Beberapa kali saya diundang perusahaan2 Canada untuk presentasi dan perhatikan ada perbedaan budaya antara perusahaan2 Canada dengan perusahaan2 Indonesia. Yang paling menyolok adalah budaya perusahaan Canada yang lebih terbuka dan kesungguhan karyawan untuk bekerja.
Budaya perusahaan yang tidak terbuka di Indonesia sering karena atasan atau pemilik perusahaan tidak berpendidikan memadai. Atasan yang seperti ini memilih jaim dengan tidak berkomunikasi terbuka dengan bawahan dan karyawannya. Bisa karena malu ketahuan tidak berpendidikan. Bisa karena kurang wawasan, jadi tidak tahu harus berkomunikasi bagaimana. Bisa karena untuk mengurangi permintaan kenaikan gaji.
Alur komunikasi kemudian berjalan satu arah – dari atas ke bawah saja – dan perusahaan tidak berkembang karena team work tersumbat. Bawahan dan karyawan akhirnya menunggu perintah saja tanpa ada inisiatif dari bawah. Gaya bekerja ini lalu jadi budaya perusahaan.
Rantai pemutus komunikasi satu arah ada di tangan atasan atau pemilik perusahaan. Satu alasan yang sering diucapkan untuk tetap berkomunikasi satu arah adalah kualitas karyawan jelek, jadi tidak ada gunanya berkomunikasi dua arah. Kualitas karyawan jelek juga jadi alasan memberi gaji rendah. Jika karyawan merasa dua hal ini: gajinya rendah dan kualitasnya jelek, tapi tetap bekerja di perusahaan tersebut, maka sudah jodohnya karyawan bekerja di perusahaan ini. They deserve each other, kata orang bule.
Perusahaan2 asing di Indonesia makanya lebih maju karena mereka berani menggaji karyawan lebih tinggi. Perusahaan2 ini mendapat kualitas karyawan bagus dan berani menuntut kinerja tinggi. Mereka juga tidak enggan memecat karyawan yang tidak pecus.
Sebaliknya, perusahaan nasional yang menggaji rendah karyawan sering bermain petak umpet jika karyawannya meminta kenaikan gaji, karena sebenarnya tidak mau memecat karyawan bergaji rendah.
Undang Undang Ketenagakerjaan Indonesia tapi juga tidak memihak pemilik perusahaan karena UU ini terlalu melindungi karyawan. Belum lagi dengan tumpang tindihnya peraturan ketenagakerjaan Indonesia dan oknum-oknum pemerintah yang memanfaatkan situasi kemelut hubungan kerja perusahaan. UU Ketenagakerjaan yang imbang semestinya memudahkan atasan untuk memecat karyawan yang tidak pecus.
Karena di Indonesia karyawan digaji rendah dan atasan beranggapan karyawan tidak pecus bekerja, maka yang terjadi adalah iklim kerja petak umpet. Karyawan langsung menyebar resume untuk cari kerja baru begitu mulai bekerja satu minggu saja. Atasan langsung pasang muka jaim agar karyawan segan – kalau perlu takut – untuk meminta kenaikan gaji.