Walaupun sudah lebih dari 30 tahun saya tidak tinggal di pulau Jawa, hati saya tetap melekat kuat kepada budaya Jawa. Buat saya budaya Jawa adalah budaya yang perlu saya rawat karena budaya Jawa mencerminkan sikap keterbukaan yang sehat. Walaupun budaya Jawa berparas berbeda dari abad ke abad dia tidak pernah lupa akan akarnya yang rendah hati, humoris, dan tidak pernah lelah mencari ilmu. Orang Jawa adalah ya itu: Orang yang setia menuntut ilmu dengan kerendahan hatinya dan kesadaran kerterbatasan setiap ilmu yang dia pelajari sehingga dia tidak lupa untuk selalu humoris.
Kesetiaan menuntut ilmu dan rasa rendah hati ini yang membuat masyarakat Jawa mampu mengadopsi agama-agama Buddha, Hindu, dan Islam tanpa harus menanggalkan kepercayaan asli Jawa. Peristiwa adopsi ini menggambarkan kemampuan masyarakat Jawa melihat kelebihan dan kekurangan agama-agama yang dia adopsi. Kemampuan menggabungkan agama-agama untuk menjadi pemahaman dan praktek beragama yang tetap bersifat Jawa juga membuktikan bahwa masyarakat Jawa masih setia menggunakan akal sehat dan kedaulatannya.
Perspektif ini membuat saya lebih simpatik kepada keputusan masyarakat Jawa di abad-abad lalu saat berpindah memeluk berbagai agama diatas. Saya bisa memahami latar belakang keputusan nenek moyang saya. Saya pun juga menerima keputusan sebagian masyarakat Jawa yang tetap memeluk agama Buddha dan Hindu dengan menyeberang ke pulau Bali atau pindah tinggal di beberapa kantung-kantung masyarakat Buddha dan Hindu di pulau Jawa. Karena ini membuktikan masyarakat Jawa adalah dinamis, tidak monolitik, yang mencerminkan keterbukaan menerima hal baru.
Sampai sekarang masyarakat Jawa tetap tidak memiliki struktur rata. Ada kelas-kelas masyarakat, dari pedagang, petani, intelektual, priyayi, dan pamong praja, yang masih diturunkan ke generasi berikutnya. Kelas-kelas ini tidak perlu dihilangkan karena saya sendiri mengalami di Canada bahwa struktur masyarakat yang rata (tidak berkelas) adalah membosankan. Rasa membosankan ini karena budaya tiap-tiap kelas tidak tampak nyata di keseharian. Bagaimana bisa tampak nyata jika setiap generasi pelaku pengisi peran-peran di masyarakat ini berganti terus? Setiap orang bertindak tanduk sama tanpa tergantung kelasnya; tidak ada keunikan yang mewarnai keseharian. Kelas-kelas yang semestinya bisa mencerminkan status sosial dan kebanggaan kelompok ini bertindak tanduk lebih kurang sama.
Bisa jadi tidak ada faedahnya meruntuhkan kelas-kelas masyarakat di masyarakat Jawa hanya karena dalih demokrasi dan modernisasi. Jika tiap pekerjaan sama pentingnya, maka kenapa harus menghilangkan keunggulan komparatif orang tua saya akan mempersiapkan saya lebih baik karena pengalaman kerja mereka di bidang sama yang saya akan tuju? Kemudian, sistem kelas ini juga mempermudah penjagaan kualitas pekerja karena setiap kelas akan berupaya keras menjaga reputasi mereka. Kekuatan kolektif setiap kelas juga akan kuat karena setiap kelas mewakili beberapa generasi pekerja yang juga mempunyai hubungan darah.
Yang perlu dilakukan adalah bagaimana kemakmuran bisa dicapai oleh setiap kelas. Kelas petani semestinya bisa sama kayanya dengan kelas pamong praja. Jika ini masih belum terjadi, maka kesetaraan ekonomi ini yang harus diperjuangkan. Sikap setia menuntut ilmu sendiri tetap berlaku di setiap kelas, mulai petani sampai pamong praja. Dari kegiatan mempraktekkan ilmu ini maka akan timbul inovasi dan produk baru untuk mencapai kemakmuran bersama.
Saya bermimpi bisa tinggal di masyarakat Jawa yang teguh menjaga tradisi. Dari mendengarkan uyon-uyon dan campur sari sampai menonton wayang kulit semalam, memakai sorjan, kain, dan blangkon, sampai bertempat tinggal di rumah joglo. Dan pada saat sama saya mengajari anak-anak muda Jawa fisika dan matematika dan mendisain mesin-mesin kendaraan inovatif. Penggabungan dua jiwa: tradisi dan modern ini sudah ada contohnya di Jepang. Apakah masyarakat Jawa bisa menuju ke sana? Saya yakin bisa jika saya mengingat keterbukaan masyarakat Jawa dan kesetiaannya mengangsu ilmu.
No comments:
Post a Comment