Sunday, November 18, 2012

Hubungan Kerja Satu Arah


Beberapa kali saya diundang perusahaan2 Canada untuk presentasi dan perhatikan ada perbedaan budaya antara perusahaan2 Canada dengan perusahaan2 Indonesia. Yang paling menyolok adalah budaya perusahaan Canada yang lebih terbuka dan kesungguhan karyawan untuk bekerja.

Budaya perusahaan yang tidak terbuka di Indonesia sering karena atasan atau pemilik perusahaan tidak berpendidikan memadai. Atasan yang seperti ini memilih jaim dengan tidak berkomunikasi terbuka dengan bawahan dan karyawannya. Bisa karena malu ketahuan tidak berpendidikan. Bisa karena kurang wawasan, jadi tidak tahu harus berkomunikasi bagaimana. Bisa karena untuk mengurangi permintaan kenaikan gaji.

Alur komunikasi kemudian berjalan satu arah – dari atas ke bawah saja – dan perusahaan tidak berkembang karena team work tersumbat. Bawahan dan karyawan akhirnya menunggu perintah saja tanpa ada inisiatif dari bawah. Gaya bekerja ini lalu jadi budaya perusahaan.

Rantai pemutus komunikasi satu arah ada di tangan atasan atau pemilik perusahaan. Satu alasan yang sering diucapkan untuk tetap berkomunikasi satu arah adalah kualitas karyawan jelek, jadi tidak ada gunanya berkomunikasi dua arah. Kualitas karyawan jelek juga jadi alasan memberi gaji rendah. Jika karyawan merasa dua hal ini: gajinya rendah dan kualitasnya jelek, tapi tetap bekerja di perusahaan tersebut, maka sudah jodohnya karyawan bekerja di perusahaan ini. They deserve each other, kata orang bule.

Perusahaan2 asing di Indonesia makanya lebih maju karena mereka berani menggaji karyawan lebih tinggi. Perusahaan2 ini mendapat kualitas karyawan bagus dan berani menuntut kinerja tinggi. Mereka juga tidak enggan memecat karyawan yang tidak pecus. 

Sebaliknya, perusahaan nasional yang menggaji rendah karyawan sering bermain petak umpet jika karyawannya meminta kenaikan gaji, karena sebenarnya tidak mau memecat karyawan bergaji rendah. 

Undang Undang Ketenagakerjaan Indonesia tapi juga tidak memihak pemilik perusahaan karena UU ini terlalu melindungi karyawan. Belum lagi dengan tumpang tindihnya peraturan ketenagakerjaan Indonesia dan oknum-oknum pemerintah yang memanfaatkan situasi kemelut hubungan kerja perusahaan. UU Ketenagakerjaan yang imbang semestinya memudahkan atasan untuk memecat karyawan yang tidak pecus.

Karena di Indonesia karyawan digaji rendah dan atasan beranggapan karyawan tidak pecus bekerja, maka yang terjadi adalah iklim kerja petak umpet. Karyawan langsung menyebar resume untuk cari kerja baru begitu mulai bekerja satu minggu saja. Atasan langsung pasang muka jaim agar karyawan segan – kalau perlu takut – untuk meminta kenaikan gaji. 

Monday, November 12, 2012

Indonesia Butuh Partai Buruh


Perang kelas sosioekonomi sebenarnya berjalan sejak lama di Indonesia. Kaum buruh selalu jadi pecundang karena mereka kurang terorganisir, tidak berpendidikan, dan tidak berduit. Indonesia butuh Partai Buruh karena partai-partai sekarang berserikat kerap cuma berdasarkan kesamaan agama. Parpol-parpol berbau agama ini konsep usang dan tidak perlu dipertahankan jika mengingat apa yang barusan terjadi di pemilihan gubernur Jakarta dan pemilihan presiden AS. Konsep partai berbasis agama akan punah seiring bergeraknya jaman.

Pikirin ini timbul saat aku dan istri menikmati makan siang sushi buatannya. Dia nyeletuk, "Gila gak sih, jahe irisan buat makan sushi ini harganya Rp 100 ribu loh di Jakarta." Aku kontan aja bilang "Sementara pembantu rumah tangga cuma digaji Rp 500 ribu per bulan." "Heh, itu aja aku diprotes teman-temanku karena katanya merusak pasaran," selorohnya.

Merusak pasaran? "What the fuck!" seruku. Itu saja sama class warfare (perang kelas) karena kelompok yang kaya tidak mau membagi rejeki mereka dengan yang miskin (baca: kaum buruh), walaupun pembagian itu sebenarnya cukup fair. Yang kaya ingin mempertahankan status quo dengan cara berkomplot. Kerja pembantu sebulan dihargai 5 kaleng jahe teman makan sushi! Makan sekali di Pizza Hut di Tebet Square untuk 3 orang saja bisa kena Rp 250,000, yang sama dengan gaji 3 hari sopir Jakarta.

Servis yang diberikan kaum buruh di Indonesia amat sangat bagus. Tukang cukurku di Jatiwaringin bisa memplontos kepalaku dengan mulus berkilat. Di Calgary, tidak ada yang mau kerja seperti pak Agus – tukang cukurku di Jatiwaringin – jika aku tidak bayar Rp 300,000. Apalagi pekerjaan memplontos kepala mengkilat bukan pekerjaan mudah karena butuh tangan tangkas dan stabil seperti dokter bedah. Di Jakarta aku cukup bayar Rp 30,000 untuk cukur kepala plus pijat kepala.

Keterkaitan pendidikan dengan gaji rendah sangat jelas, tapi kaum buruh tidak mampu menikmati pendidikan bagus karena tidak punya uang. Kenapa tidak punya uang? Karena gaji mereka amat sangat rendah, diukur dengan cara apapun. Amat tidak masuk akal untuk bisa hidup dengan layak buat suami istri beranak 2 dengan gaji Rp 4 juta. Tapi sangat banyak keluarga Indonesia dengan gaji ini hidup di Jakarta dan punya anak lebih dari 2.

Kenapa aku bilang Rp 4 juta tidak cukup? Gampang menghitungnya. Makan 3 kali sehari untuk 4 orang butuh minimum Rp 50,000/hari jika masak sendiri. Sekolah 2 anak bisa memakan biaya Rp 300,000/bulan. Transportasi bisa Rp 20,000/hari, entah naik bus atau sepeda motor. Tiga biaya ini – makan, sekolah, transportasi – saja butuh Rp 2.4 juta. Belum biaya mencicil rumah dan sepeda motor. Belum biaya darurat untuk undangan kawin, rumah sakit, dan tabungan mudik. Belum lagi biaya pakaian dan tamasya ke kebun binatang Ragunan atau Ancol.

Baru beberapa gelintir pemimpin pemerintahan yang benar-benar ingin mengartikulasikan pemahaman tertindasnya kaum buruh ke aksi-aksi nyata. Salah satunya adalah Jokowi dan Ahok. Tapi Indonesia masih butuh banyak lagi untuk membela yang lemah. Indonesia butuh Partai Buruh!

Mechanics Problem 3: Sliding Pendulum


A small block of mass m sits at the left edge of a smooth hemispherical bowl of radius R and mass M. The small block is released from rest and slides up and down the bowl without friction, effectively moving as a pendulum. Assume as well that there is no friction between the ground and the the flat bottom of the bowl.

Determine the speed of the bowl when the small block reaches the bottom of the bowl. Determine the distance travelled by the bowl by the time the small block reaches the right edge of the bowl and stops there.