Monday, April 2, 2012
Malas Berpikir
Pekerja Indonesia pekerja keras. Saya tahu itu, setelah 11 bulan bekerja di Indonesia. Mereka bekerja dari jam 8 pagi sampai 5 sore, seperti kebanyakan pekerja di Amerika Utara.
Tugas-tugas yang bersifat rutin, seperti memfotokopi dokumen, mencatat pemasukan dan pengeluaran uang, membalas email, dilakukan dengan cepat. Pekerja Indonesia tidak juga gaptek (gagap teknologi), bahkan canggih karena tidak jarang satu orang punya lebih dari 1 smartphone.
Yang jarang saya temukan adalah pekerja Indonesia mengerjakan analisis, baik data, alur kerja, ataupun pemikiran. Keengganan ini nampak jikapun sudah diminta. Ini kesimpulan dari beberapa kali saya meminta agar analisis dikerjakan dan menerima respon minimum.
Saya pikir ada tiga alasan kenapa pekerja Indonesia kurang suka menganalisa. Pertama, dia harus memutuskan sendiri langkah-langkah yang harus diambil, seperti memilih data apa yang harus dikumpulkan dan diolah. Lalu, memutuskan bagaimana mengolahnya agar bisa terlihat pola angkanya, dan mengambil keputusan dari hasil olahan data.
Jika tidak terbiasa menganalisa saat di sekolah dan universitas, akan kecil kemungkinan kemampuan ini timbul sendirinya di tempat kerja. Cara belajar yang mengedepankan hafalan berpengaruh buruk kepada kemampuan analisa. Ketidakberanian mengambil keputusan datang karena gaya belajar hafalan.
Kedua, tuntutan pekerjaan masih belum sampai ke analisis data. Banyak lapangan kerja di Indonesia yang berhubungan dengan tugas administratif. Mencatat ini itu, mendaftar ini itu, mengantar jemput ini itu. Pekerjaan ini tidak menuntut banyak berpikir. Daya pikir menjadi pasif di tempat kerja.
Ketiga, kemampuan teknis untuk menganalisis masih lemah. Kemampuan ini - untuk analisis teknik - datang dari ilmu dasar: fisika, matematika, kimia. Jika penguasaaan ilmu dasar lemah, maka sukar diharapkan analisis teknik benar dilakukan walaupun keinginan ada. Kurangnya kemampuan teknis ini lalu diisi oleh tenaga ekspat yang juga terlatih mengambil keputusan sendiri karena bersekolah di luar negeri.
Ketidakmampuan mengambil keputusan dengan akal sehat adalah hasil sistem pendidikan Indonesia yang sangat menitikberatkan hafalan dan kepatuhan buta. Setiap mata pelajaran punya potensi untuk mengasah daya pikir siswa, tapi ini jarang dilakukan. Yang penting dalam belajar Sejarah adalah tanggal dan nama. Yang penting dalam belajar Fisika dan Matematika adalah pemakaian rumus-rumus siap pakai.
Saya yakin kenyataan kacaunya sistem pendidikan Indonesia sudah disadari. Jika langkah nyata untuk membetulkan sistem terhalang oleh berjalannya proyek-proyek pendidikan yang sarat uang, maka akan makin runyam nasib bangsa ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment