Belum pernah saya bertemu orang beragama yang murni berdasarkan cinta dalam arti menjalankan perintah agama tanpa mengharapkan pahala. Jadi omong kosong ada orang bilang keputusan beragama tidak berlandaskan perhitungan untung rugi.
Wajar jika kita berpikir sejenak ongkos beragama. Hampir semua orang beragama beranggapan ongkos beragama murah dibandingkan risiko benar adanya surga neraka. Anggapan ini yang ingin saya sanggah sekarang.
2. Tulang belulang mayat-mayat yang ada di kuburan tetap berada di situ ribuan tahun. Jika kita percaya ada ruh yang terlepas dan melayang dari mayat untuk menemui penciptanya, sah buat kita untuk bertanya kemana ruh ini pergi. Alam semesta ini luas dan jika surga neraka ada di salah satu sudutnya, bagaimana ruh bisa terbang kesana? Kemudian kita juga perlu bertanya dari materi apa ruh itu berasal. Apa ruh ini seperti cahaya? Jika memang demikian, tentunya ruh ini bisa diukur energi dan momentumnya. Saya belum pernah membaca bukti empiris adanya ruh; yang ada cuma klaim tanpa bukti empiris.
Singkatnya, adanya surga neraka tidak bisa dibuktikan. Jika kita bersikap obyektif, sebenarnya tidak ada landasan fakta untuk mempercayai adanya surga neraka. Logika pembuktian adanya surga neraka akhirnya berputar-putar saja karena tidak ada bukti empiris.
Kita wajar berharap bahwa ada informasi lengkap tentang surga neraka – jika memang ada – yang ditinggalkan oleh pembuatnya, apalagi untuk masalah sepenting hidup dan mati. Tapi informasi atau manual ini pun tidak diberikan dengan gamblang agar mudah dimengerti. Akhirnya kita dibiarkan bermain tebak-tebakan dari dulu sampai sekarang. Tidak adanya informasi gamblang ini bisa menjadi alasan kuat untuk memutuskan surga neraka adalah mitos belaka.
Kita wajar berharap bahwa ada informasi lengkap tentang surga neraka – jika memang ada – yang ditinggalkan oleh pembuatnya, apalagi untuk masalah sepenting hidup dan mati. Tapi informasi atau manual ini pun tidak diberikan dengan gamblang agar mudah dimengerti. Akhirnya kita dibiarkan bermain tebak-tebakan dari dulu sampai sekarang. Tidak adanya informasi gamblang ini bisa menjadi alasan kuat untuk memutuskan surga neraka adalah mitos belaka.
3. Investasi beragama jadinya bersifat sangat spekulatif karena tidak berlandaskan bukti empiris. Tidak adanya bukti empiris ini pun masih membuat kita enggan untuk menolak adanya surga neraka. Bisa disimpulkan investasi beragama dilakukan karena dilandasi rasa takut. Ongkos beragama bisa dianggap sebagai berbanding lurus dengan rasa takut kita. Kita mau membayar ongkos beragama jika kita semakin takut akan masuk neraka.
Rasa takut ini bisa dieksploitasi oleh penjaja ajaran agama. Rasa takut kolektif kita membuat beberapa organisasi agama menjadi sangat kaya raya. Rasa takut ini menjadikan kita masyarakat terjajah karena agama di tatanan sosial selalu menjadi alat manipulasi dan kontrol.
4. Dari ketiga alasan beragama di atas, yang masih didukung bukti empiris adalah alasan pertama: mempertahankan tradisi orang tua. Menurut saya, disinilah kunci memahami fungsi agama. Agama adalah bagian budaya masyarakat sehingga tidak ada satu agama yang lebih baik dari yang lain. Semakin rasional satu masyarakat, semakin dia tidak butuh agama.
Adanya agama bukan bukti adanya surga neraka. Adanya agama adalah bukti manusia membutuhkan rasa aman.
Adanya agama bukan bukti adanya surga neraka. Adanya agama adalah bukti manusia membutuhkan rasa aman.
Ongkos beragama karena alasan pertama juga karena rasa takut diasingkan oleh masyarakat. Ini menarik untuk disadari karena setiap pendiri agama awalnya dimusuhi oleh atau mengasingkan diri dari masyarakat tempat dia berasal.
5. Ongkos beragama bisa sangat mahal jika kita harus bepergian jauh agar kita merasa aman dari siksa neraka. Ongkos beragama bisa berupa waktu berjam-jam tiap hari agar kita merasa dijauhkan dari api neraka. Buat sebagian orang, ongkos ini wajar karena hakikatnya menenangkan rasa takut yang ada di hati kita.