Saturday, March 5, 2011

Budaya Cangkruk



Aku anak kampung Surabaya. Waktu SD aku sering main di jalan: main petak umpet, gundu, baca komik. Bapak-bapak duduk merokok di emper jalan sambil cerita ini-itu. Tidak jarang ibu-ibu ikut nimbrung. Aku masih ingat karakter tetangga kiri-kanan rumah. Aku ingat pernah main sepatu roda jam 8 malam dengan teman-teman sekampung. Saking ramainya, kita diteriaki satu ibu tetangga yang memang tukang labrak dan disiram air got. Untung saja pakai sepatu roda jadi bisa kabur cepat.

Budaya cangkruk (nongkrong pinggir jalan) ini oleh sebagian orang dianggap kampungan. Kalau maksudnya: hanya orang kampung yang melakukan ini, ya benar juga.

Orang Canada berarti juga orang kampung. Orang Canada - terutama yang muda - suka sekali cangkruk. Mereka cangkruk di pub untuk minum bir, makan sayap ayam atau nachos, sambil ngomong ngalor ngidul. O ya, jangan lupa pub ini juga dipakai untuk memprospek cewek/cowok yang ingin mereka dekati. 

Jadi jangan disangka cangkruk gak ada di Canada. Cangkruk terpaksa dilakukan di pub karena cuaca Canada dinginnya minta ampun. Di Calgary musim dingin dari November sampai Mei (6 bulan cak!) dan suhu udara bisa turun sampai -30°C. Lha siapa yang mau ngobrol ngalor ngidul di emper jalan?! Bisa mati kedinginan dalam 5 menit.

Jadi tolong deh, jangan dihubungkan budaya cangkruk dengan sebagian orang yang bilang kurang produktifnya orang Indonesia. This is bullshit.

Satu budaya lain yang berhubungan dengan cangkruk adalah kenduri. Saat 17 Agustusan, gang di depan rumah ditutup dan tikar digelar berlembar-lembar. Kita duduk bersama dan menikmati makanan yang disiapkan ibu-ibu yang tinggal di gang. Satu kenangan manis yang tidak ada gantinya.

Di Canada, suasana kampung masih bisa dirasakan kalau tinggal di apartemen. Kita masih kenal tetangga karena lorong lantai menggantikan gang dan kita saling sapa. Suara anak kecil terdengar dari balik dinding. Kita masih ketemu waktu cuci pakaian. Apalagi di apartemen mahasiswa: ada tetangga yang bisa dititipin anak kecil, ada yang jualan makanan. Seperti kampung di Indonesia.

Saat aku pindah ke kompleks perumahan waktu SMP di Surabaya, aku tidak pernah lagi temui budaya cangkruk. Yang cangkruk cuma satpam dan tukang becak di pos ronda. Rasanya kurang hidup dan tiap-tiap keluarga sepertinya hidup sendiri-sendiri. Ini yang terjadi di hampir semua perumahan di Canada. Kita hidup sendiri-sendiri. Ada sih seperti balai RW - namanya community association centre - tapi kurang akrab karena tidak ada spontanitas. Semua pakai format rapat, jadi kalau ngomong harus hati-hati.

Hiburan cerita tetangga yang sering segar lucu jadi hilang karena spontanitas hilang. Cangkruk hilang dan diganti acara melototin teve. Payahnya banyak acara teve yang membosankan. Ada sih yang asyik; waktu di Indonesia aku suka lihat Take A Celebrity Out-nya Choky Sihotang atau Bukan Empat Mata-nya Tukul Arwana. Selebihnya bikin angop (ngantuk). Di Canada juga ada acara teve yang bagus: Seinfeld (rerun euy), House, Criminal Minds. Budaya cangkruk diganti budaya melototin teve.

Aku sih lebih senang cangkruk. Cerita lebih nyata dan aku mengenal karakter orang yang beragam.

1 comment:

  1. Cangkruk sebagai media sosialisasi dengan karakter:
    - tidak ada agenda tertentu. omongane ngalor ngidul ndak ada juntrungane.
    - spontan, tanpa rencana atau undangan.
    - oleh mereka yang dalam waktu dan ruang yang sama berdekatan, misalnya tetangga rumah, atau teman kantor sehabis kerja.
    - Media effektif untuk gossip atau sharing berita menarik.

    ! Yuk..cangkruk..Yuk !

    ReplyDelete