My son - having only arrived from Calgary last week - is astounded. In a positive way. He was amazed by the courtesy and quality of service he got when having meals at restaurants in Jakarta. He said, "I never have to pick up food; the waiter always brings it to me." He was even more floored by the strength and math ability of Padang restaurant waiter who has to bring 6-12 dishes on his arm to the table and later tallies up the food we ate by looking at the colors of the curry dishes. The girls serving us at KFC or Pizza Hut always appear happy, courteous, and infinitely patient, even after we spilled water on the floor. She would smile back at us and made me embarassed at our clumsiness.
Indonesians are trained at giving great services. At school we were brought up to follow orders and be obedient. It pains me, therefore, to know that our menial workers sent to Saudi Arabia are not treated well and, even worse, abused. Our courtesy and politeness are taken for a ride. I only wish the next government of Indonesia would have more backbone and 'cojones' when dealing with its counterparts.
Regardless, I think the quality of service we have been getting is an indication of a - dare I say - absolute advantage that other countries lack. Indonesia should focus on bringing out this exquisite level of service to the front to lure more foreign tourists and visitors. Indonesia should use this advantage as a huge leverage to promote tourism, eco-adventure travels, and exchange study programs.
What still lacks is the website gateway for tourism information on Indonesia. I have been in Indonesia for 2 months and have still little idea on how to get good accomodation and travel tips to Krakatau, Karimun Jawa, Bali. It is sad to say that I am still thinking of buying the Lonely Planet's Indonesia guide to show me where to go and what to do, given that I am here already.
Things have got to change. For the better. And hopefully sooner than later.
Wednesday, June 29, 2011
Thursday, June 23, 2011
Korupsi
Sudahlah, lupakan aja usaha keras memberantas budaya 'korupsi' di tanah air. Terkadang saya berpikir seperti itu. Bukannya saya mendukung korupsi merajalela, tapi korupsi itu ada karena aturan kerja/interaksi dan tingkat ketrampilan yang ada di tanah air mendukung hal ini berkembang biak.
Korupsi timbul karena ini adalah jalan untuk memuluskan transaksi berbagai urusan dan akhirnya menjadi keharusan agar berbagai urusan ini berjalan baik.
Dari pengamatan sebulan ini, saya berpendapat budaya ini datang karena memang ada kebutuhan nyata. Pada saat saya hampir ditilang sebulan lalu karena masuk ke lajur busway, saya memutuskan untuk 'berdamai' saja karena diberitahu urusannya akan repot: SIM ditahan dan harus diambil di kantor pengadilan. Peraturan pengambilan SIM dibuat berbelit. Saya merasa naas; banyak sekali mobil yang nyerobot di lajur busway, tapi kok ya saya yang kena? Kalkulasi di otak saya langsung bilang: "Udah deh, damai aja, toh hampir sama ngeluarin uangnya." Bahkan lebih murah sedikit jika 'berdamai', belum lagi keuntungan waktu.
Contoh sederhana ini bilang korupsi itu memang diadakan oleh aturan kerja/interaksi yang njelimet (baca: birokratis) bukan main. Sementara saya melihat orang Indonesia itu gak mau dibuat sulit. Ringkasnya, orang Indonesia itu sering maunya sendiri. Kemacetan di Jakarta mengingatkan saya akan karakter kita ini. Orang Indonesia itu ingin seefisien seperti semua orang di semua negara lain.
Kembali ke contoh sederhana saya tadi, terlintas di benak saya saat alat 'perdamaian' berganti tangan: gak apa lah, dia kerja keras mengatur lalu lintas; mendingan saya beri langsung ke dia daripada ke meja administrasi pengadilan yang saya tidak tahu kemana uangnya pergi setelah itu. Ini bisa jadi pembenaran di kepala saya agar saya tidak terlalu merasa bersalah.
Faktor tingkat ketrampilan juga berpengaruh ke merajalelanya korupsi. Saya ambil contoh proyek tender pengadaan barang. Perusahaan-perusahaan yang ikut tender berlomba untuk menang tender dengan memasang harga bersaing dan faktor konten teknik memadai. Tapi karena tingkat ketrampilan kita rendah, tidak ada faktor menguntungkan lain yang bisa perusahaan-perusahaan ini tawarkan agar menang tender. Jika tingkat ketrampilan kita tinggi, kita bisa menawarkan inovasi produk buatan sendiri yang berpotensi mengalahkan perusahaan-perusahaan saingan dengan telak. Ini jarang terjadi.
Harga-harga yang ditawarkan perusahaan-perusahaan akhirnya tidak berbeda jauh. Tidak juga beda jauh konten teknik mereka karena inovasi-inovasi yang ada di alat-alat yang akan dipakai untuk berlomba tender tidak berbeda. Persaingan harga ini membuka kesempatan korupsi yang sebenarnya merugikan perusahaan pemenang: profit margin turun karena harus bagi-bagi. Korupsi di sini berupa uang imbalan yang dibayarkan pemenang tender ke yang bisa 'membantu' memenangkan tender.
Perusahaan-perusahaan ini jelas tidak mau melakukan korupsi, tapi mereka butuh hidup dan membayar gaji karyawan. Mereka butuh menang tender dan mereka diberikan jalan untuk menang tender. Jelas buat saya korupsi ini dibutuhkan dan perlu ada karena aturan kerja/interaksi/peraturan pemerintah yang njelimet dan kemampuan inovasi produk dan tingkat ketrampilan kita yang rendah.
Korupsi timbul karena ini adalah jalan untuk memuluskan transaksi berbagai urusan dan akhirnya menjadi keharusan agar berbagai urusan ini berjalan baik.
Dari pengamatan sebulan ini, saya berpendapat budaya ini datang karena memang ada kebutuhan nyata. Pada saat saya hampir ditilang sebulan lalu karena masuk ke lajur busway, saya memutuskan untuk 'berdamai' saja karena diberitahu urusannya akan repot: SIM ditahan dan harus diambil di kantor pengadilan. Peraturan pengambilan SIM dibuat berbelit. Saya merasa naas; banyak sekali mobil yang nyerobot di lajur busway, tapi kok ya saya yang kena? Kalkulasi di otak saya langsung bilang: "Udah deh, damai aja, toh hampir sama ngeluarin uangnya." Bahkan lebih murah sedikit jika 'berdamai', belum lagi keuntungan waktu.
Contoh sederhana ini bilang korupsi itu memang diadakan oleh aturan kerja/interaksi yang njelimet (baca: birokratis) bukan main. Sementara saya melihat orang Indonesia itu gak mau dibuat sulit. Ringkasnya, orang Indonesia itu sering maunya sendiri. Kemacetan di Jakarta mengingatkan saya akan karakter kita ini. Orang Indonesia itu ingin seefisien seperti semua orang di semua negara lain.
Kembali ke contoh sederhana saya tadi, terlintas di benak saya saat alat 'perdamaian' berganti tangan: gak apa lah, dia kerja keras mengatur lalu lintas; mendingan saya beri langsung ke dia daripada ke meja administrasi pengadilan yang saya tidak tahu kemana uangnya pergi setelah itu. Ini bisa jadi pembenaran di kepala saya agar saya tidak terlalu merasa bersalah.
Faktor tingkat ketrampilan juga berpengaruh ke merajalelanya korupsi. Saya ambil contoh proyek tender pengadaan barang. Perusahaan-perusahaan yang ikut tender berlomba untuk menang tender dengan memasang harga bersaing dan faktor konten teknik memadai. Tapi karena tingkat ketrampilan kita rendah, tidak ada faktor menguntungkan lain yang bisa perusahaan-perusahaan ini tawarkan agar menang tender. Jika tingkat ketrampilan kita tinggi, kita bisa menawarkan inovasi produk buatan sendiri yang berpotensi mengalahkan perusahaan-perusahaan saingan dengan telak. Ini jarang terjadi.
Harga-harga yang ditawarkan perusahaan-perusahaan akhirnya tidak berbeda jauh. Tidak juga beda jauh konten teknik mereka karena inovasi-inovasi yang ada di alat-alat yang akan dipakai untuk berlomba tender tidak berbeda. Persaingan harga ini membuka kesempatan korupsi yang sebenarnya merugikan perusahaan pemenang: profit margin turun karena harus bagi-bagi. Korupsi di sini berupa uang imbalan yang dibayarkan pemenang tender ke yang bisa 'membantu' memenangkan tender.
Perusahaan-perusahaan ini jelas tidak mau melakukan korupsi, tapi mereka butuh hidup dan membayar gaji karyawan. Mereka butuh menang tender dan mereka diberikan jalan untuk menang tender. Jelas buat saya korupsi ini dibutuhkan dan perlu ada karena aturan kerja/interaksi/peraturan pemerintah yang njelimet dan kemampuan inovasi produk dan tingkat ketrampilan kita yang rendah.
Sunday, June 12, 2011
Lari
Sudah sebulan aku tinggal di Jakarta. Dimanapun kita mudah terperangkap kegiatan sehari-hari. Apalagi jika jadwal kerja sibuk. Sampai di kerja sebelum jam 8 pagi dan balik ke rumah setelah jam 6 malam. Sebelum itu tidur dan mandi. Sesudah itu, makan dan tidur lagi. Kapan aku bisa merasa segar dan jiwa ini terisi harapan dan perasaan terkoneksi dengan alam dan sekeliling?
Lari buatku memberi waktu dan energi untuk membangun koneksi dengan alam dan sekeliling, yang mungkin pudar karena sibuknya hari-hari kerja. Lari buatku me-recharge baterai yang pudar dan membugarkan badan yang letih.
Aku lari mulai jam 6:30 pagi kemarin, dari pucuk Jalan Otista di bilangan Cawang dan terus merangkak ke arah utara. Melewati Kampung Melayu - yang masih sepi angkot - dan pasar Jatinegara - yang sudah ramai dengan kerumunan penjual dan pembeli mengadu nasib.
Aku selalu diingatkan waktu lari kalau aku anak semesta. Aku selalu diingatkan untuk membuka mataku ke sekelilingku. Bapak tua yang termangu di sisi gerobaknya. Lima anak kecil berlari. Ibu dan nenek yang belanja di pagi hari. Tukang parkir yang menunggu mobil pertama. Sapa ramah mbak penjaga toko tempat aku beli air. Aku bisa merasakan kerasnya hidup mereka karena aku merasakan letihnya lari ini. Polusi udara Jakarta yang berbau harum hitam pekat. Trotoar jalan yang tidak ramah buat orang tua karena sangat tinggi letaknya.
Melewati Salemba aku berhenti sejenak untuk beli teh botol. Udara tropik sangat menyengat dan sebenarnya lebih keras dari udara dingin sejuk Canada untuk berlari. Tubuh mengeluarkan banyak uap air dan aku haus letih cepat sekali. Di Calgary aku bisa lari 90 menit tanpa minum air. Di Jakarta maksimum 60 menit. Belum lagi dengan riak di tenggorokan yang menggumpal karena polusi udara.
Aku sebenarnya mau terus ke Ancol sepanjang Jalan Gunung Sahari. Tapi aku tidak kuat lagi. Sudah 80 menit aku lari. Keramaian pasar Senen dibelakangku. Pasar Baru di sisiku. Aku teruskan, lari sedikit lagi, mendekati Mangga Besar. Waktunya berhenti. Badanku terasa sangat segar dan aku siap menyongsong hari.
Lari buatku memberi waktu dan energi untuk membangun koneksi dengan alam dan sekeliling, yang mungkin pudar karena sibuknya hari-hari kerja. Lari buatku me-recharge baterai yang pudar dan membugarkan badan yang letih.
Aku lari mulai jam 6:30 pagi kemarin, dari pucuk Jalan Otista di bilangan Cawang dan terus merangkak ke arah utara. Melewati Kampung Melayu - yang masih sepi angkot - dan pasar Jatinegara - yang sudah ramai dengan kerumunan penjual dan pembeli mengadu nasib.
Aku selalu diingatkan waktu lari kalau aku anak semesta. Aku selalu diingatkan untuk membuka mataku ke sekelilingku. Bapak tua yang termangu di sisi gerobaknya. Lima anak kecil berlari. Ibu dan nenek yang belanja di pagi hari. Tukang parkir yang menunggu mobil pertama. Sapa ramah mbak penjaga toko tempat aku beli air. Aku bisa merasakan kerasnya hidup mereka karena aku merasakan letihnya lari ini. Polusi udara Jakarta yang berbau harum hitam pekat. Trotoar jalan yang tidak ramah buat orang tua karena sangat tinggi letaknya.
Melewati Salemba aku berhenti sejenak untuk beli teh botol. Udara tropik sangat menyengat dan sebenarnya lebih keras dari udara dingin sejuk Canada untuk berlari. Tubuh mengeluarkan banyak uap air dan aku haus letih cepat sekali. Di Calgary aku bisa lari 90 menit tanpa minum air. Di Jakarta maksimum 60 menit. Belum lagi dengan riak di tenggorokan yang menggumpal karena polusi udara.
Aku sebenarnya mau terus ke Ancol sepanjang Jalan Gunung Sahari. Tapi aku tidak kuat lagi. Sudah 80 menit aku lari. Keramaian pasar Senen dibelakangku. Pasar Baru di sisiku. Aku teruskan, lari sedikit lagi, mendekati Mangga Besar. Waktunya berhenti. Badanku terasa sangat segar dan aku siap menyongsong hari.
Subscribe to:
Posts (Atom)