Artikel Washington Post https://www.washingtonpost.com/world/europe/billionaires-raced-to-pledge-money-to-rebuild-notre-dame-then-came-the-backlash/2019/04/18/7133f9a2-617c-11e9-bf24-db4b9fb62aa2_story.html?noredirect=on&utm_source=pocket-newtab&utm_term=.1c09de2aeb8c ini mengingatkan barang-barang mewah yang kita beli untuk pamer pada akhirnya memperkaya segelintir orang saja. Ketimpangan ekonomi ada di negara maju juga dan bukan monopoli negara berkembang atau miskin.
Sebagai rakyat biasa, yang bisa saya lakukan adalah selalu berpikir sebelum membuka dompet. Siapa yang diuntungkan oleh uang pembelian saya? Apa perlu saya membeli barang mahal ini? Apa guna barang mahal seperti ini? Hidup harus dipenuhi dengan problem solving seperti ini. Jika kamu belum bersikap seperti ini, sudah waktunya kamu memulainya.
Kita sebagai rakyat biasa tidak bisa bodoh dan tidur saja tanpa mengambil aksi nyata. Selain memastikan uang yang kita belanjakan tidak masuk ke kantong konglomerat yang menjadi semakin kaya, kita juga harus membangun kemandirian. Bagaimana caranya? Hanya satu cara: Menguatkan pengetahuan sains dan ketrampilan rekayasa (engineering). Sains dan rekayasa inilah yang akan memberdayakan kita: membuat sendiri barang-barang tanpa tergantung lagi ke perusahaan-perusahaan multinasional.
Yang sama pentingnya adalah juga membangun jiwa kuat yang tidak mudah tergiur rayuan kemewahan semu lewat barang-barang yang jadi simbol status. Sayangnya jiwa kuat ini mudah dirongrong oleh deras informasi online. Menjaga jiwa kita dari rasa iri dan rendah hati bukan pekerjaan mudah. Banyak dari kita sudah menyerahkan jiwanya sebelum sadar akan apa itu jiwa kuat dan mandiri.
No comments:
Post a Comment