Publik


Penataan ruang publik di banyak kota Indonesia amburadul. Mulai dari trotoar yang porak poranda sampai arsitektur bangunan yang tumpang tindih tanpa peduli keserasian dan keelokan. Beginilah wajah kusam jelek sebagian besar kota di Indonesia.

Ada beberapa perkecualian. Desa-desa di Ubud, Bali terlihat nyeni dan tertata apik sehingga enak dipandang dan menumbuhkan daya pikir otak. Alam indah tak tersentuh di selatan Ciwidey, Jawa Barat, diselingi kebun teh luas dan kabut sore hari. Sekelumit ruas jalan Aji Barang - Purwokerto yang lebat rindang pohon hijau menutupi bukit-bukit sekitar gunung Slamet.

Tapi kecantikan alam Indonesia akan bertambah jarang dan bisa sirna jika pengrusakan alam berlanjut terus dan penataan ruang publik tidak diurus dan ditertibkan sama sekali. Tidak akan ada kecantikan lagi yang tersisa.

Sebagai gantinya adalah tempat-tempat yang dikelola swasta. Restoran, coffee shop, mall, perumahan elit yang ditata cantik dan segar. Mereka justru yang mengadopsi arsitektur Jawa, Sunda, dan Bali. Kecantikan ruang publik menjadi mahal. Semakin berjurang yang kaya dengan yang miskin. Butuh duit banyak untuk sekedar menikmati ruang publik indah.

Rasa estetik masyarakat seperti sirna. Tidak ada lagi perpustakaan elok, taman bersih rindang, sungai jernih deras yang bisa dikunjungi gratis untuk sekedar melepas penat. Kita berbondong ke mall karena di sana udara sejuk dan mata tidak dijarah keburukan tata ruang kota.

Hilangnya ruang publik elok adalah sangat mengenaskan mengingat arsitektur bangunan Jawa, Sunda, Bali ramah alam dan cantik. Kenapa arsitektur asli ini tidak menjadi acuan dalam menentukan proporsi dan estetik ruang publik?

Tuesday, April 17, 2012

Pulau Madura

Pantai Lombang, di ujung timur pulau Madura.

Jembatan Suramadu yang kami seberangi dari Surabaya ke Bangkalan, Madura, seolah berbisik lembut bahwa Indonesia adalah negara maju. Desainnya elok nan sederhana dan selat yang memisahkan Jawa dan Madura terlihat bersih dan luas.

Terakhir kali saya ke Madura saat masih SD - puluhan tahun lalu - dan itu pun hanya sampai Bangkalan. Kali ini kita sekeluarga ke Sumenep di ujung timur Madura.

Ada dua hal yang mengagetkan saya. Pertama, tidak banyak penjual di sepanjang jalan Bangkalan-Sumenep. Warung soto dan sate Madura ada diperbagai kota Indonesia, tapi tidak saya temui di jalan di Madura sendiri. Yang ada bahkan warung makan Surabaya dan Padang, itu pun juga kurang dari sepuluh. Benar-benar bertolak belakang dengan kepadatan penjual makanan di Jawa.

Makanan asli Madura - yang dimakan orang Madura - berbeda dengan yang sebagian besar orang non-Madura tahu. Makanan favorit orang Madura yang tinggal di Madura adalah soto kikil bumbu kacang dan rujak cingur bumbu kacang juga.

Saya hanya bisa berspekulasi kenapa tidak banyak warung makan di Madura. Tapi berdasarkan hukum supply dan demand, jelas orang Madura tidak suka makan di luar rumah. Melihat banyaknya orang Madura yang berdagang di seluruh Indonesia, tidak berlebihan mengira masyarakat Madura mempunyai kebiasaan menabung dan tidak boros. Terbersit dari tatapan mata mereka - saat saya lari pagi - rasa bangga akan budaya Madura. Masih banyak orang laki-laki bersarung lalu lalang berjalan kaki dan naik motor.

Kedua, tidak saya temukan restoran siap saji KFC, McDonald's, A&W, dan semacamnya. Teman saya bilang restoran seperti ini tidak diijinkan di Madura. Saya sempat berpikir masyarakat Madura terbelakang, tapi kemudian saya justru salut dengan mereka. Karena mereka kukuh dan konsisten memegang tradisi Islam dan budaya Madura.

Tidak saya lihat juga mal bertingkat di Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Alam lingkungan di Madura juga tampak masih belum terlalu terkotori dampak industri dan pembangunan yang menggebu.

Pulau Madura jadi jendela alternatif Indonesia yang lebih mandiri. Tidak tergantung ke negara lain. Memang terbelakang, tapi bangga dan tidak malu akan kemandiriannya. Saya berdecak kagum.

Wednesday, April 11, 2012

Tecumseh


When I watched the movie Act of Valour, I was struck by the beauty of Tecumseh's poem. A powerful poem! 

I thought about it yesterday and found things that resonate with my code of ethics. Below is my rendition so that I can memorize it easily, to guide me everyday. Something I hope is worth sharing.

Be grateful every morning

Eject fear of death from your heart

Practice beauty and simplicity

Sing your death song

Die like a hero going home

Kesimpulan Perbandingan Harga Indonesia-Canada


Ada 2 tabel perbandingan harga Canada dan Indonesia untuk seminar di Politeknik UI (Universitas Indonesia) Senin depan (16 April 2012) yang ingin saya bagikan dengan anda.

Kolom CDN:INA Purchasing Power Ratio adalah rasio jumlah barang sama yang bisa dibeli dengan gaji awal insinyur di Canada dan gaji awal insinyur di Indonesia. Rasio "4.2:1" berarti gaji Canada bisa membeli barang tersebut 4.2 kali lipat lebih banyak dibandingkan gaji Indonesia di negara masing-masing. 

Asumsi analisa adalah harga-harga barang dan servis di Canada lebih mendekati equilibrium karena variasi harga di seantero Canada lebih kecil dari yang di Indonesia. Harga yang mendekati equilibrium mencerminkan permintaan dan penawaran yang seimbang. 

Bukti harga-harga di Canada mendekati equilibrium adalah (i) tidak banyak penurunan harga di Canada jika nilai tukar dollar Canada menguat terhadap dollar AS yang membuat orang Canada berbelanja di AS dan (ii) jaminan mengembalikan barang, yang baru dibeli, di beberapa toko besar jika ada harga yang lebih murah di toko lain.

1. Secara umum, harga servis di Indonesia lebih murah dari di Canada. Rasio rata-ratanya sekitar 1:2 untuk Indonesia. Sebaliknya, insinyur Canada diuntungkan oleh harga barang yang lebih murah di Canada dengan angka rasio rata-rata sekitar 5:1.

2. Karena standar hidup buruh di Indonesia dibawah Canada dan harga servis di Indonesia lebih murah, maka wajar jika harga servis di Indonesia perlu naik untuk menaikkan standar hidup buruh Indonesia. Jika kenaikan harga servis di Indonesia tidak terjadi karena peraturan pemerintah atau yang lain, maka buruh-buruh yang menyediakan servis mensubsidi segmen yang yang membeli servis mereka.

3. Harga barang yang lebih mahal di Indonesia disebabkan dua alasan: (i) banyak barang yang komponen harganya tergantung impor dan (ii) 'price markup' masih terjadi. Alasan pertama berarti kemampuan manufaktur pabrikan di Indonesia masih belum bisa bersaing dengan barang impor. Alasan kedua berarti biaya transportasi dan/atau biaya 'siluman' masih tinggi.

4. Dilema yang dialami Indonesia adalah: biaya pendidikan untuk meningkatkan kualitas SDM sudah tinggi padahal hanya dengan cara ini kemampuan manufaktur pabrikan Indonesia bisa membaik.

Monday, April 9, 2012

Indonesia-Canada Price Comparison


I am preparing my talk at the Politeknik UI (Universitas Indonesia) next week on Monday, 16 April 2012. One slide I wanted to share with you is the price comparison table I made.

The most important information is the CDN:INA Purchasing Power Ratio. It is the ratio of the number of same goods purchased with Canadian salary to Indonesian salary. When the Purchasing Power Ratio says "4.2:1", it means the Canadian salary can buy the same item 4.2 times more than the Indonesian salary can for that particular item. It is quite telling.

Sunday, April 8, 2012

Desakan Keluarga


Gaji lulusan universitas (S1) Indonesia kecil. Di pekerjaan pertama, lulusan S1 menerima gaji Rp 3-4 juta/bulan. Kenaikan pendapatan tidak akan cepat. Pengalaman kerja 10 tahun bisa menaikkan gaji awal menjadi sekitar Rp 5-7 juta/bulan di akhir tahun kesepuluh. Ini berarti kenaikan gaji rata-rata 5.5%/tahun, sementara inflasi harga sekitar 6%/tahun.

Lulusan S1 baru bisa bernafas setelah 10 tahun kerja. Saat sekitar usia 35 tahun ini, tergantung dia bekerja dimana, ada beberapa pilihan untuk menaikkan gaji dengan lebih cepat.

Pertama, dia harus buka usaha sendiri, yang bisa dirintis saat usia 30. Posisi yang paling baik di perusahaan untuk mengerjakan ini adalah sales engineer karena akan mendapatkan banyak kontak untuk memulai usaha baru. Jangan ragu jika harus bersaing dengan bos sendiri, karena ini sudah jalannya.

Kedua, dia bisa pindah kerja ke perusahaan asing. Perusahaan asing bisa menggaji 30-50% lebih tinggi dari perusahaan nasional. Kenapa? Karena perusahaan asing ingin mendapatkan karyawan terbaik dan mau keluar uang. Jika mau meraih ini, perbaiki kemampuan bicara dan menulis email berbahasa Inggris.

Ketiga, dia menyalahgunakan posisinya. Desakan kebutuhan rumah tangga akhirnya tidak bisa dibendung. Sudah 10 tahun berkeluarga, masa tidak ada perubahan ekonomi keluarga? Mulailah proyek pembelian barang diproyekkan lagi, waktu pembayaran tagihan supplier dijualbelikan, atau uang yang sedianya untuk beli ini dipakai sebentar untuk beli itu.

Upaya kenaikan gaji dengan menyalahgunakan posisi tidak sehat. Jika merasa kebutuhan keluarga sudah lebih besar dari gaji yang diterima, sebaiknya keluar saja. Keputusan ini amat sangat sering tidak gampang karena dapur harus ngepul terus.

Pemicu utama pengkorupsian jiwa datang dari kebutuhan keluarga yang tidak direncanakan dengan baik.

Gaji awal kecil sebenarnya tidak cukup untuk menopang keluarga. Tapi karena kebutuhan seks tidak bisa dibendung lagi, haruslah lulusan S1 ini menikah secepatnya.

Desakan pihak keluarga mendorong secepatnya punya anak. Begitu punya anak, kebutuhan keluarga akan naik 4-5 kali lipat. Lingkaran kebutuhan uang dimulai.

Saya dulu menikah di usia muda. Di tahun sama saat lulus S1. Saya juga punya anak 1 tahun setelah menikah. Kami diuntungkan tinggal di Canada dimana kami bisa sembunyi dari tuntutan keluarga dan desakan untuk belanja ini itu dari kawan dan saudara. Kami bisa cuek bebek menikmati rumah tangga kami dan membentuknya sendiri tanpa campur tangan orang lain.

Kepada setiap anak muda yang saya temui dan ngobrol di Indonesia, saya selalu menyarankan untuk menunda punya anak. Nikah silakan saja, tapi jangan takut cerai jika tidak cocok.

Biar gampang proses cerainya, jangan keburu punya anak. Logika yang gampang dan mudah dimengerti, tapi sukar untuk dilaksanakan. Disini letak pentingnya memilih pasangan hidup tahan banting dan berkomunikasi dengan terbuka.

Monday, April 2, 2012

Malas Berpikir


Pekerja Indonesia pekerja keras. Saya tahu itu, setelah 11 bulan bekerja di Indonesia. Mereka bekerja dari jam 8 pagi sampai 5 sore, seperti kebanyakan pekerja di Amerika Utara.

Tugas-tugas yang bersifat rutin, seperti memfotokopi dokumen, mencatat pemasukan dan pengeluaran uang, membalas email, dilakukan dengan cepat. Pekerja Indonesia tidak juga gaptek (gagap teknologi), bahkan canggih karena tidak jarang satu orang punya lebih dari 1 smartphone.

Yang jarang saya temukan adalah pekerja Indonesia mengerjakan analisis, baik data, alur kerja, ataupun pemikiran. Keengganan ini nampak jikapun sudah diminta. Ini kesimpulan dari beberapa kali saya meminta agar analisis dikerjakan dan menerima respon minimum.

Saya pikir ada tiga alasan kenapa pekerja Indonesia kurang suka menganalisa. Pertama, dia harus memutuskan sendiri langkah-langkah yang harus diambil, seperti memilih data apa yang harus dikumpulkan dan diolah. Lalu, memutuskan bagaimana mengolahnya agar bisa terlihat pola angkanya, dan mengambil keputusan dari hasil olahan data.

Jika tidak terbiasa menganalisa saat di sekolah dan universitas, akan kecil kemungkinan kemampuan ini timbul sendirinya di tempat kerja. Cara belajar yang mengedepankan hafalan berpengaruh buruk kepada kemampuan analisa. Ketidakberanian mengambil keputusan datang karena gaya belajar hafalan.

Kedua, tuntutan pekerjaan masih belum sampai ke analisis data. Banyak lapangan kerja di Indonesia yang berhubungan dengan tugas administratif. Mencatat ini itu, mendaftar ini itu, mengantar jemput ini itu. Pekerjaan ini tidak menuntut banyak berpikir. Daya pikir menjadi pasif di tempat kerja.

Ketiga, kemampuan teknis untuk menganalisis masih lemah. Kemampuan ini - untuk analisis teknik - datang dari ilmu dasar: fisika, matematika, kimia. Jika penguasaaan ilmu dasar lemah, maka sukar diharapkan analisis teknik benar dilakukan walaupun keinginan ada. Kurangnya kemampuan teknis ini lalu diisi oleh tenaga ekspat yang juga terlatih mengambil keputusan sendiri karena bersekolah di luar negeri.

Ketidakmampuan mengambil keputusan dengan akal sehat adalah hasil sistem pendidikan Indonesia yang sangat menitikberatkan hafalan dan kepatuhan buta. Setiap mata pelajaran punya potensi untuk mengasah daya pikir siswa, tapi ini jarang dilakukan. Yang penting dalam belajar Sejarah adalah tanggal dan nama. Yang penting dalam belajar Fisika dan Matematika adalah pemakaian rumus-rumus siap pakai.

Saya yakin kenyataan kacaunya sistem pendidikan Indonesia sudah disadari. Jika langkah nyata untuk membetulkan sistem terhalang oleh berjalannya proyek-proyek pendidikan yang sarat uang, maka akan makin runyam nasib bangsa ini.

Tuesday, March 27, 2012

Motivasi Belajar


Sekolah di Indonesia beda dengan di Canada. Anak SD Indonesia sudah dipacu belajar keras. Tabel perkalian sudah harus dihafal di kelas 3, pembagian dan pecahan sudah diajarkan di kelas 4. Anak2 SD di Canada tidak semaju itu. Jadinya, saya dituduh anak saya - karena tahun lalu dia masih sekolah SD di Canada - merusak hidupnya karena sekolah sudah tidak fun lagi.

Materi SD di Indonesia memang berat. Saya ingat dulu masih SD, menghafal berbagai informasi di mata pelajaran IPA dan IPS. Para orang tua bangga jika anaknya menang acara lomba cerdas cermat, padahal lomba ini sebenarnya lomba menghafal saja.

Masalahnya, sekarang orang yang kuat menghafal kurang berguna. Google sudah bisa mengalahkan orang2 seperti ini.

Sekolah di SMP Indonesia juga lebih berat dari di Canada karena lagi-lagi hafalan yang teramat banyak, paling tidak di pelajaran Sejarah, Agama, dan PMP (Pendidikan Moral Pancasila, jaman sekolah saya). Anak sulung saya saat SMP tidak belajar sekeras saya.

Sekolah SMA di Canada baru sebanding dengan SMA di Indonesia. Anak sulung saya belajar keras saat di kelas 11 dan 12. Tidak beda dengan saya dulu. Yang membedakan adalah dia diajari bernalar. Fisika diajarkan dengan eksperimen dulu dan dicocokkan dengan teori. Matematika diajarkan dengan teliti dimana dasar pemikiran juga diberikan. Dulu ini saya kerjakan sendiri karena rajin ke toko buku loak, sementara di SMA cuma rumus-rumus fisika dan matematika yang dicekokkan ke saya.

Situasi berbalik 180 derajat ketika kuliah. Beban kuliah universitas di Canada jauh lebih berat dari di Indonesia. Sehabis tingkat SD-SMP-SMA yang melelahkan, mahasiswa Indonesia lebih rileks belajarnya. Tidak terlihat mereka dikejar-kejar waktu dan sibuk mengerjakan tugas kuliah. Ini yang saya perhatikan saat jadi dosen tamu di ITB tahun 2010. Saya tidak ingat masa kuliah saya serileks mahasiswa2 di Indonesia.

Pada saat mestinya dipacu karena universitas adalah tempat penggemblengan utama sebelum masuk ke "real world", siswa Indonesia justru mengalami anti klimaks. Motivasi belajar bisa rusak karena tidak ditantang secara akademis. Yang didapat bisa jadi akhirnya fakta-fakta dari hafalan semasa SMP dan SMA.

Tuesday, March 20, 2012

Tiga Pelajaran


1. Bantu diri sendiri sebelum bantu orang lain

Jangan termakan pikiran menggebu membantu orang lain karena belum tentu dia mau dibantu atau berubah. Membantu orang lain akhirnya melelahkan karena waktu sendiri terbuang percuma, jika tidak dilakukan dengan senang.

Ada alasan masuk akal kenapa orang jatuh miskin. Dia kurang pendidikan atau tidak cerdas, kurang bekerja keras, salah strategi usaha, atau kombinasi ketiganya. Bisa orang miskin karena besar pasak dari tiang. Bukan hanya karena beli barang yang berlebih, tapi karena tanggung jawab yang dia pikul melebihi kemampuannya.

Orang miskin yang memang sadar atau senang miskin tidak perlu dibantu. Orang seperti ini berkarakter merdeka dan tidak bisa dibujuk atau ditaklukkan.

Orang miskin yang mengeluh miskin bisa dibantu, tapi jangan membantu melebihi kemampuannya untuk bangkit dari kemiskinan.

2. Semua orang punya masalah

Omong kosong orang tertawa dan tersenyum terus. Bilang tidak ada masalah. Orang ini, jika tidak bodoh, tidak mengerti buat apa hidupnya.

Penting untuk mencari apa yang tiap kita senang lakukan saat masih hidup. Karena semua orang punya masalah. Jika saya tidak melakukan yang saya cintai tiap hari, maka masalah saya lebih banyak dari masalah orang lain.

Apa yang sekejab terlihat menyenangkan akan membawa masalah. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Mau seks gratis, orang kemudian berpikir untuk menikah. Tapi anak muda kurang sadar biaya keluarga sangat besar dibanding biaya hidup sendiri.

3. Tiap kita tidak pernah belajar dari pengalaman orang lain

Orang pintar saja sering berbuat salah, apalagi yang bodoh. Tambah lagi, semua orang tidak pernah belajar dari pengalaman orang lain.

Sering saya sarankan ke anak muda untuk tidak cepat menikah. Tapi sama seringnya saran saya diabaikan. Ya sudah, silakan. Risiko tanggung penumpang sendiri.

Makanya dunia berputar terus. Tiap kita mencari jalan sendiri. Karena tiap kita tidak pernah cukup bijaksana untuk belajar dari pengalaman orang lain.

Thursday, March 15, 2012

Wrist Watch


Do I have to wear a wrist watch? I need to know time, but I can tell time from my cell phone. Or ask someone: it is a great way to start a conversation.

I haven't worn a wrist watch for 2 years now. Yellow band around my wrist disappeared. My wrist does not smell anymore since no more sweats accumulate. I tried leather and metallic straps, but none worked to get rid of the smell.

So many things I do are based on what people and custom tell me. Some, like wearing a wrist watch, for me at least, clearly have no firm rational or need basis. So I got rid of it. For good.

Do I have to use a BlackBerry or iPhone or other smartphone? I bought 2 BlackBerry at different times to keep connected when in Indonesia. Initially I liked it since my friends and I could chat easily using BlackBerry Messenger.

Over time though, my BlackBerry became a great nuisance since people broadcast questionable stuff: religious fatwas and opinions, all manners of jokes. The worst offenders were BlackBerry groups as they kept causing the alert lights to blink to only remind me to read wayward comments about anything.

So I bought a simple phone with only texting capability.

Thursday, March 8, 2012

Alam Semesta


Tuhan berinvestasi luar biasa mahal
Jika alam semesta dibuat hanya untuk
Menilai manusia selama hidupnya
Mau masuk neraka, atau surga

Karena bumi kita sangatlah kecil
Dibanding tata surya dan gugusan bintang
Alam semesta bisa mengembang terus
Semua ini cuma untuk kita?

Jika benar, ini guyonan kosmik luar biasa
Untuk Tuhan yang amat Maha Kuasa
Hanya peduli yang enam milyar kita
Bukankah kita yang sangat pongah?

Janganlah terlalu percaya omongan orang
Apalagi yang mengaku alim ahli surga
Kita tidak bisa malas menyerahkan hidup
Ke altar jadi-jadian belum tentu benar

Memang alternatif yang lain lebih sepi
Pekat gelap karena berpikir sendiri
Tapi aku yakin Tuhan pasti senyum
Mereka yang mencari sendiri

P.S. Foto diunduh dari Hubble Deep Space website (http://hubblesite.org/newscenter/archive/releases/1996/01/image/a/)

Monday, March 5, 2012

Fluctuations as GDP Growth


I am scratching my head as I think about Indonesia's economy:
  1. Road infrastructure is mismanaged and underfunded; it takes 13 hours to drive 600 km in Jawa.
  2. Telecommunication infrastructure is working, however, since it is in the hand of private companies. 
  3. Average level of education of Indonesians is grade 9 (please read my previous blog on average education level of Indonesians). 
  4. Income per capita of Indonesian is about USD 3500.
Despite all of these, the 2010 gross domestic product (GDP) annual growth rate of Indonesia is 6.1%. Canada does not have these structural problems, yet it experiences a GDP annual growth rate of 3.2% in 2010.

I am beginning to think that what Indonesia - and I suspect other developing countries also - experiences is a growth spur that could be associated with statistical fluctuations. It is known in statistical physics that a large system that conserves its total energy will experience fluctuations on the order of the inverse square root of its number of particles.

Laws of large numbers are quite robust, so I doubt that they don't apply to economic systems. Since Canada's population is about 7.4 smaller than Indonesia's, it suggests that, assuming 1/2 of 34 millions of Canadians participate fully in their economic system, there are about

17 millions × (3.2/6.1)2 = 4.75 millions

Indonesians who fully participate in Indonesia's economy. Thus, only 1.9% of the Indonesian population that are causing the 6.1% GDP annual growth of Indonesia if this growth is caused by statistical fluctuations. I don't have time to check the Indonesia's statistics, but I am willing to bet that the 1.9% number would be roughly equal to the percentage of Indonesians who received undergraduate degrees or higher.

From everyday's perspectives, I see the low quality of human capital and the dire state of road infrastructure as the two main barriers to improving Indonesia's economic performance. These two problems are the choke points of Indonesia's progress and could cause the 6.1% growth to abate at some point. What might precipitate this inflection is anyone's guess.

What remains true in Indonesia though is opportunity. The untapped market is at least 10 times the 1.9% that cause the 6.1% growth. But it will have to wait for the human capital quality to improve so that their average wage rises. Road infrastructure can drag down economy due to high transportation costs; Indonesians are increasingly upset with their road infrastructure.